Saat ini, umat Islam sedang berada di salah satu bulan hurum (yang dimuliakan), yakni Dzulhijjah. Ada empat bulan yang tergolong asyhurul hurum (bulan-bulan yang dimuliakan). Secara berurutan, keempat bulan itu di antaranya Dzulhijjah, Dzulqa'dah, Muharram, dan Rajab). Disunnahkan di awal bulan ini untuk memperbanyak ibadah dan berpuasa di dalamnya.
Penisbatan nama Dzulhijjah sendiri memiliki beberapa alasan. Salah satu alasan mendasar akan hal ini ialah karena di dalam bulan ini terdapat ibadah haji yang dijalankan oleh manusia dari berbagai penjuru dunia di tanah suci Makkah dan Madinah (Haramain). Tak hanya itu, pada bulan Dzulhijjah ini pula turun syariat mengenai ibadah kurban yang bermula dari kisah Nabi Ibrahim dengan putranya, Nabi Ismail.
Peristiwa-peristiwa penting nan sakral inilah yang agaknya menjadi faktor kenapa Dzulhijjah tergolong ke dalam bulan yang dimuliakan. Sehingga, secara tidak langsung ia seharusnya juga bisa menjadi momentum bagi kita untuk berbenah diri dan lebih giat lagi dalam menaikkan level kesadaran kita sebagai manusia.
Faktanya, selama kesadaran kita belum mencakup tiga kata yang akan dijelaskan setelah ini, hidup ini dipastikan bakal banyak mendapat sumbatan. Ketiga hal itu adalah berserah, terserah, dan menyerah. Trilogi puncak kesadaran manusia ini merupakan level lebih lanjut dari tahapan sebelumnya. Tahapan pertamanya adalah sadari, hargai, dan syukuri.
Kita terlalu banyak keinginan (karep), memaksakan kehendak pribadi, memversuskan hal-hal yang sejatinya tidak berlawanan, bahkan tanpa sadar kita juga sering berkonflik dengan ketentuan Allah atas hidup kita.
Akibatnya, yang terjadi dalam hidup kita bukanlah percepatan-percepatan yang disertai pertolongan Allah, melainkan perlambatan-perlambatan yang jika dibiarkan bukan tidak mungkin akan mendorong terjadinya "kecelakaan" dalam hidup kita.
Sebelum mengelaborasi lebih jauh makna dari berserah, terserah, dan menyerah; alangkah lebih baik kita berkaca terlebih dahulu. Sudahkah kita menerapkan pelajaran pertama dari tingkatan kesadaran sebelumnya.
Coba kita tengok ke dalam diri kita sendiri, bukan mengoreksi orang lain terlebih dahulu. Apakah kita sudah benar-benar menyadari diri kita sepenuhnya? Siapa kita? Dari mana kita? Serta mau ke mana kita?
Lalu mari kita bermuhasabah dengan penuh penghayatan, apakah kita telah benar-benar menghargai apa pun yang datang dalam hidup kita? Mulai dari keluarga, pasangan, anak, pendidikan, pekerjaan, lingkungan, hingga terhadap hal-hal yang kita sebut sebagai ujian dan penderitaan. Apakah kita sudah menghargainya secara layak?
Jika mungkin kesadaran dan penghargaan itu sudah Anda terapkan, mari kita berlanjut ke dalam aspek yang ketiga, yakni kesyukuran. Mari kita bertanya secara jujur tanpa kepalsuan kepada diri kita. Bagaimana rasa syukur kita atas nikmat dan karunia yang begitu berlimpah dari Tuhan yang Maha Kuasa? Apakah kita sudah bersyukur atas semua anugerah yang diberikan dalam hidup kita?
Tentu hanya Anda yang bisa menjawab tiga pertanyaan mendasar di atas. Akan tetapi, jika Anda masih merasa hidup menderita dan susah, berarti ada yang salah dengan penerapan konsep sadari-harga-syukuri. Karena sejatinya penderitaan itu bukanlah disebabkan oleh kurangnya karunia, melainkan kurangnya rasa syukur kita atas anugerah yang telah kita terima.
Sehingga, penting rasanya bagi kita untuk terus mengingatkan diri kita sendiri dalam menyadari, menghargai, dan mensyukuri apa saja yang datang dalam hidup ini. Dengan itulah kita baru bisa memaknai hidup sebagai perayaan kebahagiaan dan kesyukuran secara nyata, bukan sekadar teori atau kata-kata belaka.
Berserah, Terserah, dan Menyerah
Sebelum melangkah lebih jauh, saya perlu memberikan disclaimer kepada para pembaca sekalian bahwa makna dari tiga kata yang akan kita bahas ke depan itu bukanlah pemaknaan secara tekstual dan harfiah sebagaimana selama ini kita dengar, melainkan makna yang dilandasi oleh tauhid dan kesadaran yang layak untuk menerimanya, serta dibarengi dengan bimbingan dari seorang mursyid.
Landasan akan hal ini terkandung dalam surat al-Maidah ayat 35. Setiap orang membutuhkan wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam konteks saat ini, penghubung untuk meniti jalan kepada Allah terdapat pada otoritas mursyid yang telah kompeten dan berpengalaman.
Secara umum, ayat ini juga mengandung muatan untuk mengajak setiap insan menempuh jalan tarekat. Karena dengan bertarekat itulah kita bisa terhubung serta berada dalam bimbingan seorang mursyid untuk mengenal diri, sehingga dengan pengenalan akan diri itulah kita bisa mengenal Allah.
Berserah, terserah, dan menyerah merupakan trilogi puncak kesadaran manusia. Tiga hal tersebut bukanlah tingkatan atau urutan yang berjenjang. Akan tetapi, ketiganya merupakan satu kesatuan kesadaran yang harus diintegrasikan dalam setiap aktivitas yang kita lakukan.
Jika boleh diibaratkan, ketiga komponen itu (berserah, terserah, dan menyerah) lebih pas untuk digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang sifatnya siklikal, bukan seperti anak tangga yang antara satu dan lainnya memiliki jarak dalam satuan langkahnya.
Memang, puncak tauhid dalam trilogi kesadaran ini adalah menyerah. Ekspresi akhirnya ada dalam kematian kita nantinya. Kita masuk ke dalam sebuah lorong, di mana itu adalah destinasi terakhir untuk menjalani kehidupan baru di alam keabadian sana.
Akan tetapi, menyerah dalam konteks diagram lingkaran itu bukanlah akhir. Artinya, ada perputaran yang terjadi secara bergantian antara keadaan berserah, terserah, dan menyerah. Di titik manakah keadaan kita itu sangat bergantung dengan kelayakan kondisi spiritual kita. Oleh karena itu, makna menyerah di sini janganlah disalahpahami sebagai sesuatu yang buruk.
Selama seseorang itu menyerah, akan terjadi massive action dari arah yang tidak kita duga sebelumnya. Menyerah di sini bukanlah dalam artian fisik, melainkan secara spiritual. Adapun secara lahiriah, ikhtiar dan usaha mestilah tetap dijalankan dengan sungguh-sungguh dan totalitas.
Ketika kita menyerah kepada Allah, maka di situlah Allah justru akan menuntun kita dengan kekuatan dan kuasa-Nya. Orang yang telah memiliki kesadaran untuk berserah, terserah, dan menyerah; maka mereka adalah orang yang paling semangat dalam menjalani hidupnya.
Saat kesadaran kita naik, maka pandangan kita atas sesuatu juga akan ikut berubah. Seperti pandangan atas penderitaan dan kebahagiaan. Kita akan berada di titik netral antara kedua hal yang sering dibentur-benturkan di luaran sana.
Kisah Nabi Ibrahim saat mendapat perintah untuk mengorbankan putranya bisa menjadi sebuah contoh. Mimpi yang didapat hingga tiga kali oleh Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail adalah potret tauhid tingkat tinggi yang menjadi ilustrasi bagaimana terapan prinsip berserah, terserah, dan menyerah dalam kehidupan nyata.
Satu catatan yang tidak boleh kita lupakan, bahwa ikhtiar dan niat (kesadaran diri) harus berjalan bersamaan dengan kesadaran ketuhanan. Menyerah dalam hal ini adalah manifestasi dari kesadaran ketuhanan. Sedangkan usaha yang kita lakukan merupakan cerminan dari kesadaran diri kita.
Kesadaran ketuhanan sendiri harusnya meliputi susah dan senang, ada dan tiada, lapang dan sempit, dan meliputi segala ujian yang mewarnai kehidupan kita. Pada titik ini, tidak ada lagi pembedaan atau dikotomi antara hal-hal yang kita senangi dengan sesuatu yang mungkin tidak kita senangi.
Kita perlu belajar untuk mencapai titik kesadaran itu. Dan gerbang awal menuju ke sana ialah dengan menyadari diri kita sendiri. Sadar akan nafas yang keluar masuk setiap waktu, serta lebih jauh menyadari setiap organ tubuh kita, sehingga pada tahap selanjutnya kita bisa menghargai dan mensyukurinya secara layak.
Pada akhirnya, trilogi puncak kesadaran manusia yang terdiri dari berserah, terserah, dan menyerah bukanlah sesuatu yang sifatnya instan dan mudah diraih. Diperlukan keseriusan dan kesungguhan dalam proses tirakatnya, serta bimbingan dari seorang mursyid yang telah memiliki jam terbang spiritual untuk mengantarkan kita menuju gerbang ma'rifat, yang mana selanjutnya kita akan menempuh perjalanan panjang mengarungi samudra kesadaran ketuhanan dalam berbagai peristiwa dan kejadian sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan kita secara spiritual untuk benar-benar layak berada dalam pelukan cinta dan kasih Allah.
Penulis: Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute