Membenahi Kesadaran Diri Sebagai Gerbang Awal Transformasi Kehidupan

MINGGU, 8 JANUARI, 2023

Membenahi Kesadaran Diri Sebagai Gerbang Awal Transformasi Kehidupan

Jamak sudah kita dengar sebuah aforisme yang berbunyi barang siapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Akan tetapi, sudahkah kita merenungi dan mengambil hikmah apa makna di balik pernyataan itu? Misalnya, bagaimana proses mengenal diri itu berlangsung? Diri yang mana yang harus kita kenali? Serta apa signifikansinya bagi hidup kita?

Selama ini, mayoritas manusia terlalu ceroboh dan bersikap sombong dengan keinginannya untuk ingin langsung kenal kepada Allah. Padahal bagi orang-orang seperti kita yang berlumuran dosa dan kotoran ini hal itu tidak akan bisa. Dalam bahasa lain, kita perlu sadar diri bahwa kita perlu wasilah untuk mengenal Allah.

Ada rangkaian proses dan urutan yang harus kita tempuh dan jalani. Secara berurutan, kita perlu membenahi hati terlebih dahulu, kemudian memperbaiki kualitas kedirian kita, sehingga dengan kelayakan itulah kita kemudian bisa terhubung dengan Rasulullah sebagai wasilah kita untuk mengenal Allah.

Perihal membenahi hati ini tidak bisa kita lakukan seenaknya sendiri, karena di bab ini kita memerlukan bimbingan dari seorang mursyid (guru pembimbing yang telah berpengalaman dalam menempuh jalan menuju Tuhan).

Tak hanya itu, dalam urusan hati kita juga harus lebih banyak berpraktik secara langsung, tidak cukup dengan berteori dan mengandalkan kekuatan intelektual belaka. Dengan kata lain, kita harus merasakan langsung praktik atau latihan yang diberikan oleh guru pembimbing kita.

Selain itu, hal yang tak kalah penting untuk kita lakukan ialah menaikkan level kesadaran kita agar kita berada dalam keadaan yang tidak membentur-benturkan antara pahit dan manis, ada dan tiada, baik dan buruk, pujian dan hinaan, dan hal-hal yang selama ini sering kali kita pandang sebagai sesuatu yang berlawanan.

Bagi orang yang telah bertauhid secara benar, sejatinya tidak ada dikotomi (pembagian atas dua hal yang saling bertentangan) antara hal-hal yang kita sukai dengan sesuatu yang mungkin tidak kita sukai. Penerimaan atas berbagai hal itulah yang justru akan menaikkan level kesadaran kita sebagai manusia.

Alat ukur ketauhidan itu adalah kesadaran. Oleh karenanya, sejauh mana tingkat ketauhidan itu bisa dilihat dari seberapa besar level kesadaran seseorang. Sedangkan kesadaran diri itu bergantung pada lima tahapan dasar, yakni apresiasi diri, mencintai diri, menyayangi/merawat diri, menghargai diri, dan pada akhirnya berterima kasih kepada diri kita.

Baca juga: Seni Mencintai dan Menyayangi Diri Sendiri

Apresiasi dan mencintai diri adalah modal awal untuk meluaskan kesadaran dalam diri kita. Dengan mengapresiasi dan mencintai diri secara tepat, maka otomatis kita akan bisa menyayangi diri dengan bentuk merawat dan menjaga diri kita sebaik mungkin dengan memperhatikan apa yang kita konsumsi, kebiasaan, serta gaya hidup yang kita jalani.

Manusia adalah mikrokosmos (semesta kecil), sedangkan alam semesta yang terbentang di depan kita ialah makrokosmos (semesta besar). Untuk menyelaraskan antara keduanya, kita perlu terhubung ke dalam semesta kecil dalam diri kita terlebih dahulu, agar koneksi ke dalam semesta besar lebih mudah dilakukan.

Keterhubungan dengan semesta kecil dalam diri kita tersebut bisa dilatih dengan melakukan praktik berbicara dan berdialog dengan diri kita, khususnya bagian-bagian tubuh fisik yang selama ini setia menemani kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu, perenungan (tafakkur dan tadabbur) dan muhasabah juga bisa menjadi alat bantu untuk masuk dan mengenal diri kita lebih jauh.

Dengan metodologi yang dibawanya, agama sebenarnya berupaya untuk mengajak manusia menggunakan momen-momen ibadah atau praktik ritual sebagai jalan untuk mengenal diri kita, namun sering kali kita tidak sadar akan makna tersirat tersebut. Coba tanyakan kepada diri sendiri kapan terakhir kali kita merasa bahagia dan haru saat sedang shalat, berzikir, atau bershalawat kepada Nabi Muhammad?

Jika kita kesulitan menjawab pertanyaan di atas, barangkali kita memang sedang terlena dan dikepung oleh sesuatu yang bersifat kelalaian dalam hidup kita saat ini. Ciri utama dari fenomena ini ialah kita hanya akan berfokus pada masalah dan penderitaan belaka, dan kurang bersyukur atas anugerah yang telah Tuhan berikan.

Terhadap hal-hal yang sederhana saja kita tidak bisa bersyukur, bagaimana kemudian kita berharap untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Satu contoh kecil, sudahkah kita mensyukuri oksigen yang kita terima begitu saja (taken for granted) setiap hari dengan kadar yang begitu besar jika dinonimalkan dalam bentuk uang? Jika belum, maka tentu kita perlu mengubahnya sebelum kita kehabisan waktu dan kesempatan dalam hidup ini.

Penting untuk diketengahkan pula bahwa tauhid itu meliputi masalah sekaligus melampaui masalah. Artinya, saat ketauhidan itu sudah mengakar dalam diri kita, sikap yang harus dikedepankan ialah bukan mencari cara untuk melampaui masalah yang menghadang, bukan meratapi masalah, atau malah lari dari masalah.

Satu prinsip yang penting untuk kita pegang dalam menjalani kehidupan ini ialah sikap rela untuk menerima dan melepaskan, yang mana dua hal itu merupakan bagian inheren dari rukun iman yang keenam, yakni beriman kepada qadha dan qadar. Dalam bahasa yang lebih populer dewasa ini, kita sering menyebutnya sebagai takdir.

Akan tetapi, sebuah fakta menarik yang juga perlu kita ketahui ialah bahwasanya takdir-takdir yang terjadi di zaman modern ini bukan murni takdir. Pengundang atau pemicunya adalah kelakuan diri kita sendiri. Konkretnya ialah pola dan gaya hidup yang kita gunakan.

Sebagai contoh, diabetes yang hari ini menjadi penyakit paling mematikan ketiga di dunia itu kebanyakan disebabkan oleh pola makan dan minum yang tidak sehat dari manusia itu sendiri. Konsumsi kadar gula yang melebihi batas normal tiap harinya menjadi instrumen penting mengapa banyak orang terjangkit diabetes di era modern ini.

Rahasia penting lainnya terkait kesadaran adalah bahwa arah kesadaran itu selalu menuju ke jantung. Mirisnya, sering kali kita justru menzalimi jantung kita sendiri dengan memupuk rasa iri, dendam, benci, dan perasaan buruk lainnya dalam jantung, sehingga kadar kesadaran kita bukan malah bertambah, tapi justru berkurang dari hari ke hari.

Untuk mengimbangi pola dan gaya hidup yang kurang baik, maka kita perlu melakukan olah raga sebagai medium untuk menetralisir hal-hal buruk dalam diri kita. Saat kita berkeringat, sebenarnya kita sedang membuang energi-energi negatif yang terkandung dalam diri melalui pori-pori kulit di sekujur tubuh kita. Tak heran jika kemudian lahir inovasi berupa senam sufi di kalangan praktisi tasawuf atau praktik berzikir hingga berkeringat di seluruh badan kita.

Pada akhirnya, hal krusial nan esensial yang perlu kita lakukan sesegera mungkin ialah merapikan terlebih dahulu apa yang ada di dalam diri kita. Rasulullah saw pun melakukan proses pembenahan diri ini selama 13 tahun sebelum beliau diangkat sebagai nabi pembawa risalah kebenaran bagi umat manusia.

Pembenahan diri ini diawali dengan perbaikan dan transformasi kesadaran diri sendiri terlebih dahulu. Kesadaran diri di balik setiap ruku, sujud, dan praktik ibadah yang kita lakukan. Kesadaran diri di balik rumah tangga yang kita bangun, serta kesadaran diri dalam setiap aktivitas yang kita lakukan.

Upaya untuk memperbaiki kesadaran diri ini bisa dibantu dengan tiga hal, yaitu pengondisian diri, riyadhah dan meditasi untuk merilis program-program kurang baik dalam diri kita yang tidak kita sadari, serta menjadikan diri ini layak dipercaya.

Penulis: Coach Jaya (Founder Panca Olah Institute dan Spiritual Life Coach)


Leave a Reply