Pada kurun waktu abad ke-14, di Semenanjung Malaka lahir seorang yang kelak akan menjadi tokoh penting dalam dunia pendidikan dan dakwah keislaman di Nusantara, khususnya di daerah Jawa Barat. Bernama lengkap Maulana Idhofi Mahdi, putra dari Syaikh Datuk Ahmad itu kemudian lebih popular dengan nama Syaikh Datuk Kahfi atau Syaikh Nur Jati.
Cerita mengenai Syaikh Nur Jati sendiri bisa dijumpai dalam naskah-naskah tradisional Cirebon dalam bentuk prosa maupun tembang seperti Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon, Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan, dan Naskah Pulasaren.
Secara garis keturunan, Syaikh Nur Jati juga tersambung hingga Nabi Muhammad Saw melalui jalur Imam Husain bin Ali bin Thalib. Pertautan sanad ini menjadi penting di saat maraknya fenomena berbagai kalangan yang mengaku keturunan Rasulullah, namun tidak memiliki silsilah yang jelas dan kredibel perihal kebenarannya.
Syaikh Nur Jati memiliki dua orang saudara, yakni Syaikh Bayanullah dan seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah dari pernikahan tersebut kemudian melahirkan seorang putri yang kelak menikah dengan Adipati Unus dari Demak. Adapun Syaikh Bayanullah berkecimpung dalam dunia pendidikan dengan mengasuh pondok pesantren di Makkah, dan pada kemudian hari mengikuti jejak kakaknya untuk berdakwah di Cirebon.
Legenda Pendeta Bageral Banjir dan Syaikh Nur Jati
Dalam sebuah masyarakat, biasanya terdapat satu cerita rakyat yang kemudian menyebar melalui gethuk tinular dari kalangan tua kepada generasi mudanya. Presisi kebenaran legenda ini memang tidak selalu bisa diverifikasi dengan mudah secara ilmiah. Akan tetapi, meminjam istilah Abed al-Jabiri, bukankah epistemologi pengetahuan itu tidak melulu bersifat bayani (tekstual) dan burhani (rasional) saja, melainkan juga ‘irfani (spiritual/dzauqi).
Pada epistemologi ‘irfani, alat yang digunakan bukan hanya indra dan akal an sich, tetapi juga melibatkan dimensi rasa yang memiliki kepekaan dan berevolusi menjadi apa yang kemudian sering kita sebut dengan nama intuisi. Ya, intuisi juga berperan penting dalam mendorong timbulnya inovasi-inovasi brilian dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Tengok saja apa yang bisa dilakukan Srinivasa Ramanujan dengan intuisi dan kepekaan rasanya ketika menelurkan berbagai penemuan dan pemecahan masalah atas persoalan matematika yang menjadi perdebatan panjang oleh berbagai matematikawan di seluruh dunia. Dokumenter dari perjalanan hidup Ramanujan tersebut divisualkan dengan cukup apik pada film berjudul The Man Who Knew Infinity (2015) yang disutradarai oleh Matt Brown.
Alkisah, Pulau Jawa sebelum diwarnai dengan kehadiran agama Islam yang tumbuh dan berkembang di dalamnya merupakan pulau yang penuh dengan hutan belukar, rawa-rawa, serta berjejal gunung yang cukup angker.
Di zaman Nabi Isa as, terdapat seorang manusia sakti mandraguna bernama Pendeta Bageral Banjir yang sedang bertapa di puncak sebuah gunung untuk memohon kepada Tuhan agar diturunkan ilmu wijihing srandil dan mencapai kesempurnaan hidup.
Proses pertapaan itu berlangsung selama empat puluh tahun sampai akhirnya apa yang menjadi permohonan sang pendeta terkabul. Ketika ilmu wijihing srandil itu kemudian masuk ke dalam tubuhnya, Pendeta Bageral Banjir kemudian menggigil hingga pingsan tak sadarkan diri.
Berbarengan dengan peristiwa itu, pendeta itu juga merasakan bahwa gunung tempat ia bertapa meletus dan puncaknya terlempar jauh terbawa angin hingga jatuh di atas laut dan mengambang bagaikan perahu terkena ombak. Pendeta Bageral Banjir sendiri mewujud di alam lain.
Selang beberapa ratus tahun setelah itu, datang seorang wali Allah bernama Syaikh Nur Jati untuk mencari tempat pertemuan sekaligus peristirahatan yang terakhir. Ketika Syaikh Nur Jati menyadari bahwa tempat yang dipijaknya berada di atas air dan bergoyang-goyang bagaikan perahu, ia segera menyempurnakan bekas pertapaan Pendeta Bageral Banjir yang semula mengambang di atas laut menjadi daratan biasa.
Patut diketahui, Syaikh Nur Jati merupakan seorang wali Allah yang memiliki ketinggian ilmu dan kedalaman spiritual. Suatu ketika, ia sedang berkhalwat untuk meminta petunjuk kepada Allah mengenai bagaimana cara mengembangkan Islam di tanah Jawa.
Di tengah proses khalwat itulah terdengar suara pepohonan yang menyatakan bahwa tempat di mana Syaikh Nur Jati melakukan tirakat itu kelak akan menjadi episentrum perkembangan agama Islam di Nusantara khususnya, serta seluruh dunia umumnya karena wali Allah akan datang dari berbagai penjuru dunia. Tempat itu kemudian diberi nama Gunung Jati.
Guru Para Wali: Perintis Pendidikan dan Dakwah Keislaman di Jawa Barat
Berdasar Naskah Nagarakertabhumi Sarga IV, Syaikh Nur Jati hijrah dari Malaka menuju Baghdad untuk belajar dan memperdalam ilmunya. Di sana kemudian ia menikah dengan Syarifah Halimah. Atas dorongan semangat yang begitu besar, Syaikh Nur Jati memutuskan untuk pergi berdakwah ke Pulau Jawa yang mayoritas penduduknya belum beragama Islam.
Gunung Amparan Jati menjadi tempat yang dipilih oleh Syaikh Nur Jati sebagai sentra pendidikan sekaligus tempat berdakwah kepada khalayak umum. Ia menyampaikan dakwah Islam serta menerima murid untuk belajar kepadanya dari berbagai kalangan. Dari kelompok bangsawan, terdapat nama Pangeran Walangsungsang dan Nyai Rara Santang. Mereka berdua merupakan putra dari Prabu Siliwangi (Raja Kerajaan Pajajaran) dan Nyai Subanglarang.
Selain itu, santri beliau juga banyak yang kemudian menjadi wali sekaligus penyebar dakwah Islam di Nusantara. Di antara mereka yang pernah belajar di pesantren Amparan Jati asuhan Syaikh Nur Jati ialah Syaikh Siti Jenar (Syaikh Lemah Abang), Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Syaikh Syarif Hidayatullah atau lebih akrab dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
Apa yang tertulis di naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon memberikan gambaran sangat jelas betapa peran penting Syaikh Nur Jati dalam pengembangan dakwah agama Islam melalui pengajaran ilmu keagamaan dan ilmu kehidupan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup. Dengan pendekatan yang persuasif dan kultural, ia menanamkan akar pendidikan dan pengajaran secara hati-hati kepada masyarakat.
Pelajaran terpenting nan vital dari Syaikh Nur Jati adalah perihal ilmu kesempurnaan hidup yang selalu ia dengung dan ajarkan kepada murid-muridnya. Pangeran Walangsungsang misalnya memberikan satu pengakuan bahwa bersama Syaikh Nur Jati ia belajar secara bertahap, dari persoalan keimanan (tauhid), fikih sebagai landasan dalam menjalankan syariat Islam, hingga pelajaran soal ilmu tarekat, hakikat, dan ma'rifat.
Adapun Nyi Mas Ratu Rara Santang dalam kesempatan lain juga menyatakan bahwa beliau mendapatkan pengajaran soal dua kalimat syahadat, shalawat, dzikir, salat, zakat, puasa, haji, membaca dan memahami Al-Qur'an, fikih, serta pengajaran dan praktik dari aspek tasawuf. Rama Guru Pangeran Nurbuat bahkan mengemukakan bahwa penyebaran tarekat Syattariyah ke wilayah Cirebon juga diawali dan dipelopori oleh Syaikh Nur Jati.
Ilmu kesempurnaan hidup yang diwedar oleh Syaikh Nur Jati sejatinya bermuara pada pengenalan diri sebagai jalan untuk mengenali Tuhan. Hal ini selaras dengan salah perkataan (ada yang meyakininya sebagai hadis dan ada yang menganggapnya sebagai kalam ulama) yang berbunyi kurang lebih: "Barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya."
Mengenal diri di sini bukan sekadar persoalan identitas, namun juga personalitas yang terkandung dalam diri seseorang. Lebih lanjut, makna kenal diri sesungguhnya merupakan satu proses panjang untuk menggali asal usul kedirian yang sejati, sehingga kemudian lahir kesadaran keilahian yang mendorong perilaku dan perbuatan seseorang agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan universalitas alam semesta.
Wejangan yang diberikan Syaikh Nur Jati kepada Syaikh Syarif Hidayatullah amat jelas menggambarkan betapa pentingnya menjaga perbuatan agar tidak mencelakakan diri atau hal sejenis yang tidak diharapkan terjadi pada kehidupan seseorang.
"Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang terkena penyakit. Tiada seorang pun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu kalau ia melepaskan perbuatannya itu. Dan ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, harga diri, dan rasa malu karana mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati."
- Syaikh Nur Jati
Dalam bahasanya yang indah, Syaikh Nursamad Kamba melukiskan proses pengenalan diri manusia dengan metafor mengarungi Lauh Mahfudz yang telah terkandung dalam diri kita. Maknanya, pencarian dan penggalian secara sungguh-sungguh yang diperlukan oleh setiap orang ialah penyelaman ke dalam diri, bukan melancong kesana kemari yang justru menjauhkan kita dari diri yang sejati.