Sang Begawan Guru Bangsa: Menelisik Peran dan Ajaran Eyang Santri (2)

JUMAT, 23 APRIL, 2021

Sang Begawan Guru Bangsa: Menelisik Peran dan Ajaran Eyang Santri (2)

Mengenal seseorang tidaklah cukup jika hanya melihat peran-peran yang dilakukan semasa hidupnya. Hal yang tak kalah penting untuk dilakukan ialah membaca pemikiran dan konstruk pengetahuan sosok yang bersangkutan, karena hal itu merupakah rahim dari aksi dan gerakan dalam kehidupan nyata.

Pengembaraan Kiai Santri selama masa hidupnya yang cukup panjang pastilah meninggalkan tapak jejak yang bisa menjadi pelajaran bagi generasi penerusnya. Sebagai pengamal Tarekat Syattariyah, ajaran martabat tujuh merupakan satu di antara banyak ajaran yang menjadi pegangan dan pedoman Kiai Santri dalam laku kehidupannya.

Ajaran Martabat Tujuh sebagai Pondasi 

Dalam setiap pergerakan dan perjuangan, tentu ada landasan ilmu dan pengetahuannya yang menjadi dasarnya. Begitu pula dengan keberanian, spirit pantang menyerah, dan ketangguhan Kiai Santri dalam setiap gerak-geriknya. Ibarat pohon yang menjulang tinggi, pastilah ia memiliki akar yang kuat dan dalam.

Salah satu basis utama yang mendasari itu ialah ajaran martabat tujuh yang beliau pelajari dari Kiai Kasan Besari Tegalsari Ponorogo, yang mana sanad keilmuan itu bersambung kepada Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, Syaikh Abd al-Rauf al-Sinkili, hingga Ibrahim al-Kurani dan Al-Qusyasyi. Dua nama terakhir itulah yang menjadi rujukan banyak ulama nusantara dalam mendalami ajaran martabat tujuh.

Dalam proses bergurunya, Kiai Santri bersahabat dengan Ranggawarsita dan Pangeran Diponegoro. Ketiganya sama-sama belajar langsung kepada Kiai Kasan Besari. Tak heran jika kemudian persahabatan di antara mereka berlangsung secara berkelanjutan, termasuk dalam perjuangan melawan penjajahan.

Ajaran martabat tujuh inilah yang kemudian beliau abadikan dalam Naskah Girijaya. Konsep martabat tujuh sendiri berkaitan dengan penciptaan manusia dan alam semesta. Penciptaan tersebut terbagi menjadi tujuh tahapan (tajalli) yang turun secara berjenjang dari wujud immaterial hingga wujud material.

Martabat pertama disebut sebagai Ahadiyyah. Pada tingkatan ini, yang ada hanya Zat Allah secara mutlak tanpa disertai asma’ dan sifat-Nya. Selain itu, belum ada ciptaan dalam bentuk apa pun. Oleh karenanya, martabat ini disebut juga dengan la ta’ayyun. Hal ini dikarenakan segala wujud bersifat transenden dari segala bentuk sifat dan terlepas dari segala bentuk batasan.

Kedua, ialah martabat Wahdah. Di tahap ini, yang ada hanya Zat dan Sifat Allah Swt, serta tercipta Nur Muhammad sebagai asal dari segala yang maujud. Oleh karenanya, martabat ini disebut juga dengan Haqiqah Muhammadiyah. Semua wujud masih dalam bentuk global tanpa ada rincian secara detail. Dalam kaitannya dengan penciptaan manusia, Kiai Santri mengaitkan tahapan ini dengan madhi dan mani.

Mengenai Nur Muhammad yang menjadi asal dari segala yang ada ini diperkuat oleh sabda Nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menciptakan ruh Nabi Muhammad SAW dari zat-Nya, dan menciptakan alam semesta dari Nur Muhammad SAW.” Di sisi lain, Allah telah memiliki sifat atau disebut ta’ayyun awwal sehingga mulai ada yang nyata pada martabat sifat qadim, azali, dan abadi Allah Swt.

Martabat yang ketiga disebut sebagai Wahidiyyah. Pada martabat ini yang ada yaitu Zar dan Sifat, namun semua sudah terbentuk secara detail. Telah tampak perbedaan antara satu wujud dengan wujud lainnya, sehingga disebut juga dengan ta’ayyun thani. Adapun korelasinya dengan tahapan penciptaan manusia, ia merupakan proses wadhi dan nuthfah.

Martabat keempat disebut sebagai alam arwah. Di dalamnya terdapat kumpulan segala ruh yang belum terwadahi oleh jasad. Ruh ini merupakan cahaya suci yang selanjutnya akan menerima nasib sesuai yang telah dikehendaki-Nya. Aktualisasi wujud selain Allah (mumkin al-wujud) dimulai dari tahap ini. Martabat ini disebut juga dengan a’yan kharijiyyah, artinya telah muncul dan keluar manifestasi-Nya dalam bentuk makhluk-makhluk. Kiai Santri menyebut bahwa ia selaras dengan manikam dan ‘alaqah dalam proses penciptaan manusia.

Kelima, ialah alam mitsal. Pada martabat ini, ruh yang ada di alam arwah telah menerima nasib atau dalam bahasa lain mendapat ketentuan hidup dan diberi wadah (jism) oleh-Nya. Akan tetapi, ruh yang telah terbagi dalam martabat ini masih berbentuk ide dan belum memiliki rupa.

Berbeda dengan alam arwah yang masih murni tanpa ada campuran dari material lain, martabat alam mitsal ini ruh tersusun dari material yang lembut dan telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga wujudnya bersifat metafisik. Kaitannya dengan proses penciptaan manusia ialah ada di tahap janin yang berusia dua bulan (mudghah).

Martabat keenam yaitu alam ajsam, yakni wujud alam yang tersusun dari benda-benda material yang unsurnya dapat dipisah dan dibagi, seperti unsur air, api, udara, dan tanah. Di tahapan ini, telah terbentuk jasad sebagai wadah dari ruh yang ada di alam mitsal. Jasad tersebut telah siap menerima keberadaan panca indera lahir dan batin.

Selain itu, martabat ini menggambarkan ciptaan Allah SWT yang telah tersusun rapi dan telah menerima susunannya, khususnya manusia. Tahapan ini menggambarkan rupa bayi yang sempurna dalam proses penciptaan manusia.

Ketujuh, disebut dengan insan kamil atau Kiai Santri juga menamainya dengan martabat al-jamiah. Di sinilah terkumpul semua martabat, baik yang bersifat jasmani, nurani, maupun ruhani.

Dalam bahasa lain, martabat ini juga disebut sebagai manifestasi (tajalli) akhir berupa kenyataan wujud manusia yang memiliki dimensi jasmani, ruhani, dan ketuhanan. Kaitannya dengan proses penciptaan manusia pada tahap ini ialah pribadi yang telah dewasa. Nabi Muhammad dalam hal ini merupakan sosok yang memiliki kadar tertinggi dalam tajalli dari ketujuh proses di atas.

Pemahaman akan alur dan proses dari ajaran martabat tujuh di atas akan membuat seseorang lebih mengenal dirinya yang sejati, bahwa manusia hakikatnya merupakan makhluk spiritual yang dilontarkan dalam satu arena permainan besar bernama dunia.

Dengan demikian, pencapaian tertinggi harusnya bukanlah soal kekayaan atau kekuasaan, melainkan apakah seseorang itu mengetahui jalan kembali ke haribaan-Nya dengan mengenal siapa dirinya, dari mana dirinya, dan akan kembali ke mana setelah jasad yang dibangga-bangakan itu menemui kematian. Akan tetapi, skala kebermanfaatan seseorang di dunia bagi sesamanya juga menjadi paramater penting yang tak boleh dilupakan begitu saja.


Leave a Reply