Tapak Jejak Sunan Ampel: Inisiator Pendidikan Berperadaban Islam Nusantara

SABTU, 5 MARET, 2022

Tapak Jejak Sunan Ampel: Inisiator Pendidikan Berperadaban Islam Nusantara

Melihat dari sejarah perkembangannya, ada beberapa cara bagaimana dakwah Islam bisa diterima oleh masyarakat Indonesia dengan baik kedatangannya. Di samping jalur perdagangan yang dipercaya menjadi cara paling cepat untuk menyiarkan agama Islam, satu pendekatan yang bisa juga disebut berperan vital dalam mengubah karakter dan pemahaman seseorang menjadi bercorakkan Islam ialah melalui jalan pendidikan.

Pendidikan memang bukan proses yang instan. Ia laksana menumbuhkan pohon jati yang kokoh dan berkualitas tinggi setelah melalui proses selama bertahun-tahun. Meskipun era teknologi meniscayakan kemudahan dan waktu tempuh yang bisa dipangkas dalam menguasai bidang keilmuan, nyatanya menjadi seorang expert di satu bidang membutuhkan kualifikasi, kompetensi, dan pengalaman yang panjang akan bidang tersebut.

Ketekunan dan kesabaran memang menjadi modal penting bagi seorang pelajar. Bahkan Syaikh Al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’alim juga merincikan lamanya waktu belajar menjadi salah satu komponen yang perlu diperhatikan bagi orang yang menuntut ilmu, karena sesuatu yang diperoleh secara singkat dan tidak mendapat ruang aplikasi yang cukup berpotensi menimbulkan sebuah bahaya dari ilmu yang dipelajarinya tersebut.

Membicarakan pendidikan rasanya tak mungkin tanpa memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh para tokoh inisiator pendidikan terdahulu yang dengan dedikasi dan komitmennya telah turut serta dalam usaha mencerdaskan anak bangsa, serta membentuk karakter yang sesuai dengan konteks kebangsaan kita. Bagi orang yang beragama, internalisasi nilai-nilai keagamaan juga menjadi aspek penting yang perlu dikedepankan dari sebuah proses pendidikan.

Hayat dan Riwayat Sunan Ampel

Sunan Ampel

Mayoritas peneliti sepakat bahwa kehadiran Wali Songo di tanah Jawa merupakan sebuah tonggak dari dimulainya transformasi kehidupan masyarakat Jawa saat itu. Mulai dari cara berpikirnya, tutur kata dan perangainya, pola sosial-kebudayaan, hingga persoalan mengenai beribadah dan berhubungan dengan Tuhan.

Sayyid Ali Rahmatullah atau lebih akrab dikenal dengan Raden Rahmat dalam hal ini merupakan tokoh yang menjadi generasi awal dari gelombang kedatangan Wali Songo pada tahap selanjutnya. Putra dari Syaikh Ibrahim as-Samarkandi ini diperkirakan tiba di Nusantara, tepatnya ke Majapahit, pada awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni ketika Palembang telah dipimpin oleh Arya Damar.

Dikisahkan oleh Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam, bahwa Raden Rahmat sempat singgah dan dijamu oleh Arya Damar selama dua bulan sebagai tempat transit antara Champa dengan Majapahit. Interaksi intens itulah yang kemudian mendorong Arya Damar nantinya memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Ario Abdillah setelah mendapatkan pesan dakwah keislaman nan sejuk oleh Sunan Ampel.

Raden Rahmat sendiri datang bersama dua saudaranya yang bernama Ali Murtadho dan Abu Hurairah. Pasca berdiam diri di Majapahit dalam beberapa waktu, Raden Rahmat kemudian diangkat oleh oleh Raja Majapahit sebagai imam dengan gelar sunan dan kedudukan wali di daerah Ampel Denta, Surabaya. Pengangkatan ini sekaligus meneguhkan otoritas keilmuan Islam yang dimiliki oleh Raden Rahmat bagi masyarakat luas.

Sebelum diangkat menjadi imam di Surabaya, Raden Rahmat mendapatkan nama Pangeran Katib serta gelar Sunan Ampel Denta, yang kelak hari nanti lebih populer dengan sebutan Sunan Ampel. Dalam perjalanan menuju Ampel Denta itulah ia bertemu dengan Ki Wiryo Saroyo atau lebih populer dengan Ki Bang Kuning, sosok yang kelak menjadi mertuanya setelah Raden Rahmat memperistri putrinya.

Hubungan Sunan Ampel dengan Adipati Surabaya di bawah pimpinan Arya Lembusura ketika itu terjalin dengan baik. Sosoknya yang ramah dan santun kemudian membuat Arya Teja, menantu dari Arya Lembusura, kepincut untuk menikahkan putrinya yang bernama Nyai Ageng Manila dengan Sunan Ampel.

Pernikahan dengan Nyai Ageng Manila ini secara tidak langsung menempatkan Sunan Ampel sebagai figur yang berhak untuk mewarisi kekuasaan secara politik di daerah Surabaya. Hal ini dikarenakan Arya Lembusura merupakan penguasa wilayah Surabaya pada saat itu. Pasca kewafatannya, tampuk kepemimpinan kemudian dipegang oleh Sunan Ampel.

Satu sumber yang bisa dirujuk mengenai hal ini ialah Sedjarah Regent Soerabaja. Disebutkan di dalamnya bahwa Sunan Ampel merupakan bupati pertama yang memimpin wilayah Surabaya dari mata rantai daftar urutan bupati yang pernah berkuasa di dalamnya.

Inisiator Pendidikan Berperadaban Islam Nusantara

Sunan Ampel

Setiap tokoh walisongo yang menjadi penyebar ajaran Islam di Nusantara cenderung memiliki ciri khas dan keunikan dari strategi dan metode dakwahnya. Tidak terkecuali Sunan Ampel. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat dan lingkungan tempat mereka tinggal dan berdakwah.

Berkaitan dengan Sunan Ampel, gerak dan fokus dakwah yang kemudian menjadi warisan bagi penerusnya ialah kontribusi besar yang ia curahkan dalam aspek pendidikan. Jarang kita ketahui bahwa sistem pesantren yang konon menjadi komponen penting dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan bangsa ini melalui lahirnya tokoh-tokoh yang menjadi peletak dasar kemerdekaan maupun berbagai peran lainnya sejatinya dirintis pertama kali oleh Sunan Ampel.

Diungkapkan oleh Agus Sunyoto, peneliti sekaligus penulis dalam isu-isu Islam dan kenusantaraan, bahwa konsep pesantren yang hari ini kita kenal merupakan formulasi yang diciptakan oleh Sunan Ampel setelah beliau mempelajari dan sedikit banyak mengadopsi sistem pendidikan dukuh, sebuah model pendidikan asrama bagi para calon pendeta dan biksu dari kalangan Hindu-Buddha.

Dengan modifikasi sedemikian rupa, lahirlah kemudian Pesantren Ampel Denta di bawah asuhan Sunan Ampel. Setelah dibuka, sontak berdatangan murid dari berbagai daerah untuk belajar dan menimba ilmu di pesantren tersebut. Para murid tersebut tidak hanya belajar pengetahuan yang bersifat lahiriah (empiris-rasional-fisika), melainkan pengetahuan yang bersifat ruhaniah atau batiniah (intuitif-metafisika).

Babad Tanah Jawi, misalnya, menceritakan bahwa Sunan Ampel mengajari murid-muridnya membaca Al-Qur’an, kitab-kitab mengenai ilmu syariat, tarekat, dan ilmu hakikat, baik secara tekstual maupun makna kontekstualnya.

Sebagai contoh, ketika Sunan Ampel menceritakan pentingnya sikap zuhud bagi setiap muslim, ia kemudian mengemukakan tirakat atau riyadhah (upaya sungguh-sungguh) yang diperlukan untuk menjadi seorang zahid, yakni dengan tidak makan, tidak tidur, mencegah hawa nafsu, melakukan ibadah kepada Tuhan sepanjang malam, melaksanakan ibadah waijb dan sunnah, mencegah dari perbuatan yang haram maupun makruh, serta terus memuji Allah.

Tak hanya itu, dalam proses pendidikannya, Sunan Ampel juga mengedepankan pendekatan kebudayaan serta kearifan lokal yang berkembang di Nusantara, khususnya Jawa pada saat itu. Kejahatan serta perangai buruk masyarakat sekitar tidak langsung ditumpas atau dihabisi dengan sikap menyalahkan atau sejenisnya, melainkan dengan memformulasikan sikap dan ajaran hidup seorang muslim dengan bahasa yang membumi dan mudah dipahami.

Konsep Moh Limo dalam hal ini bisa menjadi contoh nyata bagaimana penerapan pendidikan yang berkebudayaan dan berperadaban Islam Nusantara dikedepankan oleh Sunan Ampel. Sifat tidak menggurui dengan nuansa bahasa yang ramah dan lembut sangat terasa dalam formulasi ajaran Moh Limo.

Ajakan untuk meninggalkan perilaku buruk yang membahayakan diri sendiri berupa mabuk dengan meminum minuman keras (moh ngombe), mengonsumsi narkoba (moh madat), mencuri (moh maling), berjudi (moh main), dan melakukan zina (moh medok) disampaikan dengan memperhatikan aspek sosio-kultural, sehingga pesan ini kemudian bisa diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar.

Selain itu, pendekatan budaya juga dilakukan ketika Sunan Ampel mengubah nama sungai yang mengarah ke Surabaya, dari awalnya Sungai Brantas menjadi Kali Emas. Pun halnya pelabuhan yang semula bernama Jelangga Manik menjadi Tanjung Perak. Penggunaan nama emas dan perak oleh Sunan Ampel ini merupakan metafor agar orang-orang datang ke Surabaya untuk mencari ‘emas’ dan ‘perak’ berupa ajaran Islam itu sendiri.

Pengajaran dan pendidikan integralistik-holistik ala Sunan Ampel inilah yang kemudian melahirkan murid-murid berkualitas seperti Raden Patah, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Maulana Ishak, Mbah Sonhaji, serta Mbah Sholeh. Kelak, nama-nama itulah yang berperan penting dalam perluasan ajaran Islam di seantero Nusantara, khususnya tanah Jawa.

Melihat realitas dan kondisi bangsa Indonesia saat ini, penulis merasa bahwa formula pendidikan berperadaban Islam Nusantara yang dipelopori oleh Sunan Ampel ini bisa diambil spirit dan semangatnya, yakni satu model pendidikan yang dikawinkan (integrasi-interkoneksi) dengan nilai-nilai dan adat kebudayaan lokal kedaerahan. Dengan jalan inilah keluhuran peradaban Nusantara akan menemukan titik kebangkitan dan kemajuannya.


Leave a Reply