Tauhid dan Kesadaran dalam Realitas Keberadaan

SENIN, 6 JUNI, 2022

Tauhid dan Kesadaran dalam Realitas Keberadaan

Memasuki masa transisi dari pandemi menuju endemi Covid-19, salah satu hal yang begitu berharga bagi kita hingga detik ini ialah nikmat dan anugerah berupa kesehatan yang diberikan oleh Allah Swt. Sering kali kita lupa bahwa tanpa tubuh yang sehat, maka segala potensi diri yang terkandung dalam diri akan sulit untuk termanifestasikan secara optimal.

Oleh karena itu, salah satu doa yang layak kita dawamkan dalam kehidupan sehari-hari ialah doa agar senantiasa diberi kesehatan dan kesadaran lahir maupun batin. Hal ini dikarenakan nikmat kesehatan tanpa dibarengi dengan kesadaran lahir serta terutama batin yang tepat akan berdampak pada perbuatan dan perilaku yang kurang sejalan dengan visi dan misi ketuhanan yang terinternalisasi dalam diri setiap orang.

Di samping aspek kesehatan, salah satu kebutuhan hidup manusia, siapa pun dia, (bahkan termasuk semua makhluk hidup) ialah keinginan untuk memperoleh kebahagiaan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebahagaian berbeda dengan kesenangan belaka.

Kebahagiaan berkaitan dengan dimensi spiritual, kejiwaan, dan hati seseorang. Sedangkan kesenangan berkutat pada dimensi pikiran, nafsu, dan sejenisnya. Secara praktikal, pencarian kebahagiaan berorientasi ke dalam diri. Hal ini bertolak belakang dengan kesenangan yang sifatnya mencari sesuatu yang ada di luar diri.

Sebagai contoh, perbuatan maksiat yang kita lakukan bisa jadi termasuk ke dalam kesenangan, namun sudah pasti ia bukan kebahagiaan. Jika menggunakan parameter waktu, kebahagiaan bersifat jangka panjang dan tahan lama. Adapun kesenangan bersifat jangka pendek dan temporer.

Pada praktiknya, Nabi Muhammad menganjurkan dan mencontohkan untuk mengamalkan doa sapu jagat secara kontinyu agar kita selalu berada dalam naungan kebaikan. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw diketahui selalu membiasakan diri dan tidak pernah meninggalkan doa sapu jagat yang berbunyi: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

Kebiasaan yang dicontohkan Rasulullah itu juga diadopsi oleh sahabat Anas bin Malik. Ia selalu berdoa dengan doa sapu jagat. Apabila ia mendoakan seseorang, ia juga memanjatkannya dengan doa sapu jagat. Atas dasar itulah, para ulama di Nusantara juga memberikan himbauan kepada masyarakat untuk mengamalkan doa tersebut secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Satu rumusan yang bisa digunakan untuk memperoleh kebahagiaan ialah melalui perkalian antara aspek spiritual dan ikhtiar. Satu rahasia kenapa banyak orang hidupnya susah dan seolah stagnan terus-menerus ialah karena kondisi spiritualnya yang tidak mendukung untuk dia memperoleh karunia dari Allah.

Tak sampai di situ, dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini kita harus menyadari bahwa ada sesuatu yang menjadi inti dari segala hal yang mencakup dunia dan akhirat. Semua akan mengerucut kepada satu titik, yakni tauhid kepada Allah.

Oleh karena itu, kita perlu memusatkan apa pun yang menjadi harapan, keinginan, pencapaian, dan perjuangan (baik dalam aspek spiritual, karir, rumah tangga, dan sebagainya) kepada tauhid, karena pada hakikatnya tauhid itulah sumber penentu takdir serta sumber kebahagiaan, keselamatan, dan kemuliaan yang hakiki.

Saat ini, mayoritas manusia terlalu liar dalam mencari apa yang menjadi ambisinya, sehingga hal ini membuat apa yang seseorang curahkan kepada Allah hanya bersifat sisa-sisa belaka. Padahal, jika kita menyadari, sejatinya segala hal selain Allah itu bersifat biasa saja. Karena yang luar biasa hanyalah Allah semata. Lebih jauh, kehidupan yang kita jalani saat ini dari perspektif spiritual hanyalah ilusi yang seringkali membutakan manusia.

Wisdom of Ali bin Abi Thalib

Manusia itu tertidur, jika mereka mati, barulah mereka terbangun

- Ali bin Abi Thalib -

Meskipun demikian, dalam menjalani kehidupan saat ini, terdapat satu hal yang mutlak dilakukan oleh seorang secara terus-menerus. Hal itu ialah proses perbaikan dan pembersihan diri (takhalli). Setinggi apa pun level spiritual seseorang, proses takhalli ini akan tetap harus dilaksanakan, dan tidak boleh ditinggalkan.

Di sinilah diperlukan peran seorang pembimbing (mursyid) untuk memandu dan menemani tiap orang dalam proses pembersihan diri. Dengan bimbingan intensif dari mursyid, kita akan mengetahui bahwa sehebat dan sebesar apa pun ritual yang kita lakukan, ternyata hal itu tidak sebanding jika ditukar dengan anugerah spiritual dalam taraf yang paling kecil sekalipun.

Tak hanya itu, dengan pembimbing yang jelas mata rantai sanadnya, kita akan terhindar dari aliran atau ajaran yang menyimpang dari visi dan misi kenabian untuk mengajak manusia kembali kepada fitrah dirinya serta mampu menebar manfaat kepada seluruh makhluk di alam semesta. Tak lupa, bab tentang adab berguru (salah satunya ialah dengan bertatap muka secara langsung) juga perlu diperhatikan dengan baik.

Kemuliaan kita sebagai manusia sendiri baru akan terlihat dari bagaimana kita berurusan dan menjalin hubungan dengan orang lain, baik dengan orang yang pro maupun kontra dengan pilihan yang kita ambil. Hal ini dikarenakan semakin tinggi level spiritual seseorang, sudah seharusnya semakin besar pula kesadaran sosial untuk menuniakan ibadah yang bersifat sosial, seperti memberi makan orang miskin, bersedekah ke anak yatim, dan sejenisnya.

Menjadi pertanyaan yang penting kemudian ialah bagaimana manusia berada dalam pelukan dan cinta kasih Allah. Beberapa hal yang bisa dilakukan ialah dengan tidak mendewakan ilmu maupun amal perbuatan, memperluas otot syukur, dan melatih diri untuk lebih sering berada dalam posisi memberi (berbagi) daripada menerima.

Setelah aspek tauhid, hal kedua yang perlu menjadi konsentrasi seseorang ialah perihal kesadaran. Jika tauhid berkaitan dengan aspek spiritual, maka kesadaran beriringan dengan aspek emosional dan intelektual seseorang.

Coach Indra Hanjaya, founder Panca Olah Institute sekaligus Spiritual Life Coach, mengibaratkan tauhid sebagai kunci, sedangkan kesadaran layaknya sebuah gerbang untuk seseorang bisa berada dalam pelukan dan cinta kasih Allah. Beberapa hal yang bisa dilakukan ialah dengan tidak mendewakan ilmu maupun amal perbuatan, memperluas otot syukur, dan melatih diri untuk lebih sering berada dalam posisi memberi (berbagi) daripada menerima.

Dengan kesadaran, seseorang bisa mengaktualisasikan potensi diri dan mendapat makna dari hidup yang ia jalani. Pentingnya kesadaran (baca: pendayagunaan hati dan akal secara tepat) misalnya akan mendorong seseorang untuk cenderung memilih kebaikan dibanding keburukan. Akan tetapi, kita tidak akan pernah masuk ke dalam kesadaran jika wadahnya (aspek spiritual) belum dibersihkan.

Pada akhirnya, tauhid dan kesadaran memang dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Dua hal tersebut perlu disinergikan secara baik dan tepat, sehingga kita menjadi pribadi holistik yang mampu menyinergikan aspek pikiran, raga, jiwa, dan rasa sebagai wasilah untuk memperoleh kebahagiaan hakiki sepanjang rentang kehidupan.


Leave a Reply