Masih dalam nuansa Haul Gus Dur yang diperingati setiap bulan Desember (tepatnya 30 Desember jika mengacu pada waktu wafatnya Gus Dur), Panca Olah Institute melanjutkan agenda Suluh Nusantara dengan tema pembahasan mengenai warisan pemikiran dan keteladanan Gus Dur bersama Dr. Zastrouw Al-Ngatawi pada Rabu, 28 Desember 2022 secara daring melalui Zoom Meeting.
Sebelum memasuki sesi inti, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.
Sri Herlina S.Psi. selaku Direktur Panca Olah Institute memberikan sambutan dengan mengucapkan terima kasih kepada pemateri yang telah berkenan membersamai forum Suluh Nusantara edisi Gus Dur. Ia mengungkapkan bahwa Gus Dur bukan hanya cakap secara intelektual, melainkan juga matang dalam hal emosional dan memiliki kedalaman spiritual.
"Perlu diketahui bahwa Suluh Nusantara telah memasuki edisi kedua belas, yang mana hal itu berarti pula pertemuan terakhir dari rangkaian program Suluh Nusantara selama satu tahun ke belakang. Sebanyak 12 tokoh telah kita gali dan kaji secara cukup mendalam, dan semoga hal ini membawa manfaat bagi setiap kita yang hadir dan menyimak secara sadar utuh dan hadir penuh," ujar perempuan yang menaruh concern dalam bidang psikologi dan pendidikan tersebut.
Melanjutkan sambutannya, Lina mewakili Panca Olah Institute memohon maaf apabila dalam penyajian atau pengemasan program ini dirasa masih banyak kekurangan. Ia juga menyampaikan bahwa info mengenai kelanjutan program Suluh Nusantara di tahun 2023 akan disampaikan dan diumumkan melalui website dan sosial media Panca Olah Institute.
Dengan kerendahan hatinya, Zastrouw menggunakan metafor mata air bagi Gus Dur, yang mana dari mata air itulah ia mengambil teladan dan pelajaran dari sosok Guru Bangsa tersebut. Menurutnya, jika kita ingin meneladani Gus Dur, maka hendaknya kita memosisikan diri sebagai oase.
Sebagai contoh, pria yang juga merupakan teman dekat sekaligus asisten pribadi Gus Dur itu bercerita bagaimana Gus Dur menyerap berbagai sumber mata air pemikiran, mulai dari mata air pemikiran Islam, Barat, sastra, hingga realitas nyata dari kehidupan.
Sejak kecil hingga dewasa, Gus Dur membaca kitab-kitab klasik ulama di bidang fikih, tauhid, tasawuf, dan sebagainya. Ia juga membaca berbagai diskurus pemikiran yang mengemuka di Barat, seperti humanisme, marxisme, sosialisme, dan isme-isme yang beragam jenisnya.
Tak lupa, Gus Dur menikmati pula karya sastra yang ditulis oleh sastrawan atau novelis kelas dunia macam Chaim Potok, Ernest Hemingway, Leo Tolstoy, Anton Chekhov, John Steinbeck, Fyodor Dostoevsky, serta drama Pushkin dan Gogol. Satu hal yang juga tak kalah penting ialah pembacaan Gus Dur atas realitas yang terbentang secara nyata dalam kehidupan sosial masyarakat sebagai modal dalam menuangkan pemikiran dan laku hidup yang ia pilih.
Meminjam istilah Antonio Gramsci, Gus Dur bagi Zastrouw tentulah termasuk dalam apa yang disebut dengan intelektual organik, yakni mereka yang lahir dan tumbuh dan berkembang dalam permasalahan masyarakat. Mereka hadir di tengah masyarakat untuk mempelajari dan berusaha menciptakan solusi bagi permasalahan lingkungannya.
Atau dalam bahasa Ki Ageng Suryomentaram, Gus Dur merupakan tipologi manusia keempat (level tertinggi) yang disebut sebagai menungso tanpo rogo, yaitu mereka yang usai mencapai kebahagiaan puncaknya. Tiga tingkatan sebelumnya ialah juru catet, tingkatan dasar yang belum bisa memahami apa pun dan hanya bisa mencatat; catetan, mulai bisa memahami dan menentukan sendiri; krodomongso, mereka yang sudah ada perasaan egois.
"Kalau mau mencontoh laku hidup Gus Dur, ya harus bersikap seperti pohon. Jika batu dilewati dengan air, maka ia akan basah sebentar, kemudian kering lagi. Berbeda dengan pohon hidup, jika ada air yang lewat, maka ia akan meresapkan air itu ke dalam pori-pori, kemudian diolah ke dalam dirinya untuk mengembangkan dirinya menjadi tangkai, daun, dan buah," ungkap Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia tersebut.
Lebih lanjut, Zastrouw menjelaskan bagaimana Gus Dur menjadikan agama, pengetahuan, moral, dan lain sebagainya tidak hanya sebatas teori belaka, melainkan juga menjadi laku kehidupan yang nyata dan istikamah. Sebagai contoh, hari ini banyak fenomena pemikir agama, ahli tasawuf, atau beragam sebutan lainnya, namun tidak seimbang dalam aspek laku dan praktiknya karena ia hanya ahli dalam hal pengetahuan belaka.
Oleh karenanya, penting kiranya untuk menyeimbangkan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik dalam proses pendidikan manusia. Itulah kesatuan ilmu yang harus ditempuh dan diimplementasikan, bukan hanya dengan mengambil satu dan menafikan yang lainnya.
"Apa yang dilakukan Gus Dur misalnya ialah keinginan untuk memisahkan agama sebagai dogma dan agama sebagai ekspresi atau inspirasi budaya," ujar Budayawan yang juga pernah menjadi Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim (LESBUMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 2004 hingga 2015.
Penggantian redaksi kata "Assalamualaikum" dengan "Selamat Pagi" adalah contoh bagaimana Gus Dur ingin mendidik sekaligus menyadarkan posisi perbedaan agama sebagai ekspresi budaya dengan dogma atau doktrin yang kaku dan jumud.
Satu hal yang juga menarik dari Gus Dur menurut pengamatan Zastrouw (dan ini sering tidak disadari oleh kebanyakan orang) ialah bagaimana Gus Dur ingin melakukan upaya untuk kembali mengonstruksi sistem pengetahuan Nusantara yang itu sudah ditanamkan oleh para leluhur kita sejak zaman dulu kala.
"Paradigma pengetahuan itu ya pertautan antara rasionalitas dan spiritualitas. Sebagai konsekuensi dari strategi kebudayaan yang mempertautkan keduanya, maka Gus Dur tidak pernah mempertentangkan antara tradisionalitas dan modernitas, karena modernitas adalah sarang dari rasionalitas, sedangkan tradisionalitas merupakan sarang dari spiritualitas," ujar pria yang juga menjadi Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta itu.
Elaborasi lebih lanjut yang dikemukakan Zastrouw ialah dengan melontarkan pertanyaan mengapa Gus Dur bisa menjadi sosok yang seperti itu? Setidaknya ada dua faktor utama yang melandasinya, yakni karena kekayaan referensi Gus Dur dan pemahaman sejarah yang baik.
Orang seperti Gus Dur memahami sejarah bukan hanya sebagai kronologi peristiwa masa lalu belaka, melainkan ia mendudukkan sejarah sebagai rute peradaban suatu bangsa. Pemahaman akan rute peradaban bangsa ini tentu begitu penting agar kita tahu ke mana arah tujuan dan muara perjalanan kita.
Tak hanya itu, sejarah hendaknya difungsikan pula sebagai referensi hidup (maraji'ul hayat) agar kita tidak mudah terpengaruh oleh referensi-referensi lain dari luar yang belum tentu baik dan maslahat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara (ex: tawaran khilafah, humanisme liberal, dan hal-hal sejenisnya)
Fungsi lain yang tidak kalah krusial dari sejarah ialah posisinya sebagai sumber pengetahuan, sehingga hal ini akan mendorong kita memiliki imunitas kultural dan imunitas ideologi karena kekayaan khazanah pengetahuan akan apa yang sudah dituliskan oleh tokoh-tokoh pendahulu kita, baik dalam aspek sosial, ekonomi, kebudayaan, agama, dan beragam jenis keilmuan lainnya.