Urip Iku Urup: Kebermanfaatan sebagai Basis Kehidupan

SENIN, 15 FEBRUARI, 2021

Urip Iku Urup: Kebermanfaatan sebagai Basis Kehidupan

Life is not accumulation, it is about contribution (Stephen Covey)

Satu pertanyaan penting yang terus menerus muncul dalam sejarah peradaban manusia adalah untuk apa sesungguhnya hidup yang dianugerahkan kepada kita. Seiring berjalannya waktu, jawaban atas pertanyaan ini bermunculan dengan jenis yang beragam.

Ada yang berpendapat bahwa hidup selaras dengan pencapaian apa yang dapat diperoleh sepanjang hidup. Di sisi lain, terdapat pula pihak yang memaknai hidup sebagai perjalanan yang mestinya dipenuhi kesenangan dan kebahagiaan. Beberapa seniman mengartikan hidup adalah menjalankan peran sesuai skenario agung yang telah dirancang oleh Tuhan.

Setiap orang berhak menentukan apa tujuan dari hidup yang dijalaninya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa jika tujuan itu telah ditancapkan dengan kokoh, maka secara tidak langsung hal itu akan memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil seseorang dalam hidupnya, baik dalam lingkup pribadi, keluarga, hingga masyarakat.

Jika Anda masih bingung dengan apa sebenarnya hakikat hidup itu, mungkin salah satu filsafat Jawa yang berbunyi Urip iku Urup bisa memberikan titik terang atas kegundahan yang selama ini Anda rasakan. Secara bahasa, urip berarti hidup. Sedangkan urup memiliki arti nyala, menyala, dan sejenisnya. Adapun iku merupakan bentuk preposisi yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata “itu”.

Secara tersirat, filsafat tersebut berisikan pesan bahwasanya hidup ialah tentang kebermanfaatan kepada sesama manusia, terlepas dari identitas ras, suku, agama orang tersebut. Kebermanfaatan di sini selaras dengan kontribusi yang bisa Anda lakukan terhadap tugas-tugas kemanusiaan, seperti memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang terjatuh di tengah jalan, merawat kelestarian hutan dan lingkungan, mengedukasi orang-orang yang tak sempat mengenyam bangku pendidikan, dan banyak lainnya.

Pandangan hidup seperti ini tidak lain didasari adanya kesadaran diri dalam kaitannya dengan peran sebagai seorang manusia yang memiliki rasa kemanusiaan. Seiring dengan meluasnya kesadaran tersebut, maka kontribusi yang diberikan juga merambah ke wilayah kehidupan masyarakat luas, entah dalam skala kota atau kabupaten, provinsi, negara, dunia, hingga alam semesta.

Oleh karena itu, indikator seorang negarawan bukanlah mereka yang paling banyak menguasai aset negara, melainkan ia yang mau berkontribusi terhadap kemajuan bangsa dan negara, terlepas dari apakah mereka mendapat imbalan atau tidak dari sumbangsih yang diberikan.

Dalam Islam, sikap hidup serupa tersurat dalam sebuah hadis yang berbunyi: “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Dari sini, jelas sudah bahwa hidup sebenarnya perihal pelayanan dan kontribusi apa yang bisa Anda berikan terhadap sekitar. Baik melalui sektor pendidikan, ekonomi, sosial, lingkungan, kebudayaan, dan seterusnya.

Sementara itu, dalam ilmu psikologi modern, khususnya psikologi positif yang banyak berkembang pasca Perang Dunia II, pembahasan mengenai pentingnya kontribusi atau pelayanan terhadap sesama tercermin dari apa yang ditulis oleh Martin Seligman dalam Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment.

Pada buku itu, Seligman membagi tiga tingkatan kehidupan berdasarkan kesadaran yang dimiliki oleh seseorang. Pertama, yakni have a pleasant life and life of enjoyment. Dalam rangka memperoleh kebahagiaan, seseorang harus memiliki hidup yang menyenangkan dan penuh kegembiraan.

Akan tetapi, seseorang perlu berhati-hati dengan jebakan hedonic treadmill (semakin mencari kenikmatan maka ia semakin sulit merasa puas) dan kebosanan dalam melakukan hal yang sama. Bagaimanapun juga, cara ini bisa sangat membahagiakan bila diterapkan pada takaran yang pas.

Kedua, ialah have a good life and life of engagement. Untuk bahagia, seseorang harus memiliki kehidupan yang baik dan hidup dalam kekhusyukan kegiatan. Dalam istilah Aristoteles, hal ini disebut eudaimonia. Konsep eudaimonia sering merujuk pada definisi kebahagiaan yang berfokus pada pencapaian kebahagiaan dengan menjalani hidup dengan baik dan memenuhi potensinya sebagai manusia.

Salah satu ciri dari kehidupan yang baik tersebut ialah mengalami hidup mengalir seakan-akan tidak merasakan apa pun karena sangat khusyuk. Fokusnya masih banyak mengarah kepada diri kita sendiri untuk mencapai good life yang dimaksud.

Tingkatan tertinggi menurut Seligman ialah mereka yang telah sampai pada taraf have a meaningful life and life of contribution. Sebagai jalan mencapai kebahagiaan, seseorang harus memiliki semangat melayani orang lain sehingga hidupnya terasa penuh arti. Ia juga harus berusaha berkontribusi terhadap kehidupan sesama manusia.

Hal ini bisa didapatkan jika seseorang menjadi bagian dari organisasi atau kelompok tertentu. Ia harus merasa bahwa kehidupan memiliki makna yang amat tinggi dengan membantu orang lain daripada sekadar hidup untuk dirinya sendiri. Pada tahap ini, fokus seseorang lebih banyak mengarah kepada orang lain (serving others) daripada kepada dirinya sendiri.


Leave a Reply