Refleksi Isra' Mi'raj sebagai Kesadaran Transpersonal Manusia

RABU, 29 JANUARI, 2025

Refleksi Isra' Mi'raj sebagai Kesadaran Transpersonal Manusia

Isra Miraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah umat manusia, khususnya mereka yang beragama Islam. Dalam prosesnya, Nabi Muhammad sebagai subjek utama yang mengalami proses perjalanan di malam hari dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, kemudian naik menuju Sidratul Muntaha untuk mengambil perintah untuk menunaikan shalat secara langsung kepada Allah Swt.

Peringatan Isra Miraj ini bagi saya adalah momentum yang penuh dengan catatan emosional, penuh keharuan dan sukacita, karena setiap tahun pasti saya melakukan pembahasan, pengolahan, dan refleksi dari cerita, sejarah, serta pengalaman spiritual yang dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad, mulai dari dicuci dan dibersihkan hati serta tubuhnya, sehingga memperoleh risalah yang begitu luar biasa dan holistik, terutama tentunya berkaitan dengan ajaran shalat.

Tujuan (goals) dari perjalanan Isra Miraj tersebut adalah shalat. Karena jika tidak ada shalat, maka semua hal yang kita lakukan akan sia-sia belaka. Banyak manusia hari ini yang berbicara tentang sesuatu yang sifatnya tinggi, bahasa rasa, dan sebagainya, namun mereka mengabaikan dari aplikasi yang nyata, dalam hal ini shalat. Mereka mengira azan adalah panggilan dari manusia, padahal sejatinya itu merupakan kebesaran, kesaksian, dan seruan kemenangan dari Allah.

Seringkali hal-hal yang sifatnya prinsip ini diabaikan oleh manusia, sehingga pengulangan akan pentingnya shalat ini perlu dilakukan agar kesadaran itu tidak luntur begitu saja dalam kehidupan manusia modern ini. Apakah tujuan shalat itu menemukan kesadaran? Atau sebenarnya menjalankan shalat itu perlu didahului dengan kesadaran yang ada dalam diri kita?

Pertanyaan ini menjadi penting, karena kesadaran adalah kunci. Ia adalah awal sekaligus akhir. Shalat adalah ruang, spesifiknya ruang tengah dari ruang dalam dan ruang luar. Ruang dalam dan ruang luar sama-sama di wilayah kesadaran, sedangkan ruang tengahnya adalah shalat.

Selain itu, kita perlu menyadari bahwa sudah berapa jauh kita berjarak dengan Rasulullah? Sosok yang seringkali kita mengaku rindu padanya, namun nyatanya hal itu tidak dibuktikan melalui perangai keseharian kita. Apakah kita lupa bahwa yang kelak menyelamatkan kita adalah rahmat Allah dan syafaat Rasulullah? Bukan ketenaran, kekayaan, atau segudang koneksi kita saat hidup di dunia.

Berkaitan dengan ini, saya ingin mengajak Anda selaku pembaca untuk meresapi sebuah doa penting yang dalam tradisi pesantren sering diajarkan untuk membacanya ketika malam 27 Rajab. Doa tersebut ialah:

اللهم إِنِّي أَسْأَلُكَ بِمُشَاهَدَةِ أَسْرَارِ الْمُحِبِّيْنَ، وَبِالْخَلْوَةِ الَّتِي خَصَّصْتَ بِهَا سَيِّدَ الْمُرْسَلِيْنَ حِيْنَ أَسْرَيْتَ بِهِ يْلَةَ السَّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ أَنْ تَرْحَمَ قَلْبِيَ الْحَزِيْنَ وَتُجِيْبَ دَعْوَتِيْ يَا أَكْرَمَ الْأَكْرَمِيْنَ

Artinya: “Ya Allah, dengan keagungan diperlihatkannya rahasia-rahasia orang-orang pecinta, dan dengan kemuliaan khalwat (menyendiri) yang hanya Engkau khususkan kepada pimpinan para rasul, ketika Engkau memperjalankannya pada malam 27 Rajab, sungguh aku memohon kepada-Mu agar Kau merahmati hatiku yang sedih dan Kau mengabulkan doa-doaku, wahai Yang Maha Memiliki kedermawanan.”

Dari doa ini kita bisa memahami bahwa menyendiri melalui khalwat, uzlah, dan sebagainya merupakan sebuah proses yang penting dijalani manusia, karena orang-orang yang mencintai-Nya akan diperlihatkan kemuliaan serta rahasia-rahasia yang dianugerahkan atas proses yang dilaluinya dalam berkhalwat.

Oleh karena itu, sejak tahun 2019 saya telah membuat program berjudul Memilih Jalan Hening, yang mana di situ saya mengajak orang-orang untuk berpraktik dalam menyendiri dan meneguhkan peran hidup yang ia bawa dengan proses khalwat yang tentu akan meningkatkan energinya.

Khalwat di era sekarang bisa kita lakukan dari mana saja dan kapan saja. Saya sering menyampaikan bahwa saat kita berada di dalam perjalanan atau sedang berada dalam suatu tempat, maka niatkan untuk berkhalwat, karena memang ada kemuliaan dari sebuah khalwat yang diniatkan secara baik.

Pelajran dari Isra Miraj ini sebenarnya setiap momentumnya adalah hikmah, namun kita hanya suka mendengarkan ceritanya tanpa memaknai sebagai sebuah kondisi sadar, pengingat, transformasi, perubahan serta pertumbuhan kognitif, perasaan, hingga kesadaran kita.

Dalam bahasa lain, kita hanya berpegang pada sesuatu yang bersifat 'katanya' atau menurut orang Sunda disebut sebagai agama ceunah. Alhasil, kita tidak akan pernah sampai pada kondisi transpersonal, karena kita memahami itu sebagai sebuah teks mati, tanpa melihat konteks yang terjadi dan apa relevansinya di masa kini.

Selanjutnya, saat kita membaca Isra Miraj sebagai sebuah perjalanan, lebih spesifiknya diperjalankan oleh Allah, maka sejatinya yang menempuh proses itu ialah aspek spiritual sekaligus fisik, bukan hanya dilakukan secara spiritual belaka. Saat kita memaknainya seperti itu, maka yang terjadi adalah kita mengejek dan tidak menghargai aspek luaran, dalam hal ini syariat dalam bentuk shalat yang diajarkan oleh Rasulullah.

Oleh karena itu, siapa pun tetap wajib menjalankan shalat. Bahkan terhadap mereka yang sudah mengaku orang hakikat atau ma'rifat, maka shalat tetap melekat sebagai sesuatu yang harus dijalankan secara kontinyu. Shalat merupakan proses persembahan, tapa brata, serta sistem keseimbangan yang menunjang alam semesta. Maka manusia bisa dibilang lebih sombong daripada iblis jika mereka tak mau menjalankan shalat dalam kesehariannya.

Hari ini kita melihat banyak orang menyepelekan shalat dan menganggapnya sebagai formalitas belaka, lalu mereka mengklaim yang penting sadar dan ingat Allah. Tentu saja semua itu tidak tepat, karena pada hakikatnya shalat bukanlah tunggang-tungging atau seremonial belaka.

Sebaliknya, shalat merupakan representasi dari wilayah spiritual tertinggi, karena yang dibicarakan bukan lagi ruh, badan, atau terpisahnya ruh dan badan, tetapi bersatunya ruh dan badan dalam manunggal sekeadaan untuk diberangkatkan ke hadirat Allah. Apakah ini bukan sesuatu yang spiritual?

Lalu kenapa sebenarnya hal-hal yang sifatnya sangat spiritual ini sepi? Sedangkan sesuatu yang bersifat seremonial itu gegap gempita. Coba kita tengok berbagai perayaan hari besar umat Islam. Semuanya dirayakan begitu ramai, sedangkan Isra Miraj sepi dari hikmah dan refleksi yang seharusnya lebih diperdalam lagi di wilayah pondasi tauhid dan kesadaran.

Untuk itu, kita perlu memaknai hal ini secara serius. Sehingga dengan melakukan shalat itu bisa mengubah perilaku kita, kesadaran kita, pikiran kita, hingga masa depan kita. Tentu hal ini bisa digapai jika kita melakukan shalat secara tepat penuh rasa dan kehadiran, bukan sekadar penggugur kewajiban saja.

Penghayatan mengenai shalat ini penting, agar kita tidak lagi main-main dalam proses pelaksanaannya. Pernahkah kita membayangkan saat kita shalat baginda Nabi Muhammad menjadi imam kita, kemudian para rasul berbaris di belakangnya, dan kita menjadi salah satu makmum yang ada di tengah-tengahnya. Sehingga, dengan itu kemudian kita begitu khusyuknya tunduk patuh dalam iman menjalankan perintah shalat dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah kepada umat manusia.

Jika sudah seperti ini, apakah kita masih mau main-main dalam menjalankan shalat kita? Untuk itu saya sangat berhati-hati dalam menyampaikan makna asli di dalam shalat, karena banyak dari kita masih diliputi ego dalam skala besar yang tentu berbahaya.

Seperti yang sering saya sampaikan dalam banyak kesempatan, bahwa dalam mempelajari kesadaran kita harus menjadikan tauhid sebagai dasar agar kita menjalankan kehidupan sesuai dengan tatanan dan tuntunan yang tepat dalam pandangan yang holistik.

Kalau kita hari ini berbicara tentang kesadaran, keesaan, hingga kebangkitan spiritual, lalu bagaimana kita bisa mewujudkannya dengan nyata dengan meninggalkan shalat, lupa dengan pegangan utama (ageman jati) yang menjadi pokok dalam hidup kita.

Saya telah bertemu dengan banyak orang, bahkan yang mengaku memiliki ilmu tinggi sekalipun, namun dalam aplikasi hidupnya ia terang-terangan meninggalkan shalat sebagai aplikasi dari proses pertumbuhan spiritual manusia. Hal ini tentu bertentangan tatanan dan tuntunan agama.

Dalam tulisan ini, saya sebagai sehabat mengajak Anda semua untuk memahami dasar atau pondasi penting mengapa kita perlu menjalankan shalat secara berkelanjutan. Di sini saya belum menjelaskan apa makna ruku' kita, sujud kita, berdirinya kita, duduk kita, siapa yang shalat dan siapa yang dishalati, siapa yang menyembah dan siapa yang disembah, siapa yang bersaksi dan siapa yang disaksikan, siapa yang menjadi kiblat, mana saja yang menjadi kiblat kita, dan apa saja yang menjadi kiblat kita.

Untuk itu, marilah sama-sama kita merefleksikan kembali hikmah dari Isra Miraj sebagai sebuah kesadaran yang berpondasi kepada ketauhidan, dan marilah kita memaknainya secara holistik, belajar dan bertumbuh dalam kesadaran, mengenal diri, serta mengenal Allah melalui shalat menuju insan kamil atau dalam perspektif energi menjadi pengendali ego dan nafsu kita, yang mana dengan itu kita bisa menyeimbangkan unsur zat api, zat angin, zat air, dan zat tanah yang terkandung dalam diri kita. Wallahu a'lam.

Penulis: Indra Hanjaya - Chairman


Leave a Reply