Dewasa ini, manusia modern seringkali mengalami kekosongan dan kehampaan dirinya. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia. Kesuksesan karir maupun kelimpahan harta ternyata tak serta merta membuat mereka merasakan ketenangan atau kedamaian dalam dirinya. Seperti ada ruang kosong dalam diri yang meronta-ronta.
Mereka pun kemudian mencari beragam cara untuk menuntaskan rasa penasarannya. Pencarian untuk menutup lubang besar yang menganga dalam diri pun dimulai. Ada yang pergi berkelana dari satu negara ke negara lainnya. Di tempat lain, terdapat orang yang menguji adrenalin dengan melakukan petualangan ekstrem mendaki gunung tertinggi atau lautan terdalam.
Sekelompok lain memilih untuk membeli satu pulau tersendiri demi merasakan arti kebahagiaan yang tak kunjung mereka dapatkan. Namun, ada juga yang mencoba mendatangi para guru dan ahli spiritual untuk berkonsultasi serta meminta solusi dari problem kejiwaan tersebut. Contoh yang terakhir inilah yang kemudian banyak diadopsi hingga melahirkan satu fenomena menarik yang disebut sufisme perkotaan (urban sufism).
Kecemasan psikologi, kerinduan akan spiritualitas, kesadaran baru, dan adanya kekacauan dunia setidaknya menjadi alasan mendasar bagi masyarakat kota untuk semakin memperbaiki hubungannya dengan Tuhan. Dari sinilah kemudian banyak tumbuh majelis ilmu dan majelis zikir yang mengetengahkan tema-tema tasawuf dalam pembahasannya.
Tak heran kemudian jika hari ini kita melihat acara-acara bertemakan tasawuf dilangsungkan di tempat-tempat mewah nan berkelas dari sudut kota metropolitan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan, Palembang, dan banyak kota lainnya. Pertanyaan yang menarik untuk diajukan dalam merespons hal ini adalah apa sebenarnya tawaran dari tasawuf sehingga mampu memikat hati orang-orang perkotaan tersebut?
Berdasarkan penuturan beberapa orang yang mengikuti pertemuan sejenis tersebut, adanya cara pandang baru dalam menjalani kehidupan merupakan salah satu alasan penting mengapa mereka tertarik untuk mengikutinya, di samping sensasi ketenangan dan kedamaian yang ditawarkan saat mengkaji tema-tema seputar hubungan manusia dengan Tuhan.
Transmisi Ajaran Martabat Tujuh di Nusantara
Dekonstruksi cara pandang dunia (worldview) memang menjadi salah satu ide pokok yang sering disampaikan dalam kajian tasawuf. Sebagai contoh, manusia dari perspektif tasawuf didorong untuk tidak mengamalkan ilmu dan amal yang ia punya, karena keduanya tidak akan mungkin bisa didapatkan jika bukan karena anugerah dari Allah. Dari segi para pendosa, ulama tasawuf juga sering berbicara bahwa rahmat dan ampunan-Nya juga lebih luas daripada murka dan siksa-Nya, sehingga kita tidak usah takut jika kita benar-benar niat untuk bertaubat.
Jika kita cermati dari skala yang lebih besar, tasawuf juga menawarkan sebuah konsep dasar asal muasal kehidupan manusia, serta ke mana muara dari kehidupan kita di dunia. Rumusan detail dari hal tersebut bisa dilihat dari ajaran tentang martabat tujuh.
Sebuah ajaran yang transmisi penyebarannya di Nusantara dipercaya berasal dari kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Syaikh Fadhlullah al-Burhanfuri, seorang sufi dari Gujarat. Meskipun demikian, embrio awal dari ajaran ini konon berasal dari sufi besar asal Andalusia yang disebut sebagai Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi.
Ajaran martabat tujuh yang ditulis oleh al-Burhanfuri ternyata segera mempengaruhi perkembangan pemikiran mistik Islam di Aceh. Pada abad ke-17, terdapat empat orang tokoh pemikir sufi di Aceh yang mengembangkan ajaran martabat tujuh tersebut, yakni Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Abdul Rauf al-Sinkili, dan Nuruddin ar-Raniri.
Selain melalui jalur para ulama tasawuf, penyebaran mengenai ajaran martabat tujuh juga dimotori oleh beragam tarekat di Nusantara, khususnya Tarekat Syattariyah yang dikenal dengan keunggulannya untuk memadukan ajaran tarekat wujudiyyah (tasawuf falsafi) yang cukup rumit dan ajaran tasawuf yang lebih orotodoks (tasawuf amali dan akhlaki).
Meskipun ia berkembang di seantero Nusantara, namun sentral perkembangan Tarekat Syattariyah diyakini terletak di daerah Cirebon. Terlebih, kota yang dijuluki sebagai Kota Udang itu kaya akan intelektual Islam dari masa ke masa.
Figur Syaikh Nur Jati Maulana Idhofi Mahdi serta Sunan Gunung Jati yang menjadi paku alam wilayah tersebut menjadi bukti konkret mengapa Tarekat Syattariyah tumbuh sangat kuat dan berpengaruh di sana. Keduanya merupakan pembawa risalah ajaran Syattariyah, tak terkecuali konsepsi mengenai martabat tujuh dan turunannya. Tak cukup sampai di situ, mayoritas penguasa dan bangsawan yang ada di Keraton Kasepuhan maupun Keraton Kanoman pun merupakan seorang pengamal Tarekat Syattariyah.
Bukan tanpa alasan, Ivan Sulistiana melalui kajian sosio-historis menemukan bahwa pendirian keraton Cirebon dipengaruhi oleh dua tokoh mursyid yang berpengaruh yaitu Pangeran Cakrabuana dan Sultan Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Lebih lanjut, dalam analisis sejarah perihal berdirinya keraton; pesantren; dan industri batik trusmi, Tarekat Syattariyah memiliki kontribusi yang sangat besar. Mursyid tarekat ternyata merupakan pelopor dari berdirinya ketiga institusi tersebut. Tak hanya itu, ajaran-ajaran yang dibawa oleh para tokoh musryid tarekat Syattariyah juga memiliki dampak yang bagus ketika diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendalaman akan ajaran martabat tujuh juga sampai ke kalangan bangsawan di daerah Yogyakarta maupun Surakarta yang saat itu disebut dengan daerah Mataraman. Salah seorang pujangga asal Surakarta yang bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita merupakan tokoh yang berjasa dalam membumikan serta mengembangkan ajaran martabat tujuh dalam bentuk yang universal dan bisa diterima oleh kalangan yang lebih luas.
Ia bersama Kiai Muhammad Santri (Eyang Santri) mendapatkan pengajaran serta pendidikan tentang hal ini dari Kiai Hasan Besari asal Ponorogo. Kelak, keduanya menerbitkan masing-masing karyanya yang menjadi mata rantai penting penyebaran ajaran martabat tujuh ke tokoh nasionalis dan founding fathers Indonesia.
Jika Ranggawarsita mengemasnya dalam karya sastra berbentuk prosa yang ia tuangkan dalam Serat Wirid Hidayat Jati, lain halnya dengan Eyang Santri yang memilih menuliskannya dalam penjelasan cukup sistematis dan terstruktur dalam Naskah Girijaya. Dua karya inilah yang menjadi dasar pengajaran masyarakat Jawa (baik dari golongan santri, priyayi, hingga abangan) untuk mengenal asal muasal kedirian sebagai manusia.
Martabat Tujuh dan Jalan Pengenalan Diri
Dalam bangunan teori mengenai ajaran martabat tujuh, martabat pertama disebut dengan Alam Ahadiyyah, yaitu alam kosong sebelum makhluk, sebab Allah tidak membutuhkan tempat. Di alam ini, Allah SWT mutlak sendiri, hanya Dzat semata, belum disertai sifat, dan belum mencipta apa pun dalam alam semesta.
Martabat kedua adalah Alam Wahdah, yaitu alam yang berkaitan dengan Dzat Allah yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai sifat Allah. Menurut para sufi, di alam inilah diciptakan Nur Muhammad yang menjadi prototipe dari segala ciptaan yang ada di alam semesta. Dikatakan juga bahwa manifestasi asma dan sifat Allah telah ada, namun baru dalam bentuk global.
Ketiga, ialah Alam Wahidiyyah. Pada martabat ini, Allah mulai mengadakan wujud yang lain tanpa memerlukan sarana. Melalui “Kun”, maka terjadilah semua keadaan di mana segala sesuatu mewujud tanpa simpang siur dan campur baur, serta tanpa kesalahan. Ketiga alam pertama disebut sebagai alam ketuhanan (martabat batin), karena semuanya masih berada pada pengetahuan yang belum termanifestasi ke dalam bentuk lahiriah.
Martabat keempat adalah Alam Arwah, dimana pada tahap ini nyawa (ruh) sudah ada namun belum menerima nasib, dan nyawa itu masih merupakan cahaya suci yang akan dijadikan awal kehidupan, sehingga disebut “nyawa rahmani”. Nyawa atau ruh ini terbuat dari cahaya yang merupakan esensi dari api, air, angin, dan tanah.
Selanjutnya, martabat kelima yaitu Alam Mitsal. Di martabat ini, “nyawa rahmani” telah memiliki bentuk jasmani dan menerima nasib serta ketentuan hidupnya. Pada martabat ini, nyawa-nyawa telah mempunyai peran sendiri-sendiri, sehingga muncullah istilah ‘nyawa nabati’, ‘nyawa hewani’, ‘nyawa jasmani’, dan ‘nyawa ruhani’. Alam dan apa yang ada di semesta ini adalah gambaran dari Alam Mitsal tersebut.
Martabat keenam adalah Alam Ajsam, yaitu keadaan di mana jasad halus yang diistilahkan ruhiyyah mulai mewujud dan kemudian siap menerima keberadaan pancaindra lahir dan batin. Jasad seperti ini disebut jasad halus yang telanjang.
Martabat ini menggambarkan ciptaan Allah yang telah tersusun rapi dan dapat dibagi-bagi atau telah menerima setiap susunan dan komposisinya, khususnya manusia. Sedangkan martabat ketujuh adalah Alam Insan Kamil. Pada martabat ini, Allah meniupkan nyawa yang diistilahkan dengan ruh idhafi ke dalam jasmani Adam. Dalam martabat ini, terkandung segala potensi ketuhanan yang telah terejawantah dalam derajat kemanusiaan.
Penjabaran mengenai makna martabat tujuh juga dielaborasi oleh Ranggawarsita dengan menghubungkannya ke dalam asal usul kejadian manusia. Dalam Alam Ahadiyyah, menurutnya, dipancangkan kehidupan yang bersumber dari syajaratul yaqin (pohon keyakinan/pohon kehidupan). Lalu, pada tataran Alam Wahdah diciptakan Nur Muhammad sebagai cetak biru penciptaan manusia dan alam semesta secara menyeluruh
Sedangkan, Alam Wahidiyyah meniscayakan terbentuknya cermin kehidupan (mir’atul haya’i). Selanjutnya, di Alam Arwah terbentuk roh idhafi (nyawa) yang kelak akan ditiupkan ke dalam diri setiap manusia. Setelah itu, barulah dilengkapi dengan lampu (kandil) pada Alam Mitsal, permata (dzarrah) pada Alam Ajsam, dan hijab pada Alam Insan Kamil.
Tak hanya itu, ajaran martabat tujuh juga berhubungan dengan tujuh unsur pokok penyusun diri manusia. Secara berurutan, ketujuh komponen tersebut antara lain atma, nur (cahaya), rahsa, roh atau sukma, nafsu, budi, dan jasad. Pengolahan akan tujuh unsur dalam diri tersebut perlu dilakukan agar manusia mampu meraih fitrahnya sebagai makhluk yang mulia.
Pendalaman akan ajaran martabat tujuh sejatinya berkaitan pula dengan tujuh tahapan perjalanan yang perlu ditempuh setiap orang untuk mengenal diri serta merasakan keintiman dengan Sang Pencipta. Siklus perjalanan itu dimulai dari syariat, tarekat, hakikat, ma’rifat, mukasyafah, musyahadah, dan mahabbah. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa siklus ini bersifat saling keterkaitan dan perlu dipadu padankan dalam kehidupan yang kita jalani.
Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, tujuan hidup manusia ialah berusaha untuk bersatu dengan Tuhan, yang mana hal itu bisa dicapai di dunia dengan melakukan riyadhah dan berdzikir. Akan tetapi, kesatuan kembali dengan Tuhan yang sempurna terjadi setelah manusia mengalami kematian. Karena itu, orang yang menghadapi masa ajal perlu sekali mengamalkan riyadhah.
Apabila tujuan riyadhah tercapai, manusia akan mengalami tujuh martabat penghayatan gaib, sehingga akhirnya mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan. Tujuh tingkat penghayatan gaib itu secara berurutan, meliputi penampakan alam ruhiyah (roh), alam siriyah (sir), alam nuriyah (nur) tingkat pertama, alam nuriyah (nur) tingkat kedua, alam uluhiyah (ilahiyah) tingkat pertama, alam uluhiyah tingkat kedua, dan alam uluhiyah tingkat ketiga.
Elaborasi lebih lanjut dari ajaran martabat tujuh juga tersambung dengan adanya tujuh jalur energi dalam anatomi tubuh manusia, yang mana jika jalur itu sirkulasinya berjalan dengan baik, maka hidup seseorang akan dianugerahi kebahagiaan dan keberlimpahan. Melalui aktivasi tujuh jalur energi itu pula, kita bisa mengaktifkan tujuh lapisan tubuh yang berkaitan dengan aspek spiritual manusia.
Pemahaman akan ajaran martabat tujuh dengan beragam derivasi turunannya pada akhirnya membawa kita untuk melakukan refleksi. Seberapa jauh kita telah mengenali diri yang di dalamnya terkandung rahasia agung Tuhan?
Di titik manakah kita baru tersadar bahwa kelahiran kita di dunia ini membawa misi utama justru agar kita bisa pulang dengan selamat ke hadirat Allah? Kabar baiknya, jika Anda masih belum memegang peta ataupun kompas untuk menempuh perjalanan itu, ajaran martabat tujuh menawarkan peta jalan yang bisa menjadi panduan Anda dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia.
Langkah paling awal dan mudah yang bisa dilakukan untuk menuju ke arah sana adalah dengan melatih diri untuk menjadi pribadi yang baik hatinya. Karena dengan kebaikan hati inilah kita tidak akan mudah menghakimi orang secara sembarangan. Kebaikan hati juga akan mewujud menjadi sebuah perangai untuk tetap berprasangka baik kepada orang lain, bahkan terhadap seseorang yang mungkin pernah menyakiti kita.
Hati yang baik atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut sebagai hati yang selamat (qalbun salim) itu akan mengantarkan kita untuk menghayati kehidupan sebagai ladang untuk beramal dan berbuat baik, sehingga fokus utama yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari ialah bagaimana kita bisa berkontribusi dan menebar manfaat sebanyak mungkin kepada orang lain dan alam sekitar.
Saat kita sudah mewakafkan diri kita untuk berguna bagi banyak orang, di situlah kemudian Allah akan menurunkan rahmat dan cinta kasih-Nya, sehingga kesan yang kemudian muncul adalah hidup kita seakan dipelihara oleh Dia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu apa kaitan hal ini dengan ajaran martabat tujuh?
Sebagaimana kita tahu bahwa perjalanan isra’ mi’raj Rasulullah dipungkasi dengan keputusan beliau untuk turun kembali ke muka bumi. Mengapa sang nabi tidak memilih untuk berdiam diri dan menikmati keintiman hubungan dengan Tuhan? Itulah hikmah dari isra’ mi’raj yang sesungguhnya.
Bahwa tingkat kesadaran tertinggi bukanlah menikmati karunia dan anugerah spiritual yang sifatnya personal, melainkan dengan mengaktualisasikannya agar berdampak secara sosial. Perjalanan untuk mengenal diri agar bisa disebut sebagai manusia paripurna (insan kamil) juga ditentukan oleh seberapa besar kadar kebermanfaatan kita bagi sesama manusia dan alam semesta raya.
Atribut insan kamil oleh karenanya tidak ditentukan oleh ketinggian intelektual atau kedalaman spiritual belaka, tetapi lebih jauh melibatkan penghayatan akan nilai kemanusiaan, sehingga pada tahap selanjutnya melahirkan kesadaran untuk peduli terhadap situasi dan kondisi lingkunan sekitar melalui aksi-aksi konkret yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
Landasan mengenai pentingnya hal ini bisa kita temukan dalam wasiat Nabi Muhammad yang kurang lebih berbunyi khoirunnas anfauhum linnas. Yakni preferensi untuk menentukan manusia terbaik bukanlah dari siapa yang paling pintar atau jenius, siapa yang paling kaya, siapa yang paling banyak beribadah, dan segenap keunggulan personal lainnya. Melainkan dilihat dari seberapa bessar manfaat yang ia berikan kepada orang lain.
Ajaran serupa juga bisa kita hayati dari falsafah kebudayaan Jawa dan Sunda. Dalam pranata sosial kemasyarakatan Jawa, satu prinsip hidup yang cukup masyhur: memayu hayuning bawana. Falsafah ini mengajak setiap manusia untuk membangun kesejahteraan di dunia dengan cara menegakkan kebajikan, kebenaran, dan keadilan sebagai tiga pilar pentingnya.
Elaborasi lebih lanjut dari falsafah memayu hayuning bawana akan sampai pada kesimpulan bahwa ia berisikan satu konsep kesadaran kontemplatif yang ditandai dengan pentingnya penyelarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam tasawuf, ia berhubungan dengan harmonisasi hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Tak hanya itu, manusia Jawa juga akrab dengan filosofi yang berbunyi urip iku urup. Makna dari kalimat ini adalah bagaimana hidup yang kita jalani bisa memberikan suluh penerang bagi orang lain melalui kontribusi yang kita berikan sesuai dengan peran-peran kehidupan yang kita emban, mulai dari lingkup keluarga, tempat bekerja, masyarakat, dan seterusnya.
Sementara itu, dalam tradisi kebudayaan Sunda terdapat konsep hidup bernama silih asah, silih asih, silih asuh. Trilogi prinsip ini secara umum mendorong setiap manusia Sunda untuk saling mencerdaskan dan berbagi pengetahuan satu sama lain (belajar), saling mengasihi dengan kebeningan hati (peduli), dan saling membimbing, mengayomi, menjaga, mengarahkan dengan seksama agar selamat lahir dan batin (menyayangi).
Dengan jalan inilah seseorang bisa menjalani kehidupan sesuai fitrah penciptaan manusia untuk menjadi pribadi yang bahagia, sukses, sehat, berkah, mulia dan sejahtera. Semua itu tentu perlu ditempuh dengan cara mengolah diri dan jernihkan hati sebagai wasilah untuk menyempurnakan takdir Ilahi.
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa ajaran martabat tujuh bukan sekadar konsepsi filosofis belaka, namun ia juga bisa diterjemahkan sebagai aplikasi dan terapan untuk peta jalan mengenal diri lebih dalam, yang mana hal ini tentu akan menjadi modal berharga bagi kita untuk menjalani kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya cara.