Prinsip penting dalam hidup ini yang harus kita jadikan pedoman ialah kesadaran bahwa tidak ada kebahagiaan, kesuksesan, hingga kemuliaan tanpa disertai dengan ketauhidan yang mengakar secara dalam. Artinya, inti dari segala inti hidup kita sebagai manusia ini adalah ketauhidan.
Perlu kiranya bagi kita untuk kembali mempertegas paradigma atau kesadaran baru tentang hakikat peran manusia di dunia. Sejatinya, kita adalah makhluk spiritual yang diperjalankan sebagai manusia. Dengan bahasa lain, hal ini bisa diartikan bahwa peran sebagai manusia itu hanya bersifat sementara.
Terhadap hal-hal yang bersifat sementara itu, semestinya kita tidak bersikap berlebihan. Dengan menyadari hal itu, maka cara pandang dan metode yang kita gunakan dalam menjalani kehidupan ini tentu akan berbeda pula.
Sebagai contoh, jika kita berpegang pada prinsip di atas, apa yang kemudian kita lakukan dalam merengkuh kebahagiaan dan kesuksesan akan berfokus kepada pola yang bersifat dari dalam ke luar, bukan sebaliknya.
Konkretnya, untuk menjadi bahagia kita tidak akan menggunakan parameter yang berasal dari luar diri kita (ex: harga mobil, jumlah rumah), melainkan dengan mengaktivasi kebahagiaan dari dalam diri dengan memperluas otot syukur dan melakukan upaya-upaya perbaikan diri agar tercipta kebahagiaan hakiki, bukan yang sifatnya temporer.
Di sinilah kemudian peran penting ketauhidan diperlukan. Karena sifat dasar kebahagiaan itu harus didasari dengan kadar ketauhidan yang layak, maka jika kita menafikan ketauhidan, bisa dipastikan kita tidak akan pernah meraih kebahagiaan. Paling maksimal kita hanya akan mendapatkan kesenangan yang sifatnya tidak bertahan lama.
Salah satu indikator terpenuhinya kebahagiaan adalah adanya kontrol diri penuh terhadap segala peristiwa yang hadir dalam hidup kita. Termasuk pula terhadap pasangan, orang tua, anak, dan sebagainya.
Satu kesadaran baru yang juga perlu ditanamkan dalam diri kita ialah perihal jodoh yang ternyata ia bukan cermin, melainkan entitas yang bertugas untuk saling melengkapi satu sama lain. Bisa jadi jodoh itu bukan yang sifatnya sama, melainkan berbeda antara satu dengan lainnya.
Di samping itu, kita juga perlu menyadari mengenai adanya tetralogi dalam kehidupan manusia yang keempatnya itu ibarat mata rantai yang saling berhubungan dan mempengaruhi.
Tetralogi itu secara berurutan ialah Allah (Tuhan), Rasulullah (Utusan), Hamba (Manusia), dan Hati. Tuhan ialah Sang Pencipta, penggenggam hati, pemberi hidayah, pemberi rezeki, pemilik surga, dan tentunya Zat yang paling berkuasa atas apa yang terjadi di alam raya ini.
Mengenai bab Tuhan ini kita juga perlu merenungi bagaimana asal pembuatan diri kita atau asal usul kejadian kita yang sejatinya berasal dari cahaya Allah.
Dengan mentafakkuri hal itu, maka cara pandang kita saat menyikapi kelahiran dan kematian akan sama saja, karena keduanya merupakan bagian dari proses menuju alam keabadian. Inilah satu contoh bagaimana perspektif tauhid berperan dalam merespons kejadian atau fenomena.
Sedangkan, Rasulullah merupakan utusan sekaligus jembatan perantara bagi manusia untuk mengenal Allah. Tentu kita tidak bisa menganggap sepele seorang utusan.
Pembahasan tentang Rasulullah dengan kita inilah yang cukup panjang dan salah satu indikator yang menentukan bagaimana nasib hidup kita. Singkatnya, kita tidak akan bisa berakhlak, bahagia, atau sukses tanpa Rasulullah.
Saat kita merasa sedang bermasalah dalam hidup yang kita jalani, bisa dipastikan salah satu sebabnya ialah karena kita tidak mendawamkan shalawat secara rutin.
Hal ini berdasar pengalaman nyata para guru pembimbing dan kekasih Tuhan yang telah membuktikannya secara nyata. Bahkan, satu fakta yang perlu kita ketahui bersama ialah perihal aura terbaik itu lahir dari orang yang rajin bershalawat.
Mata rantai ketiga ialah hamba atau manusia. Boleh dibilang, apa pun yang terjadi dalam hidup kita, hal itu dipengaruhi oleh bagaimana kehambaan kita. Bagaimana keintiman dan kedekatan kita dengan Tuhan? Bagaimana keterhubungan kita dengan Rasulullah yang menjadi utusan? Serta tentu bagaimana kondisi hati kita?
Kondisi setiap manusia di luar sana tentu berbeda-beda. Ada yang merdeka finansialnya, terlilit hutang yang tak ada habisnya, ekonomi susah dan cenderung pas-pasan, dan lain sebagainya.
Faktor yang berperan penting dalam hal ini ialah bagaimana kehambaan kita, meskipun pada ujungnya nanti yang menentukan ialah bagaimana kondisi hati kita. Mengapa bisa seperti itu?
Tidak lain dan tidak bukan ialah karena core of the core dari segala permasalahan atau problem dalam hidup kita itu ada di dalam hati kita sendiri. Apakah hati kita tidak berpenyakit? Apakah hati kita sudah bercahaya?
Pertanyaan di atas menjadi penting, karena jika hati kita masih berpenyakit dan tidak ada cahaya yang meneranginya, maka selamanya tidak akan ada transformasi dalam hidup kita.
Berbicara tentang hati ini tentu berkaitan dengan ilmu-ilmu batin yang adanya di majelis ruang dalam, bukan majelis ruang luar, serta tidak bisa dilepaskan dari cahaya guru pembimbing (mursyid) yang menjadi pelitanya.
Dengan pendidikan hati yang tepat inilah, maka kesadaran kita akan tumbuh dan berkembang. Kebanyakan manusia hanya menjalankan rutinitas beribadah ritual tanpa diimbangi dengan pertumbuhan kesadaran, yang mana ini akan berbahaya bagi hidup mereka ke depannya.
Oleh karena itu, penting kiranya bagi setiap manusia untuk turut mempelajari aspek lain dalam mendorong tumbuhnya kesadaran, yakni dengan majelis ruang dalam yang berlandaskan nilai-nilai spiritual, bukan hanya religius.
Sehingga, jika kita ingin memperbaiki dan mengalami perubahan dalam hidup kita, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari keempat tetralogi yang saling berkaitan dalam kehidupan kita, yakni dengan membenahi hati, memperbaiki kehambaan kita, meningkatkan keterhubungan dengan Rasulullah (sang utusan), serta tak lupa menjalin kedekatan dan keintiman dengan Allah (Sang Pencipta).