Suro Diro Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti: Kebaikan Harus Dimulai sejak Cara Penyampaiannya

MINGGU, 16 MEI, 2021

Suro Diro Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti: Kebaikan Harus Dimulai sejak Cara Penyampaiannya

Ada beberapa hal yang membuat manusia berubah sedemikian cepat. Mulai dari kekayaan, kepintaran, popularitas, hingga kekuasaan. Tanpa kendali yang tepat, hal-hal tersebut justru akan menyeret mereka ke dalam keburukan dan kejahatan.

Cerita mengenai Qarun, salah seorang yang hidup semasa dengan Nabi Musa, misalnya menjadi gambaran jelas betapa kegelimangan harta bisa menjadi berbahaya jika manusianya tak memiliki sikap dan pemosisian diri yang tepat atas harta yang dititipkan oleh Tuhan kepadanya.

Akhirnya, harta itu bukan malah membuat ia menjadi semakin dermawan dan saleh secara sosial terhadap lingkungan sekitar, namun justru merasa acuh terhadap hak-hak orang yang membutuhkan. Parahnya lagi harta itu juga membuat Qarun melupakan dan abai terhadap Tuhan yang telah menganugerahkan kelebihan harta tersebut.

Kepintaran maupun keunggulan dalam hal ilmu pengetahuan di sisi lain juga bisa menjadi bumerang jika seseorang mendewakan akal semata, tanpa memperluas kesadaran jiwa maupun hatinya. Apalagi jika dengan ilmu itu seseorang kemudian merasa paling benar sendiri dan menafikan adanya kebenaran yang lain.

Atas nama penegakan kebenaran ilmu dan pengetahuan, telah terjadi banyak pembunuhan dan pembantaian di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, atau transnasional.

Soal kekuasaan, hal ini tidak kalah berbahaya dibanding dua yang pertama. Masih segar ingatan penulis ihwal bagaimana kekejaman Adolf Hitler atau Joseph Stalin ketika mereka sedang berada di tampuk kekuasaan atas negaranya. Ribuan, ratusan ribu, atau bahkan jutaan manusia terenggut nyawanya begitu mudah.

Merespons persoalan-persoalan di atas, ada satu pitutur Jawa yang rasanya patut untuk kita renungkan. Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Kalam ini sering disebut sebagai bagian dari sepuluh nasihat dari Sunan Kalijaga, meskipun fakta sejarah terbaru menyebutkan bahwa perkataan itu pada awalnya dilontarkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Ajipamasa.

Syair yang ditulis oleh Ranggawarsita itu sendiri terinspirasi dari kisah Pangeran Citrasoma, putra dari Prabu Ajipamasa. Ia digadang-gadang akan menjadi raja menggantikan ayahnya. Oleh karena itu, ia bersikap seolah berkuasa atas segalanya. Satu waktu, sang pangeran kepincut dengan seorang wanita yang bernama Nyai Pamekas. Sayang, beliau telah memiliki suami yang bernama Tumenggung Suralathi.

Seakan tak peduli dengan fakta di atas, Pangeran Citrasoma bersikukuh ingin merebut wanita tersebut dengan cara apa pun. Pada suatu hari, ketika Tumenggung Suralathi sedang tidak berada di rumah, ia menyelinap masuk ke dalam rumah Nyai Pamekas. Ia berterus terang ihwal keinginan untuk bercinta bersama dirinya.

Nyai Pamekas tentu kaget dengan kejadian di malam tersebut. Akan tetapi, ia sadar sedang berhadapan dengan seorang calon raja. Penolakan terhadap keinginan pangeran pun disampaikan dengan bahasa lembut sambil dibungkus dengan senyuman yang tulus.

Dengan bahasa yang santun, Nyai Pamekas mencoba mengingatkan bahwa tindakan Citrasoma tidak benar. Apalagi dia adalah calon raja yang harus memberi contoh baik kepada rakyatnya.

Hasrat kebinatangan yang telah menguasai diri Citrasoma ternyata begitu besar. Beruntungnya Nyai Pamekas kemudian menemukan satu cara untuk menolak permintaan pangeran tersebut. Ia bersedia memenuhi apa yang diinginkan Citrasoma dengan catatan bahwa semua orang tertidur dan tidak ada yang mengetahui hal yang akan dilakukan oleh mereka berdua pada malam itu.

Berbekal ilmu kadigdayan yang dimiliki, Citrasoma kemudian membuat seluruh penduduk di sekitar rumah itu tertidur dengan pulas. Ia pun mendesak Nyai Pamekas untuk segera memenuhi permintaanya. Akan tetapi, Nyai Pamekas menyanggah bahwa ada yang belum tertidur, yakni Gusti yang Maha Kuasa.

Mendengar ucapan itu, sontak Citrasoma tertampar begitu hebat dan menyadari kebodohan dirinya akibat nafsu yang telah membelenggu akal dan pikirannya, sehingga berefek pada tertutupnya hati sang pangeran.

Pada akhirnya, Pangeran Citrasoma  pun mengurungkan niatnya dan selamatlah dia dari tindakan tercela. Sementara itu, Nyai Pemekas dengan kelembutannya berhasil mengalahkan nafsu jahat orang yang memiliki kuasa sekaligus mempertahankan kesuciannya sebagai seorang istri.

Dari cerita di atas, falsafah Suro Diro Jayaningrat yang bermakna segala sifat keras hati, picik, angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar menemukan relevansinya.

Bahwa dalam menegakkan kebenaran, mensyiarkan kebaikan, atau mempromosikan keindahan seseorang juga mesti mempertimbangkan cara-cara yang baik, benar, dan indah. Bukan melalui kekerasan, pemaksaan, kejahatan, apalagi dengan cara-cara beringas yang tidak sejalan dengan nilai kemanusiaan.


Leave a Reply