Revolusi Spiritual: Bekal Utama Menyongsong Indonesia Emas 2045

SELASA, 17 AGUSTUS, 2021

Revolusi Spiritual: Bekal Utama Menyongsong Indonesia Emas 2045

Kehidupan berbangsa dan bernegara telah melampaui tiga perempat abad dari awal kemerdekaan Indonesia. Dari rentang waktu tersebut, tentu terdapat cerita suka maupun duka yang mewarnainya. Di sisi lain, dua puluh empat tahun lagi alur perjalanan negeri ini genap satu abad. Menyikapi hal itu, tentu ada target-target yang ingin diraih dalam merayakan seratus tahun berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau disebut juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) misalnya mencanangkan visi Indonesia Emas 2045 sebagai modal dalam menyongsong seratus tahun kemerdekaan Indonesia. Visi ini kemudian diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 9 Mei 2019.

Terdapat empat pilar yang menjadi dasar utamanya, yakni Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan; Pemerataan Pembangunan; dan Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Pemerintahan. Cetak biru yang telah dicanangkan ini tentu merupakan satu hal yang bagus dan perlu diapresiasi. Akan tetapi, terdapat hal yang lebih mendasar untuk diperhatikan dan dipersiapkan dalam menyambut seratus tahun kemerdekaan Indonesia.

Kesadaran merupakan elemen utama yang sering luput dari perhatian banyak orang ketika berbicara mengenai pemberdayaan manusia. Pembekalan dan pelatihan mengenai keahlian di bidang apa pun (baik soft skill maupun hard skill) menjadi tak berguna jika orang yang diberikan pelatihan itu belum sadar akan pentingnya keahlian tersebut.

Mengenai kesadaran, hal ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi spiritual manusia yang menjadi daya dorong terbesar untuk berkarya dalam kehidupan nyata. Dalam bahasa modern, ia disebut sebagai inner drive. Spirit kuat yang ada dalam diri seseorang akan berdampak pada aksi nyata (ritual) yang terejawantah pada kehidupan sehari-hari.

Revolusi Spiritual sebagai Paradigma Utama 

Perputaran sejarah berimplikasi pada pergeseran orientasi di setiap zamannya. Agama dan sains dalam hal ini sering kali berhadapan di banyak babakan sejarah. Perbedaan orientasi sendiri timbul karena setiap orang atau kelompok berangkat dari paradigma yang berbeda antara satu dengan lainnya. Paradgima merupakan kerangka dasar dalam berpikir dan menyikapi sesuatu.

Sebagai contoh, jika Anda meyakini bahwa kesuksesan dan keberhasilan tidak melulu diukur dari hal-hal yang bersifat material seperti banyaknya harta; tingginya pangkat atau jabatan; besarnya rumah; dan koleksi mobil dan barang-barang mewah, maka penyikapan yang Anda berikan dalam merespons peristiwa-peristiwa berkenaan dengan hal-hal di atas tidak akan berlebihan. Filsafat Jawa mengemasnya dalam bentuk bersikap biasa saja terhadap apa pun.

Contoh lain bisa dilihat jika Anda berpandangan bahwa hukum semesta berlaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga jika kita menyakiti atau melukai hati orang lain, niscaya akan ada karma yang mengenai diri kita dengan cara yang bermacam-macam. Bisa jadi efeknya akan menimpa diri sendiri, keluarga, atau orang yang dekat dan kita sayangi.

Revolusi spiritual sebagai salah satu motto utama Panca Olah Institute merupakan sebuah tawaran alternatif bagi khalayak luas dalam memandang kehidupan secara luas. Era yang penuh dengan kepalsuan saat ini mendorong kita untuk bermuhasabah dan merefleksikan kembali siapa jati diri kita sebenarnya.

Paradigma ini menempatkan aspek spiritual sebagai panglima yang memimpin seseorang ketika mengambil keputusan-keputusan yang terbentang sepanjang hidupnya. Hal ini dikarenakan manusia, sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rumi dan Pierre Teilhard de Chardin, sejatinya makhluk spiritual yang sedang diperjalankan di sebuah arena permainan bernama dunia.

Daniel Pinchbeck bahkan menyatakan sekarang merupakan waktu yang paling tepat dan dibutuhkan untuk mendorong terjadinya revolusi spiritual. Degradasi moral yang terjadi di berbagai lini kehidupan merupakan, ditambah hilangnya kesadaran sebagian besar manusia terhadap trilogi hubungan antara dirinya dengan Tuhan dan alam semesta bisa menjadi alasan mengapa revolusi itu dibutuhkan.

Tolok ukur spiritualitas bisa dinilai dari kesadaran yang ada pada diri seseorang. Semakin tinggi kadar spiritual, maka hal itu seiring dengan kepedulian dan kontribusi terhadap aspek kemanusiaan. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mencontohkan dengan perilaku memberikan makan kepada seseorang yang saat kita jumpai belum makan sebelumnya. Sementara itu, Gus Dur menerjemahkannya pada pembelaan dan menemani orang-orang minoritas yang mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat luas, termasuk oleh negara sekalipun.

Oleh karenanya, menyongsong Indonesia Emas 2045 rasanya akan hampa jika mengandalkan perbaikan serta peningkatan aspek intelektual dan emosional, namun mengabaikan aspek spiritual yang justru menjadi inti dari manusia itu sendiri. Dirgahayu Republik Indonesia. Mari wujudkan Indonesia yang tangguh dan tumbuh di usia yang ketujuh puluh enam tahun dengan jalan revolusi spiritual!


Leave a Reply