Saat ini, kita berada dalam kondisi pasca madrasah ruhani yang kita alami dan lalui selama bulan Ramadhan. Kecenderungan yang mayoritas terjadi di bulan Syawal ini adalah terjadinya penurunan kembali dalam hal semangat beribadah dan penghambaan kepada Tuhan.
Sebagai contoh, jika sewaktu bulan Ramadhan kita rajin membaca Al-Qur'an, mendirikan shalat malam, bersedekah secara rutin, atau melakukan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara istikamah, maka seringkali kebiasaan itu seakan hilang tak berbekas saat memasuki bulan Syawal. Padahal, tolok ukur keberhasilan Ramadhan yang kita jalani justru terletak pada sebelas bulan setelahnya, tak terkecuali di bulan Syawal.
Merespons hal ini, yang diperlukan sebenarnya ialah kesadaran kita. Karena agama itu sendiri adalah kesadaran, takwa itu kesadaran, ritual itu kesadaran, sehat itu kesadaran, bahagia itu kesadaran, kesuksesan itu kesadaran, dan segala sesuatu yang ada di dunia ini juga merupakan kesadaran. Termasuk hembusan nafas masuk dan keluar itu adalah bentuk dari kesadaran.
Sehingga, yang perlu kita kaji dalam hidup ini sesungguhnya adalah kesadaran. Persoalannya, kebanyakan manusia tidak terhubung dengan kesadaran. Padahal, kata kunci untuk ma'rifat itu terletak pada sinkronisasi antara kesadaran pikiran, jiwa, hati, rasa, dan tak lupa raga kita. Proses belajar mengenai kesadaran ini merupakan hal yang terus berlangsung seumur hidup.
Perlu disadari, bahwa dalam hidup ini, kita termasuk ke dalam bagian yang dikekalkan, dan ketentuan ke mana arah kita akan dikekalkan itu (apakah pulang ke Allah, ke surga, atau neraka misalnya) ditentukan saat kita berada di dunia. Untuk itu, kita harus benar-benar fokus dan bersungguh-sungguh dalam berjuang agar kita bisa kembali pulang ke hadirat Allah.
Untuk menuju hal itu, maka kabarnya adalah bahwa vibrasi tertinggi, rahmat yang paling terbuka, dan aliran rahmat yang paling dibuka oleh Allah kepada manusia dianugerahkan kepada mereka yang baik hatinya.
Kita mesti berupaya menjadi pribadi yang baik hatinya. Dari sudut pandang energi dan vibrasi, banyak orang yang berilmu dan beribadah, namun mereka memiliki vibrasi dan energi yang rendah. Sebagaimana iblis yang tergolong ke dalam orang yang rajin beribadah ('abid) dan berilmu ('alim), namun pada akhirnya dia dilaknat dan diusir oleh Allah.
Hal ini dikarekanan dorongan untuk belajar dan beribadah ini berasal dari luar, bukan dari ruang dalam diri kita. Padahal, hal-hal yang mengandung vibrasi serta energi yang tinggi itu bisa didapatkan dari apa yang ada di dalam diri kita.
Contoh terbaik dalam konteks ini adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah selama 13 tahun sebelum kemudian diangkat sebagai nabi dan rasul. Apa gerangan yang beliau lakukan? Tidak lain dan tidak bukan ialah memperbaiki dan membenahi hatinya atau berfokus pada ruang dalam dirinya.
Bagi orang yang baik hatinya, mereka memiliki apa yang disebut pertolongan Allah (ma'unah). Agama itu akhlak, dan target agama sendiri itu ada dua, yakni menjadi rahmat bagi alam semesta dan menjadi pribadi yang baik hatinya. Bahkan ketika Nabi Muhammad ditanya mengenai arti agama, jawaban yang muncul ialah khusnul khuluq (akhlak yang baik).
Kesusahan itu merupakan alarm kehidupan. Sejatinya, kita diciptakan untuk berkecukupan, bukan menjadi orang yang susah. Artinya, jika kita berada dalam kondisi kesusahan, berarti ada hal yang salah dan menjadi penghambat dalam hidup kita.
Maka sikap yang paling tepat ketika hati kita belum baik dan layak ialah dengan tidak banyak permintaan dan tuntutan atas hidup kita. Karena apa pun pemberian dari Allah, jika ia tidak didasari dengan kerapian hati, maka hal itu akan menjelma menjadi ancaman dan sesuatu yang justru mendorong kita untuk kufur atas nikmat.
Oleh karena itu, keimanan dan ketauhidan kita harus meliputi semuanya. Meliputi senang dan susah, melampaui bahagia dan derita, serta tidak membentur-benturkan antara sehat dan sakit, baik dan buruk, hinaan dan pujian, dan beragam paradoks kehidupan lainnya.
Tauhid itu adalah bahagia tanpa syarat. Makna bertauhid terletak pada kemampuan kita untuk selalu bisa mengondisikan dan menyadari hidup ini sebagai perayaan kesyukuran dan kebahagiaan di setiap saat, tanpa perlu memandang waktu dan apa yang sedang kita rasakan dan alami di waktu tersebut.
Bahagia itu ada dalam kesadaran kita. Ia tidak terletak nun jauh di sana, melainkan telah ada dalam diri kita sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan diri kita untuk mengaktualisasikan kebahagiaan itu dari dalam diri kita sendiri.
Kata kunci lain yang juga harus kita miliki dalam hidup ini ialah dengan menjadikan segala ujian, penderitaan, atau kesusahan sebagai guru ikhlas kita. Hal-hal yang justru membuat kita merasa lemah dan tak berdaya itu pada hakikatnya merupakan guru kehidupan yang mesti kita sambut dan hargai. Karena bagi orang yang bertauhid, tidak ada lagi paradoks antara bahagia dan derita, senang dan susah, dan hal-hal sejenisnya.
Penulis: Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute