Selama ini, setidaknya ada dua hambatan yang terjadi pada mayoritas manusia di dunia ini. Hambatan itu lahir dari dosa yang seringkali tidak kita sadari dan rasa kufur (penyangkalan) terhadap nikmat-nikmat yang kita terima dalam kehidupan. Kekufuran ini tentu perlu dikonversi menjadi rasa syukur yang berlimpah atas nikmat yang kita dapatkan.
Tak cukup dengan itu, untuk membenahi kehidupan kita secara menyeluruh diperlukan beberapa hal yang harus kita lakukan. Salah satu gerbang awal dalam pembenahan diri secara mendasar ialah dengan mencintai diri dan menyayangi diri kita sendiri.
Hal ini dikarenakan sebagian besar manusia kurang memiliki perhatian terhadap dirinya sendiri. Mereka cenderung memperbaiki aspek luar dirinya saja, serta melupakan pembenahan terhadap apa yang ada di dalam diri kita sendiri.
Beberapa contoh praktis dari sikap tidak mencintai dan menyayangi diri sendiri ialah memelihara rasa dendam, dengki, benci, dan sejenisnya. Atau membiarkan luka di dalam batin kita secara terus menerus.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sikap menyayangi diri sendiri, karena kalau kita cinta dan sayang terhadap diri kita, tentu kita tidak akan mengendapkan perasaan tersebut di dalam hati kita. Rasa sakit hati terhadap seseorang hendaknya kita sikapi dengan angin lalu atau numpang lewat saja, tidak menyimpannya secara terus menerus.
Fenomena yang saat ini terjadi ialah kebanyakan manusia menjadikan dirinya sendiri sebagai tempat sampah. Sampah berupa rasa sakit hati, benci, iri dengki, dan lain sebagainya yang dibiarkan terlalu lama mengendap dalam diri kita, sehingga hal itu berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari kita.
Ciri dari orang yang mencintai dan menyayangi dirinya ialah dengan tidak membiarkan apa pun yang terjadi di luar sana berpengaruh dan mengontrol apa yang menjadi kebahagiaan dalam diri kita. Oleh karena itu, satu hal yang bisa kita lakukan ialah dengan menjadi pribadi yang pemaaf, tidak menyimpan dendam dan perasaan sejenisnya di dalam hati kita.
Setiap manusia sebenarnya bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Maka hal paling sederhana yang bisa kita lakukan ialah dengan mengontrol diri kita sendiri. Mengondisikan diri agar bisa timbul senyum yang lahir dari hati yang bahagia dalam diri.
Karena hakikatnya hidup ini adalah perayaan kebahagiaan dan kesyukuran, maka sudahkah kita merayakan kesempatan hidup ini dengan luapan kebahagiaan dan rasa syukur dalam menjalani kehidupan sehari-hari?
Tentu aspek utama yang tidak boleh dikesampingkan ialah mengenai kesadaran diri kita.. Kesadaran diri inilah yang akan memicu lahirnya respon dari alam semesta. Kalau kita sendiri tidak mencintai diri sendiri, bagaimana mungkin alam semesta akan mencintai diri kita?
Ada hukum tarik menarik yang berlaku di sana. Stimulus akan menghasilkan respon. Atau dalam bahasa fisika, ada hukum aksi-reaksi yang tidak bisa dipisahkan. Saat kita mulai mencintai dan menyayangi diri, maka alam semesta akan mencintai diri kita
Seni mencintai dan menyayangi diri sendiri bisa dimulai dengan memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada setiap organ tubuh kita yang setia menemani, mulai dari tangan, kaki, mulut, mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, redaksinya bisa seperti berikut ini: “Terima kasih tangan telah berpuluh-puluh tahun setia menemani hidupku." Pun halnya kepada organ tubuh kita yang lain. Redaksi yang digunakan pun bisa dimodifikasi sesuai dengan rasa yang terkandung dalam hati kita.
Bahkan, pada level kesadaran tertentu, seseorang bisa berdialog dengan organ tubuh yang terkandung dalam tubuh fisik kita. Artinya ada komunikasi yang terjadi antara diri kita dengan organ tubuh yang menjadi badan wadag berupa fisik kita.
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa untuk mencapai level tersebut, diperlukan bimbingan dari guru mursyid, karena belajar mengenai bab kesadaran tidak bisa dilakukan sembarangan. Dibutuhkan arahan dan bimbingan yang tepat dari guru yang telah berpengalaman dan kompeten di bidang tersebut.
Saat kita sudah mengetahui dan menyadari pentingnya mencintai dan menyayangi diri sendiri, tentu hal ini perlu diimbangi dengan sikap menghargai dan mensyukuri anugerah ilmu tersebut dengan mengaplikasikan apa yang telah kita ketahui. Kesatuan teori dan praktik ini amatlah penting, karena pembekalan teori belaka tidak akan berdampak jika hal itu tidak dipraktikkan.
Akhir kata, mencintai dan menyayangi diri adalah aspek mendasar dalam upaya pembenahan diri kita secara menyeluruh. Ia adalah pintu gerbang awal untuk masuk ke dalam samudra ketuhanan yang diiringi dengan keterhubungan yang mendalam terhadap kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw.
Melalui hati yang baik dan kesadaran yang layak, maka di situlah kita bisa menelusuri ruang lebih lanjut dari apa yang disebut dengan pemahaman dan pengenalan akan Tuhan. Karena barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.