Sudahkah Diri Ini Layak Menghamba?

MINGGU, 27 FEBRUARI, 2022

Sudahkah Diri Ini Layak Menghamba?

Setiap manusia yang terlahir ke dunia secara otomatis menerima konsekuensi sebagai hamba Tuhan sekaligus khalifah di muka bumi. Menerjemahkan tugas sebagai khalifah bisa beragam dan dilakukan di bidang apa saja, sesuai potensi dan minat bakat setiap orang.

Akan tetapi, bagaimana dengan penghambaan? Bukankah ia persoalan yang berkaitan dengan kesadaran yang mengandung ketundukan, kepasrahan, rasa ketidakberdayaan, serta melepas segala atribut keduniawian di hadapan-Nya?

Totalitas dan kualitas penghambaan seseorang dapat diukur dari bagaimana mereka megolah dirinya, menjernihkan pikirannya, dan menata hatinya. Dengan tiga proses itulah kemudian kesempurnaan takdir Ilahi bisa didapatkan.

Dalam sudut pandang tasawuf, menghamba merupakan persoalan menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs) dan membersihkan hati (tasfiyah al-qalb). Istilah ini bahkan digunakan secara eksplisit di dalam Al-Qur'an.

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."

- QS. Asy-Syams: 9 -10

Proses penyucian jiwa dan pembersihan hati ini hanya bisa dilakukan dengan menempuh perjalanan panjang ke dalam diri manusia itu sendiri. Ada yang menyebutnya dengan Diri Sejati, Diri Terdalam, dan lain sebagainya. Mekanisme pendidikan dan pengajaran yang bisa digunakan ialah paradigma inside-out, yang mana fokus utama pembenahan diri ialah apa yang ada di dalam, bukan di luar diri seseorang.

Mengenai metode dan praktik untuk mewujudkan hal itu, ada beragam pilihan sarana penghambaan melalui ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji, serta berbagai jenis ibadah sunnah yang tidak hanya bersifat personal, melainkan juga sosial.

Dalam diskursus tasawuf, terdapat satu praktik penghambaan melalui jalan meditasi (riyadhah) yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Secara praktis meditasi bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun, dengan jangka waktu tertentu sesuai dengan kemampuan dan kapasitas tiap orang.

Meditasi Sebagai Sarana Olah Batin

Penghambaan

Meditasi merupakan wujud dari olah batin manusia untuk menuju satu level kesadaran yang bernama kesadaran rasa. Semakin sering dilakukan, hal ini akan berdampak pada terbentuknya kepekaan batin dan ketajaman intuisi yang dimiliki oleh seseorang.

Metafor dari proses meditasi ialah saat di mana seseorang bisa "berkomunikasi" dengan Tuhan. Hal ini dikarenakan keintiman dan suasana batin yang ditimbulkan dari meditasi membuat kita merasakan kedekatan Tuhan, sehingga mendorong kita untuk berasyik-masyuk dengan-Nya.

Tak heran kemudian jika para tokoh bangsa terdahulu menjadikan olah batin ini sebagai ikhtiar utama, di samping gerak lahir untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah melalui jalur politik, ekonomi, sosial, maupun kebudayaan.

Salah satu figur penting yang perlu diketengahkan sebagai contoh akan hal ini ialah Ki Ageng Suryomentaram. Sosok keturunan raja yang memilih jalan alternatif untuk meninggalkan kemapanannya itu di kemudian hari dikenal dengan konsep psikologi dan olah diri yang disebut dengan Kawruh Jiwa.

Kawruh Jiwa secara sederhana ialah sebuah metode tentang bagaimana kita bisa memahami diri sendiri secara benar, tepat, dan jujur. Ketika seseorang telah mampu memahami dirinya, maka dengan sendirinya ia juga akan mampu memahami orang lain dan lingkungannya dengan benar, tepat, dan jujur.

Selanjutnya, ketika kita sudah bisa memahami dan mengolah diri kita, terutama bagian jiwa yang berlapis-lapis itu, maka kita akan mendapatkan apa yang disebut Ki Ageng sebagai kebahagiaan sejati sebagai hasilnya. Kebahagiaan yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal, lan kwontenan).

Padanan lain dari praktik meditasi sebenarnya secara tersirat merupakan pengejawantahan dari proses tafakur, yakni meluangkan waktu untuk menyendiri dan melakukan proses bertanya dan memikirkan hal-hal mengenai diri kita sendiri maupun lingkungan dan alam sekitar, sehingga lahir refleksi dan instropeksi atas satu hal tertentu.

Dalam Al-Qur'an, anjuran untuk bertafakur cukup banyak disebutkan di berbagai ayat dengan derivasi kata yang cukup beragam, seperti tafakkur, tadabbur, ta'qilun, dan sebagainya. Secara literal, kata tafakur misalnya bisa ditemukan di QS. Yunus ayat 101, QS. Fusshilat ayat 53, dan QS. Al-Mujadalah ayat 7.

Imam Al-Ghazali bahkan membuat satu risalah khusus mengenai tafakur yang disandarkan kepada salah satu sabda Nabi yang berbunyi: "Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun."

Menurut Al-Ghazali, tafakur bermakna menghadirkan dua pengetahuan (ma'rifat) dalam hati agar timbul ma'rifat ketiga. Makna dari dua pengetahuan pertama ialah apa yang lahir dari potensi indrawi dan akal, sedangkan pengetahuan ketiga di situ yang dimaksud Al-Ghazali merupakan pengetahuan yang berdasar pada aspek rasa yang dihasilkan oleh hati.

Tafakurlah yang menjadi prinsip dan kunci segala kebaikan. Inilah yang menjelaskan keutamaan tafakur yang sebenarnya.

- Imam Al-Ghazali

Memasuki Gerbang Kesadaran

Penghambaan

Dalam proses masuk ke gerbang kesadaran, seseorang perlu memadukan tiga teknologi dasar berupa hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.

Harmonisasi antara ketiga aspek tersebut akan melahirkan sinergi antara manusia, alam, dan Tuhan. Sebagai contoh, ketika seorang muslim menjalankan shalat dengan tepat waktu, maka ia akan memiliki energi luar biasa yang akan terpancar dalam dirinya. Hal ini dikarenakan setiap waktu shalat memiliki energi, frekuensi, dan vibrasi tersendiri yang terhubung dengan alam semesta.

Keselerasan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta inilah yang menjadi visi kehadiran Islam di muka bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh karenanya, Nabi Muhammad sebagai sosok yang disebut sebagai manusia paripurna (insan al-kamil) hadir untuk menerjemahkan visi Islam tersebut.

Dengan bahasa lain, manusia sudah selayaknya mampu menebar manfaat dan kebahagiaan sebagai wujud dari kecintaan kepada sesama makhluk Tuhan di satu sisi, serta konsekuensi logis dari tugas sebagai kurir Tuhan di alam semesta.

Akan tetapi, satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam usaha untuk mencapai dan menuju figur insan al-kamil tersebut ialah perlunya bimbingan langsung dari seorang guru pembimbing (mursyid) yang telah merasakan dan melalui perjalanan spiritual sebagai proses pendakian menuju jalan pencerahan.

Pencerahan (enlightenment) yang didapatkan kemudian ibarat buah dari proses tirakat panjang yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan kontinu, sehingga seseorang akan mencapai kondisi hati yang selamat (qalbun salim).

Hati yang selamat inilah yang akan menjadi pemimpin, atau dalam istilah Al-Ghazali disebut sebagai raja, bagi manusia dalam menjalani kehidupan dan aktivitas keseharian dengan membawa kesadaran keilahian yang akan mendorong seseorang untuk berkontribusi dalam aksi-aksi kemanusiaan.


Leave a Reply