Di penghujung bulan Maret ini, Panca Olah Institute kembali melanjutkan program Suluh Nusantara. Pada edisi ketiga yang dilaksanakan Selasa, 29 Maret 2022, tema yang diangkat ialah tentang pemikiran dan gagasan Ki Ageng Suryomentaram.
Suluh Nusantara sendiri hadir sebagai salah satu ikhtiar untuk menanggulangi amnesia historis yang banyak terjadi di kalangan pemuda dengan penelusuran kembali khazanah pemikiran dan gagasan para tokoh pendahulu, sebagai bahan untuk merajut kembali peradaban yang luhur nan agung berdasar paradigma Nusantara.
Indra Hanjaya selaku Founder Panca Olah Institute menyampaikan dalam sambutannya bahwa program Suluh Nusantara dibuat dengan tujuan untuk menyalakan api peradaban Nusantara dengan kembali menggali warisan-warisan intelektual maupun spiritual yang pernah ditinggalkan oleh tokoh-tokoh Nusantara terdahulu.
Bertemakan “Kawruh Jiwa: Gerbang Kesadaran Teknologi Jawa ala Ki Ageng Suryomentaram”, elaborasi utama yang hendak ditelisik ialah bagaimana sesungguhnya konsep Kawruh Jiwa yang dicetuskan oleh Ki Ageng Suryomentaram dan sejauh mana relevansi dari konsep itu di hari ini, khususnya dalam aspek kesadaran seorang manusia.
Bersama Muhaji Fikriono, seorang Pengkaji Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, diskusi dalam rangka membedah pemikiran Ki Ageng tersebut berjalan secara hidup, interaktif, dan membuka cakrawala pengetahuan maupun kesadaran yang luas. Sekitar 70 orang dari berbagai wilayah seantero Nusantara ikut hadir dan meramaikan kegiatan ini, mulai dari Malang, Bekasi, Ciputat, Jakarta, Medan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, NTT, Singapura, hingga Taiwan.
Menurut Muhaji Fikriono, wejangan-wejangan yang diberikan oleh Ki Ageng sangat khas dan unik. Beliau membiarkan tulisannya berserakan di berbagai tempat dan merangsang setiap orang yang membaca tulisannya untuk menemukan sendiri apa ide pokok maupun gagasan penting dari tulisan tersebut.
Pada kesempatan ini, narasumber yang juga merupakan penulis dari buku Puncak Makrifat Jawa: Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram dan Kawruh Jiwa: Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram itu mengemukakan pokok-pokok pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dengan begitu semangat.
“Kawruh Jiwa bukanlah ajaran agama, etika, budi pekerti, atau kebatinan. Ia merupakan ajaran universal bagi semua orang dari beragam kalangan,” ujar Pak Aji sembari mengawali paparannya mengenai pemikiran Ki Ageng.
Satu poin menarik yang diutarakannya ialah perihal fokus kajian Ki Ageng Suryomentaram yang terletak pada manusia dan kemanusiannya. Hal ini dikarenakan, mengutip perkataan Ki Ageng, dalam diri manusia itu ada rasa yang bisa merasakan rasa.
Pak Aji kemudian memilih untuk menyampaikan ulang wejangan Ki Ageng Suryomentaram yang didedahkannya lewat Radio S.R.V. (Solosche Radio Vereeniging), Surakarta, tiap malam Ahad Kliwon yang dimulai pada bulan Mei tahun 1935.
Materi siaran radio tersebut sudah ditranskrip dan dibukukan dengan tiga buah judul: Menyembah Kepada Yang Maha Kuasa, Kawruh Kasunyatan, dan Kawruh Kasampurnan. Menimbang waktu yang terbatas, Pak Aji memutuskan untuk membahas yang pertama, yakni Menyembah Kepada Yang Maha Kuasa.
Bagi Ki Ageng, penting bagi seseorang untuk mengetahui bagaimana cara menyembah Gusti (Tuhan) yang benar. Hal ini tidak akan bisa diketahui jika orang tersebut belum mengetahui dan mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu. Oleh karena itu, mengetahui hakikat dan jati diri menjadi langkah awal yang sangat penting.
Sebagai contoh, Ki Ageng mengungkapkan bahwa menyembah itu sebenarnya merupakan wujud dan bentuk terima kasih yang disampaikan manusia kepada Tuhan yang menciptakannya, bukan malah menyembah dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu berupa keuntungan material duniawi misalnya.
Tak sampai di situ, mengetahui cara menyembah yang benar nan tepat juga menjadi hal yang perlu dipelajari oleh tiap orang. Siapakah yang disembah? Untuk apa penyembahan itu? Dan bagaimana cara menyembah-Nya?
Ketika cara menyembah yang semestinya kepada Yang Maha Kuasa sudah ditemukan, maka penyembahan terhadap Yang Maha Kuasa pun bisa terus menerus dilakukan dari saat ke saat, dan tentu saja melahirkan rasa bahagia hakiki.
Inilah yang kemudian bisa disebut sebagai puncak kesadaran manusia. Yakni ketika ia telah bisa mengenali siapa dirinya, dan kemudian mengetahui siapa Tuhannya. Kesadaran model inilah yang dirangkum Ki Ageng Suryomentaram dalam konsep Kawruh Jiwa.
Oleh karenanya, manusia tidak boleh hanya mengandalkan kekuatan intelektualnya, melainkan juga perlu mengasah kedalaman rasanya. Dengan menyinergikan dua hal itu, maka kebahagiaan akan bisa diperoleh dalam kehidupannya.
“Keseimbangan antara olah pikir dan olah rasa merupakan aspek penting yang ditekankan oleh Ki Ageng Suryomentaram,” terang Pak Aji.
Pada akhirnya, Ki Ageng Suryomentaram memang merupakan potret antara kecanggihan intelektual, kematangan jiwa, dan kedalaman rasa yang manunggal dalam dirinya. Membaca dan mempelajari pemikiran Ki Ageng rasanya ibarat salah satu syair yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabi: “An ocean without shore.”