Di akhir pekan pada bulan Oktober lalu, peserta dari beberapa daerah sekitar Bogor berkumpul di Balong Kabayan dengan semangat yang sama, yakni belajar menjadi fasilitator yang bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga mampu memahami nila-nilai kemanusiaan, kesemestaaan, dan kebudayaan dengan sadar penuh dan hadir utuh dan berakar pada nilai-nilai kehidupan.
Selama dua hari, sejak tanggal 25–26 Oktober 2025, Training of Facilitator (ToF) Wellness Program yang diinisiasi oleh Panca Olah Institute berlangsung dalam harmoni antara alam, budaya, dan olah diri dalam lima aspek kehidupan manusia, mulai dari Olah Pikir, Olah Hati, Olah Rasa, Olah Raga, dan Olah Karsa.
Program ini lahir sebagai jawaban atas kebutuhan akan fasilitator-fasilitator yang terlatih dalam mendampingi kegiatan wellness — seperti Ngolah Diri dan program pengembangan kesadaran lainnya — dengan pemahaman mendalam tentang manusia dan sinergi kehidupan manusia dengan alam dan budaya.
Pada hari pertama, para peserta yang datang dari berbagai daerah disambut hangat oleh panitia dengan welcome drink dan sesi pre-test. Sejak awal, suasana yang terbangun terasa akrab dan sarat nilai budaya. Gemericik air, aroma tanah lembab, dan hembusan angin dari pepohonan sekitar menjadi latar alami bagi perjalanan kesadaran selama dua hari ke depan.
Kegiatan dimulai dengan upacara pembukaan yang khidmat dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza, doa bersama, dan pembuatan mandala bunga. Di tengah lingkaran bunga-bunga warna-warni itu, peserta diajak menyadari bahwa keselarasan dengan alam juga berarti keselarasan dengan diri sendiri.
Kang Asep, pemilik Balong Kabayan, memberikan sambutan dengan menceritakan kisah lahirnya tempat tersebut. Ia bercerita tentang filosofi Kabayan — sosok sederhana, jujur, apa adanya, namun penuh kebijaksanaan. Nilai-nilai itu adalah dasar dari seorang fasilitator sejati: rendah hati dan mampu membaca makna di balik kesederhanaan.
Coach Jaya kemudian memperkenalkan tiga prinsip utama fasilitasi, yakni SADARI – HARGAI – SYUKURI. Ia menjelaskan bahwa fasilitator sejati adalah mereka yang hadir secara sadar, menghargai keberagaman pengalaman manusia, dan bersyukur atas setiap proses yang terjadi. “Hukum paradoks mengajarkan kita,” ujar Coach Jaya, “bahwa kebenaran tak hanya satu wajah. Ada pelajaran di balik setiap kejadian, bahkan dari hal yang tampak salah sekali pun.”
Setelah itu, dipandu oleh Teh Kenny, peserta diajak mengenal diri lewat kegiatan sederhana namun sarat makna. Sebuah kue dibawa ke tengah ruangan dan setiap peserta diminta memotong serta membagikannya dengan cara yang mereka anggap tepat.
Awalnya, suasana menjadi hening karena sebagian menunggu, sedangkan sebagian lainnya merasa ragu. Hingga akhirnya, satu peserta berinisiatif mengambil potongan pertama dan mulai berbagi.
Dari situ, muncul refleksi mendalam bahwa dalam dunia fasilitasi selalu ada yang bergerak lebih dulu, ada yang mengikuti, dan ada pula yang memilih diam. Semua itu sah adanya. Tugas fasilitator bukan mengubah, melainkan mengundang kesadaran agar setiap individu menemukan langkahnya sendiri.
Memasuki sesi selanjutnya, melalui video dan penjelasan tentang Hawkins Scale of Consciousness, peserta diperkenalkan pada dimensi energi dalam diri manusia. Dari rasa malu dan bersalah, menuju keberanian, cinta, hingga pencerahan; setiap emosi memiliki frekuensi yang membentuk kualitas hidup seseorang.
Peserta diajak merefleksikan: di level mana mereka paling sering berada akhir-akhir ini? Ada yang menunduk, ada yang tersenyum haru. Pertanyaan itu ternyata bukan sekadar latihan kognitif, melainkan juga undangan untuk jujur pada diri sendiri.
Dalam kelompok kecil, mereka mempraktikkan fasilitasi dengan peran berbeda, yakni sebagai fasilitator, peserta, dan pengamat. Melalui simulasi itu, lahir kesadaran baru bahwa mendengarkan dengan empati bukan sekadar memberi respon, melainkan hadir tanpa menghakimi.
Saat malam datang, Balong Kabayan berubah menjadi ruang budaya yang hangat. Kang Asep dan Kang Sonni memperkenalkan konsep kabuyutan, filosofi Kabayan sebagai sosok fasilitator rakyat, hingga simbol-simbol keseharian yang sarat makna. Teh Kenny juga memperagakan cara mengenakan kain Sunda dengan anggun disertai kisah tentang kesantunan dan filosofi keseimbangan.
Malam itu, para peserta tak hanya belajar tentang budaya, tapi juga tentang diri. Bahwa fasilitator yang berakar pada nilai lokal akan lebih kuat menumbuhkan kesadaran universal.
Sesi hari pertama ditutup dengan meditasi bersama. Peserta memegang dada kanan, titik source spot, sambil melepaskan segala beban. Setiap orang kembali kepada dirinya sendiri dan terhubung ke sumber kesadaran.
Hari kedua kegiatan Training of Facilitator for Wellness Program dimulai dengan suasana hangat sarapan bersama. Momen sederhana ini menjadi ruang untuk saling menyapa dan menyiapkan energi positif sebelum memulai aktivitas fisik.
Sesi pertama diawali dengan senam energi dan yoga tawa bersama Bli Sandi. Melalui aktivitas ini, peserta belajar bahwa otak dapat “disetel” untuk merasakan bahagia bahkan tanpa adanya stimulus dari luar.
Dengan berbagai variasi tawa — hahaha, hohoho, hihihi — peserta diajak untuk melepas ketegangan, mengalirkan energi, dan menyadari bahwa tawa juga merupakan bentuk latihan kesadaran tubuh. Tubuh yang awalnya kaku perlahan mengendur, energi mengalir lebih ringan. Ternyata, bahagia bisa dilatih.
Peserta kemudian diajak melakukan observasi objek yang ada di sekitar lokasi kegiatan. Setiap orang memilih satu benda di sekitar, seperti daun, batu, ranting, atau bunga, lalu memperhatikannya dengan penuh kehadiran. Dalam kelompok kecil, mereka berlatih memfasilitasi refleksi tentang makna dari objek itu.
Beberapa peserta menemukan kenangan masa kecil, sedangkan yang lain menemukan pesan tentang kesabaran. Dari alam, mereka belajar bahwa setiap benda diam pun bisa menjadi guru jika kita mau hadir mendengarkannya.
Sesi berikutnya adalah mandi energi matahari, yakni merasakan hangatnya sinar pagi sambil membuka diri terhadap energi kehidupan. Hal itu kemudian dilanjutkan dengan tree hugging, memeluk pohon sebagai simbol penyatuan dengan bumi. Beberapa peserta terisak, melepaskan emosi yang lama tertahan.
Di bawah pancuran air alami Balong Kabayan, sesi mandi energi air menjadi puncak proses. Dipandu oleh Coach Jaya dan Teh Kenny, peserta menyelamkan kepala tujuh kali sambil mengingat Sang Pencipta. Air menjadi simbol pembersihan dan lahirnya kesadaran baru. Beberapa peserta menangis, sebagian tertawa lega. Dalam keheningan curahan air, mereka menemukan sesuatu yang tak bisa dijelaskan: rasa pulang pada diri sendiri.
Menjelang siang, peserta menyiapkan makanan bersama. Ada yang menanak nasi, merebus sayur, menyiapkan sambal, hingga memanggang ayam. Aktivitas sederhana ini menjadi latihan kerja sama, komunikasi , dan rasa saling percaya.
Sambil menunggu masakan selesai, peserta melakukan diskusi reflektif dan wrap-up session membahas pengalaman selama kegiatan serta menyusun rencana tindak lanjutpribadi setelah program ini selesai, khususnya bagaimana meneruskan praktik wellness dan kesadaran diri dalam kehidupan sehari-hari.
Training of Facilitator Wellness Program menegaskan bahwa fasilitasi bukan sekadar teknik, melainkan jalan hidup. Ketika ditanya tentang perubahan yang mereka rasakan, sebagian besar peserta menyebut hal yang sama: kesadaran mereka meningkat.
Kegiatan ini juga menjadi pengingat bahwa dalam mendampingi orang lain bertumbuh, kita pun sedang belajar menemukan dan menyembuhkan diri sendiri. Seorang fasilitator sejati bukan mereka yang tahu banyak, tapi yang mampu hadir dengan sepenuh hati dengan menyadari, menghargai, dan mensyukuri setiap momen kehidupan.
