Dalam hidup yang kita jalani, alangkah baiknya kita tidak membeda-bedakan antara hal yang mengenakkan dan sesuatu yang kurang mengenakkan. Tidak elok jika hanya kita menginginkan bagian-bagian yang enak bagi kita saja.
Hidup ini adalah dualitas. Artinya, ada naik turun yang mewarnainya. Terkadang kita sehat, namun di saat yang lain kita juga merasakan sakit. Tidak selalu doa dan harapan kita juga dikabulkan oleh Tuhan. Terhadap hal-hal yang sifatnya bertolak belakang tersebut, sikap kita sebagai manusia tentu harus menerimanya.
Bagi kaum muslim, sikap ini selaras dengan poin keenam dari keseluruhan rukun iman, yakni beriman terhadap qada dan qadar yang terjadi dalam keseharian hidup kita. Dengan mengimani segala peristiwa atau fenomena yang terjadi, di situlah kita akan menemukan nikmatnya rasa tawakal kepada Allah.
Padanan dari sikap ini secara universal terdapat dalam apa yang disebut dengan respon spontan. Jika respon spontannya salah, maka segala sesuatunya akan bermasalah. Misalnya saat kita sedang dihina, apa respon spontan pertama kita? Jika kita balas menghina dan memaki, tentu tidak ada bedanya dengan orang yang melakukan penghinaan kepada kita.
Sementara, jika saat mendapatkan penghinaan tersebut kita mengembalikan hal itu kepada Allah dengan tawakal dan ketauhidan yang mengakar, maka apa yang terjadi selanjutnya akan berbeda dibanding kita balas memaki dan menghina orang tersebut.
Oleh karena itu, dalam setiap momen dan suasana apa pun, penting bagi kita untuk tetap menjaga respon spontan untuk berada di jalur ketauhidan, karena sejatinya tidak ada kemuliaan, kesuksesan, atau kebahagiaan tanpa disertai dengan ketauhidan.
Satu hal yang perlu disadari ialah bahwasanya respon spontan itu mesti bersifat netral, tidak memilih-milih antara baik dan buruk, nikmat dan tidak nikmat, cocok atau tidak cocok, benar dan salah, dan seterusnya. Bahkan, apa yang kita sebut sebagai penderitaan, kesusahan, hingga ketidakharmonisan itu sejatinya jauh lebih dahsyat dalam mewakili rasa welas asih Tuhan terhadap hambanya.
Berkaitan dengan kondisi hidup yang kita jalani saat ini, terdapat satu hal yang berpengaruh terhadap keadaan yang kita terima. Ia bernama vibrasi jiwa. Vibrasi ini sangat menentukan karakteristik dan sikap yang kita ambil dalam kehidupan sehari-hari dalam merespon kejadian tertentu.
Kadar kebersyukuran dan penerimaan serta keikhlasan merupakan beberapa hal yang turut menyumbang andil perihal tingkatan atau level vibrasi jiwa kita sebagai manusia. Apakah tergolong manusia yang dipenuhi ketakutan dan kecemasan, manusia yang selalu bimbang dan kebingungan, atau manusia yang dipenuhi dengan rasa cinta dan welas asih?
Secara bahasa, vibrasi bermakna getaran. Getaran yang dilahirkan dan ditentukan oleh kesadaran jiwa dan kondisi ruhaniah setiap manusia. Vibrasi ini memiliki level-level yang beragam, bergantung tingkat kesadaran yang dimiliki setiap orang saat diukur secara ilmiah.
Idealnya, manusia perlu memiliki vibrasi jiwa dengan level 300, yakni berada di zona ikhlas dan netral sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan dinamikanya. Di tingkatan ini, seseorang sudah tidak lagi memahami dunia sebagai dualitas (baik-buruk, benar-salah), melainkan sudah menerima apa pun yang ia dapati, tanpa memilah-milahnya.
Contoh terapan dari bagaimana pengaruh vibrasi ini pernah diteliti oleh Masaru Emoto, seorang ilmuwan Jepang yang melalui penelitiannya mengungkapkan suatu keanehan pada sifat air.
Dari pengamatannya terhadap lebih dari dua ribu contoh fotokristal air yang dikumpulkannya dari berbagai penjuru dunia, Emoto menemukan bahwa partikel molekul air ternyata bisa berubah-ubah tergantung perasaan manusia di sekelilingnya. Artinya, hal ini secara tidak langsung mengisyaratkan pengaruh perasaan terhadap klasterisasi molekul air yang terbentuk oleh adanya ikatan hidrogen.
Emoto juga menemukan bahwa partikel kristal air terlihat menjadi "indah" dan "mengagumkan" apabila mendapat reaksi positif di sekitarnya, misalnya dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Namun partikel kristal air terlihat menjadi "buruk" dan "tidak sedap dipandang mata" apabila mendapat efek negatif di sekitarnya, seperti kesedihan dan bencana.
Aspek praksis yang bisa kita temui dari penelitian Masaru Emoto ini terlihat dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang membawa dan meletakkan air mineral pada majelis-majelis zikir dan ilmu bersama para kiai atau tokoh kharismatik sejenis dalam berbagai tempat yang tersebar di seantero negeri
Sebagai contoh, di Majelis Ruang Dalam Qalbun Salim Ciawi, terdapat perubahan warna air setelah proses zikir dan pengajian, di mana seringnya air tersebut berganti menjadi warna ungu, yang mana warna tersebut adalah simbol dari spiritualitas.
Tak hanya itu, vibrasi juga menjadi faktor penentu keterhubungan manusia dan Tuhannya saat beribadah. Mengapa ibadah yang kita lakukan seringkali tidak berdampak dalam kehidupan itu salah satunya disebabkan tidak adanya sinkronisasi antara manusia dengan Tuhan, yang mana hal ini disebabkan tingkat vibrasi manusia yang tidak cukup layak dan memenuhi syarat.
David R. Hawkins dalam Power vs Force: The Hidden Determinants of Human Behavior menjelaskan bahwa vibrasi kesadaran manusia memiliki tujuh belas tingkatan yang pada tiap levelnya mengandung emosi serta proses yang berlangsung di dalamnya. Level tertinggi yang disebut Hawkins dengan enlightement misalnya dimiliki oleh tokoh-tokoh spiritual semacam Bunda Teresa dan Mahatma Gandhi.
Sosok lain yang tentu tergolong memiliki vibrasi pada tingkat enlightenment atau bahkan sudah melampaui itu tercermin dalam diri Nabi Muhammad saw. Beliau disebut sebagai manusia paripurna (al-insan al-kamil). Manifestasi dari tingkat vibrasi yang tinggi itu tampil dalam bentuk rasa cinta dan welas asih kepada seluruh umat manusia, tanpa memandang perbedaan ras, suku, keyakinan, dan agama.
Oleh karenanya, praktik bershalawat kepada Nabi Muhammad saw di kalangan umat Islam merupakan salah satu sarana untuk bisa terhubung dengan Rasulullah dan Allah sekaligus. Karena pada hakikatnya shalawat ialah penghubung.
Penghubung antara langit dan bumi. Penghubung antara doa dan ijabah. Penghubung antara hamba dan Tuhannya. Penghubung antara ikhtiar dan kesuksesan. Saat kita bershalawat, maka di situlah terbuka kucuran rahmat kepada kita dari Allah.
Selain dengan bershalawat, tips lain yang bisa diaplikasikan untuk meningkatkan tingkat vibrasi manusia ialah dengan meneguhkan dua sikap utama, yakni bersyukur dan ikhlas. Bersyukur atas segala hal yang terjadi dan masuk ke dalam kehidupan kita, serta ikhlas terhadap apa saja yang keluar atau dan pergi dari hidup kita.
Semakin tinggi vibrasi jiwa manusia, maka hal itu akan berdampak pada hidup yang berkelimpahan, tenang, serta pencerahan yang membimbing kepada kebahagiaan hakiki. Sebaliknya, semakin rendah kesadaran yang kita miliki, maka hidup yang kita jalani akan penuh dengan rasa malu, ketakutan, kebencian, kemarahan, hingga rasa bersalah.