Speedometer Tobat

RABU, 22 MARET, 2023

Speedometer Tobat

Ramadhan kembali datang menghampiri. Kali ini dengan waktu dan suasana yang berbeda, meskipun pada dasarnya ia membawa esensi yang sama. Sungguh merugi orang-orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan, namun ia tidak mendapatkan pengampunan dari Allah.

Begitulah makna tersurat dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari mengenai puasa Ramadhan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa penting keterkaitan antara ibadah puasa yang kita lakukan dengan output berupa ampunan dari-Nya?

Selama ini, kita lebih sering beranggapan bahwa Ramadhan adalah saat yang tepat untuk memperbanyak ibadah, seperti membaca dan mengkaji Al-Qur'an, mendirikan shalat malam (qiyamul lail), dan segenap ibadah ritual lainnya.

Tentu, semua bentuk ibadah yang disebut sebelumnya bukan berarti salah untuk dilakukan. Namun, ada satu kesadaran penting yang perlu kita tanamkan berkaitan dengan esensi bulan Ramadhan.

Untuk itu, pertama-tama penting kiranya bagi kita memahami makna Ramadhan berdasarkan akar etimologinya (kebahasaan). Secara bahasa, kata Ramadhan bisa dirujuk kepada beberapa akar kata. Pertama, ialah ramadh, dengan makna panas yang membakar. Maksud kontekstual dari kata ini ialah bahwa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, maka dosa-dosanya akan dibakar dan dilebur sebagai proses pembersihan diri.

Kedua, yakni ramidh, yang bermakna hujan yang membasahi jalanan. Artinya, siapa yang berpuasa dengan iman dan penuh kesungguhan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya sebagaimana hujan yang membersihkan debu dan kotoran di jalanan.

Ketiga, adalah yarmadh, dengan arti mengasah. Dahulu, orang Arab sering berperang melawan musuh-musuhnya. Akan tetapi, ketika memasuki bulan Ramadhan mereka akan menghentikan perang itu untuk sementara waktu. Di situlah mereka mengasah raga, jiwa, dan pikirannya, di samping mengasah amunisi sebagai bekal untuk peperangan selanjutnya.

Jika ditarik kepada konteks sekarang, Ramadhan hendaklah menjadi salah satu medan penggemblengan diri setiap orang (baik dalam hal fisik, emosional, sosial, intelektual, hingga spiritual) dalam menghadapi sebelas bulan selanjutnya. Sangat disayangkan jika puasa hanya dimaknai sebagai menahan lapar dan haus saja, tanpa melatih dan mengupgrade diri kita.

Dalam prosesnya, tentu ada tahapan yang perlu kita lewati untuk sampai pada kondisi terbaik dari diri kita. Langkah awal yang krusial untuk ditempuh dalam hal ini ialah kesediaan diri untuk melakukan serangkaian proses pertobatan secara totalitas dan sungguh-sungguh.

Menggunakan bahasa Al-Qur'an, ia disebut sebagai suci batin taubatan nasuha. Tobat yang semurni-murninya tobat. Dalam tobat nasuha, seseorang harus melibatkan hati, lisan, dan juga tindakan secara berkesinambungan.

Oleh karena itu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam agar tobat yang kita lakukan sah disebut sebagai tobat nasuha. Secara berurutan, ketiga syarat itu ialah menyesali dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, berhenti secara totalitas dalam melakukan dosa dan kesalahan tersebut, serta bertekad untuk tidak mengulangi dosa atau kesalahan sejenis di masa depan.

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (Al-Baqarah: 222)

Secara praktis, ia dimulai dengan adanya rasa penyesalan dalam hati atas dosa yang pernah kita lakukan, kemudian kita beristighfar menggunakan lisan. Setelah itu, kita harus berupaya untuk menghindar serta menjauhi dosa dari segi tindakannya.

Layaknya sebuah kendaraan bermotor (baik mobil atau sepeda motor) yang memiliki spidometer untuk mengukur kecepatan berkendara oleh penggunanya, dalam diri kita juga terkandung apa yang bisa disebut dengan spidometer tobat. Bedanya, yang diukur adalah seberapa besar kesungguhan dan kadar totalitas kita dalam bertobat kepada Tuhan.

Urgensi tobat sendiri telah ditekankan oleh para ulama sufi, semisal Al-Qusyairi, Al-Ghazali, Abu Bakar al-Kalabadzi dan banyak lainnya. Misalnya, dalam urutan atau tahapan perjalanan spiritual (maqamat) yang harus ditempuh oleh seorang salik, mereka sepakat bahwa tingkatan pertama yang perlu dilalui ialah tobat. Barulah di tingkatan selanjutnya setelah tobat terdapat beragam pendapat yang berbeda-beda.

Pun demikian dalam tiga tahapan pendidikan yang lazim digunakan di ordo tarekat. Para mursyid selalu menekankan pentingnya proses pembersihan diri (takhalli), sebelum melanjutkan kepada tahap pengisian diri dengan program-program (akhlak, kebiasaan, perilaku) yang baik (tahalli) dan penjelmaan keindahan sifat, nama dan perbuatan Tuhan (tajalli) dalam kehidupan sehari-hari.

Benang merah antara Ramadhan dengan urgensi tobat dalam hal ini ibarat pepatah Jawa yang berbunyi tumbu ketemu tutup. Ungkapan ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perkawinan/pertemuan antara dua entitas yang dipandang serasi dan pas untuk diintegrasikan.

Keterpaduan antara dua hal itu tentu perlu kita aktualisasikan secara nyata dalam praktik berkehidupan, khususnya selama Ramadhan ini. Memperbanyak intensitas pertobatan dengan mendawamkan tasbih Nabi Yunus misalnya bisa menjadi opsi yang kita pilih untuk mengisi hari demi hari di bulan suci ini.

Akhir kata, yang perlu kita lakukan saat ini ialah menarik gas sekencang mungkin agar kecepatan spidometer tobat dalam diri kita bisa menyentuh angka maksimalnya, sehingga dengan izin dan rida-Nya semoga kita diperkenankan untuk bisa kembali kepada fitrah dan meraih kemenangan di awal bulan Syawal nanti.


Leave a Reply