Telusur Gunung Padang: Belajar Kesejatian, Merajut Peradaban Emas Indonesia

JUMAT, 24 SEPTEMBER, 2021

Telusur Gunung Padang: Belajar Kesejatian, Merajut Peradaban Emas Indonesia

Berlokasi di Kabupaten Cianjur, Gunung Padang merupakan salah satu warisan kebudayaan penting bagi Indonesia. Secara lebih lengkap, situs cagar budaya Gunung Padang ini berlokasi di Dusun Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Ia berjarak tempuh sekitar satu jam dari pusat Kabupaten Cianjur.

Kontur jalanan khas pegunungan yang berkelok-kelok disertai dengan pemandangan sawah serta pepohonan di sebelah kanan dan kiri mewarnai perjalanan tim Panca Olah Institute menuju lokasi situs Gunung Padang.

Perjalanan ke Gunung Padang menurut Indra Hanjaya, seorang Spiritual Life Coach di Panca Olah Institute, merupakan perjalanan untuk semakin mengenal diri, sehingga pada tahap selanjutnya kita sebagai manusia bisa mengenal Tuhan.

"Perjalanan ke dalam diri memang tidaklah mudah, oleh karenanya tidak semua manusia bisa melewati dan menuntaskan perjalanan tersebut. Ibarat mendaki sebuah gunung, diperlukan kebulatan tekad dan keteguhan hati untuk bisa mencapai puncak sebuah gunung. Ketika seseorang telah mencapai puncaknya, di situlah manusia menyaksikan ketiadaan dirinya, karena yang ada hanyalah kebesaran Tuhan yang telah menciptakannya, ujar Coach Jaya."

Gunung Padang dalam hal ini merupakan hamparan ayat Tuhan yang bisa digunakan oleh manusia untuk melakukan tadabbur alam sebagai upaya untuk memahami keesaan Tuhan.

Tiba menjelang subuh di parkiran sekaligus tempat peristirahatan, proses mendaki situs diawali dengan berwudlu dan membasuh muka di sumber air yang terletak tak jauh dari pintu masuk jalur pendakian Gunung Padang.

Dengan ketinggian 885 meter di atas permukaan laut, pusat situs ini sebenarnya bisa dicapai dalam waktu yang tidak lama. Hanya saja, tangga yang curam menanjak ke atas membuat beberapa pendaki memilih mengambil jeda untuk istirahat sejenak di tengah-tengah proses pendakian. Sesampainya di atas, pemandangan kompleks utama Gunung Padang di undakan pertama akan memanjakan mata Anda.

tree-of-love

Dua pohon besar nan menjulang tinggi yang membentuk koreografi hati seperti tampak di atas ini memberikan makna tersendiri tentang peradaban yang pernah berkembang di dalamnya. Perlu diketahui, Gunung Padang sendiri memiliki lima kompleks yang tersusun secara bertingkat. Setiap tingkatan memiliki cerita dan sejarah tersendiri.

Kang Nanang, kepala juru pemelihara situs Gunung Padang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengemukakan bahwa di setiap undakan tersebut terdapat tokoh atau sosok yang pernah berdiam diri dan menghabiskan waktu untuk bermeditasi di sana.

Peradaban Lemurian dan Warisan Ilmu Kesejatian

Berdasar penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para arkeolog, situs ini memiliki usia hampir sepuluh ribu tahun. Dibangun pertama kali pada 8000 SM, Gunung Padang berusia jauh lebih tua dari Piramida di Mesir yang dibangun sekitar 2500 SM.

Ia juga lebih tua dari peninggalan kota tua Mahenjo Daro dan Harrapa di India yang berusia 3.000 tahun, serta peradaban dan budaya Mesopotamia dalam kurun waktu yang sama.

Bahkan, peradaban Aztec yang disebut berpengaruh terhadap dunia secara luas terpaut begitu jauh usianya dengan peradaban Gunung Padang.

Danny Hilman Natawijaya, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, menyatakan arti penting Gunung Padang terhadap restrukturisasi sejarah Indonesia secara umum. Selama ini, narasi sejarah mainstream menyebut bahwa peradaban nasional kita dimulai sejak adanya Kerajaan Kutai pada 600 masehi.

Oleh karena itu, jika kebenaran soal Gunung Padang beserta peradabannya yang telah begitu maju bisa terkuak secara ilmiah, maka hal ini akan mengubah narasi sejarah Indoneia dan dunia.

Berdasar wawancara dengan Kang Nanang, didapati fakta bahwa terdapat sekelompok manusia yang menghuni kawasan Gunung Padang pada masa silam. Mereka disebut sebagai bangsa dan ras Lemurian.

Secara ilmiah, terdapat beberapa referensi yang ditulis oleh ilmuwan mengenai peradaban Lemurian, di antaranya ialah The Lost Civilization of Lemuria: The Rise and Fall of the World’s Oldest Culture karya Frank Joseph, The Lemurian Science of Immortality dan The Lemurian Science of Peace karangan Almine, Lemuria: The Lost Continent of the Pacific tulisan Wishar S. Cerve, hingga Lemurian Seeds: Hope for Humanity karya Shelley A. Kaehr, Ph.D.

Peradaban Lemurian di masa silam dipercayai telah mencapai satu kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terlihat dari data-data yang menunjukkan adanya satu laboratorium canggih sebagai wahana untuk ekstraksi logam-logam mulia seperti emas, perak, dan sejenisnya.

Satu hal yang juga menjadi magnet pengunjung dari situs ini ialah karena adanya medan energi alam semesta terbaik yang meliputinya.

kang-nanang-1

“Banyak orang dari berbagai mancanegara, mulai dari Eropa hingga Amerika, yang melabeli dirinya ahli spiritual mengakui bahwa energi yang ada di Gunung Padang ini terasa berbeda. Terbaru sebelum pandemi, ada seorang dari Amerika Latin yang menghabiskan waktu seharian dari pagi hingga malam untuk bermeditasi dan menyerap energi alam semesta yang memberikan ketenangan dan vibrasi positif dalam dirinya, ujar Kang Nanang.”

Selain ketinggian intelektual yang tercermin dari warisan peninggalan peradaban tertua tersebut, kematangan emosional serta kedalaman spiritual juga menjadi perhatian dari masyarakat Lemurian. Artefak-artefak berupa batuan yang saat ini menyusun Gunung Padang sendiri memiliki makna filosofis di setiap bentuk dan modelnya.

Ajaran soal kesejatian (tauhid) mendominasi makna dalam ukiran, guratan, dan bentuk dari bebatuan yang tersisa sebagai warisan peradaban Lemurian. Tauhid dalam artian yang universal, bukan ia yang terbatas oleh sekat-sekat keagamaan dan keyakinan tertentu.

Menjaga harmoni dalam trilogi hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta merupakan kunci penting bagi terciptanya peradaban tinggi nan luhur tersebut.

singgasana

Merajut Peradaban Emas Indonesia

Menyongsong Indonesia Emas 2045, kearifan-kearifan seperti yang tercermin dalam situs Gunung Padang inilah yang dibutuhkan sebagai modal dalam pola pendidikan dan pengembangan manusianya.

Peradaban emas yang dicita-citakan oleh pemerintah rasanya perlu belajar dari apa yang telah dilakukan leluhur mereka di Gunung Padang.

Menggenjot pembangunan infrastruktur statis (jalan, gedung, dan sejenisnya) dengan mengabaikan infrastruktur dinamis (manusia) akan terasa hampa dan kehilangan ruhnya.

Bukan sembarang manusia, tapi mereka yang berkesadaran, bertauhid, dan berkehidupan secara selaras dengan Tuhan dan alam semesta sebagai akarnya.

Sementara buahnya ialah karakter, kompetensi, kemauan untuk berkolaborasi, serta optimalisasi potensi diri yang terkandung dalam diri setiap manusia sebagaimana visi yang dicanangkan oleh Panca Olah Institute.


Leave a Reply