Sebelum melanjutkan pembasan dalam tulisan ini, ada satu hal yang perlu dicatat dengan serius. Dalam kehidupan ini, kita mesti berusaha menjadi pribadi yang tahu diri untuk selalu bersyukur. Perlu dipahami bahwa kata selalu itu mutlaknya hanya digunakan untuk mengungkapkan rasa syukur.
Di luar itu (baca: bersyukur), tidak ada yang patut dikaitkan dengan kata selalu, karena kehidupan ini berubah, dan keabadian itu adalah perubahan. Mulai dari waktu, kesadaran, aliran air, hingga pikiran. Semua itu tidak ada yang bersifat tetap, tetapi justru semuanya itu berubah.
Pada tulisan kali ini, saya akan mengulas tentang beberapa penyesalan terbesar yang dialami manusia menjelang kematiannya. Andaikata kita tidak mengalami penyesalan ini menjelang kematian, maka artinya berada dalam keadaan bahagia.
Menjelang ajal, kita akan memasuki sebuah lorong yang memiliki dua cabang, yakni lorong kegelapan dan lorong cahaya. Lorong kegelapan merupakan jalur yang dipilih oleh mereka yang mengalami penyesalan, sedangkan lorong penuh cahaya akan dipilih oleh mereka yang tidak mengalami penyesalan menjelang kematian.
Ada satu istilah dalam agama Islam yang bernama kun fayakun. Maknanya ialah bahwa saat Tuhan ingin mencipta, maka ia mengatakan jadilah, maka jadilah segala sesuatu yang ingin diciptakan-Nya. Pertanyaannya adalah apakah kun fayakun itu berada dalam dimensi masa lalu, masa sekarang, atau masa datang?
Jawaban yang mungkin akan membuat Anda merasa kaget ialah bahwasanya kun fayakun itu sudah ada dan tidak akan pernah berubah. Tuhan menciptakan apa pun dari kun fayakun itu. Proses penciptaan ini terjadi dalam waktu yang begitu singkat dan seringkali dalam proses yang tidak terbayangkan oleh manusia.
Sebagai contoh, saat kita merasa sulit rezeki dalam kehidupan yang sedang kita jalani, boleh jadi bukan usaha atau ikhitarnya yang kurang keras. Akan tetapi, kita tidak masuk dan berada dalam vibrasi rezeki sehingga ia terkesan susah untuk datang.
Sebaliknya, saat kita berada dalam vibrasi rezeki, maka ia akan datang dengan begitu mudahnya, bahkan tanpa kita mengejarnya hingga membabi buta. Kalau kita masuk ke area cintanya Allah, maka kun fayakun itu bisa menjadi sebuah kemungkinan yang kita bisa alami dalam kehidupan.
Kembali ke pokok bahasan utama mengenai penyesalan terbesar manusia menjelang kematiannya, ada modal penting yang bisa kita lakukan mulai hari ini, yakni kita tidak boleh merasa denial (penyangkalan) terhadap apa yang terjadi. Jangan pernah berkonflik dengan alam, karena ini akan membuat hidup kita tidak selaras.
Penyesalan ini biasanya berkaitan dengan inti perubahan (core of transformation). Kalau kita tidak memahami hal ini, maka kita tidak akan bisa berubah. Banyak orang yang terlihat kaya secara materi, namun mereka sebenarnya berada di jalur yang sengsara.
Ada tiga hal penting yang bisa disebut sebagai pokok dasar. Ia merupakan pokok kebahagiaan, kemuliaan, kesuksesan. Atau sebaliknya, ia juga bisa berlaku sebagai pokok penderitaan, masalah yang tak kunjung selesai, dan sebagainya.
Ketika menjelang dicabut nyawanya, akan terbayang tiga penyesalan oleh setiap manusia. Pertama, ia berkaitan dengan masalah cinta. Kedua, segala sesuatu yang berhubungan dengan kasih sayang. Ketiga, ialah soal rasa syukur. Tiga hal di atas berkait erat dengan kezaliman terhadap diri sendiri.
Kezaliman terhadap diri sendiri itu sebagaimana pernah saya ulas dalam seri tulisan sebelumnya biasanya berkaitan dengan isi piring, isi gelas, isi dada, isi pikiran, dan isi rumah kita.
Selain itu, faktor terbesar yang menjadi sebab kita menzalimi diri sendiri ialah rasa penyangkalan (denial). Penyangkalan itu biang kerok utama atas hidup kita yang penuh penderitaan. Tak sampai di situ, faktor yang juga membuat kita gagal, bermasalah, dan sebagainya itu adalah karena kita tidak mencintai diri (zalim terhadap diri).
Aspek cinta ini bukan hanya terbatas kepada diri sendiri. Akan tetapi, ia juga memiliki dimensi yang luas, sehingga faktor penyesalan manusia menjelang kematiannya itu mulai dari tidak mencintai diri, tidak mencintai masalah, tidak mencintai siapa pun, dan satu yang sering diabaikan ialah tidak mencintai kehidupan.
Untuk itu, kita perlu melatih sikap berterima kasih kepada masalah, karena dengan masalah itu sebenarnya kita menjadi sadar atas apa dan bagaimana kehidupan ini berjalan. Jika ditarik lebih lanjut, kesadaran ini (khususnya kesadaran terkait cinta, welas asih, dan syukur) memiliki nilai yang lebih besar dibanding ritual sehari-hari kita.
Di sisi lain, rasa iri dengki, menyangkal (denial), tidak ikhlas, atau marah berkepanjangan membuat sel menjerit dan ini bagian dari menzalimi diri sendiri yang akan menjadi sumber penderitaan kita. Kelak, hal-hal inilah yang akan membuat kita menyesal menjelang kematian.
Sikap tidak berwelas asih dan mencintai apa dan siapa pun juga menjadi faktor besar penyesalan yang akan kita dapatkan menjelang kematian. Pun demikian halnya dengan rasa kuurang bersyukur, padahal kita berada dalam samudra nikmat Tuhan setiap harinya. Untuk itu, hal yang perlu terus kita latih ialah otot syukur.
Cinta, welas asih, dan syukur itu karakteristiknya dingin. Jiwa itu dingin. Karakteristik rezeki itu juga dingin. Oleh karena itu, tidak pantas sebenarnya manusia mencari rezeki, apalagi sampai mengejar-ngejarnya sedemikian rupa sehingga membuat kita lupa akan fitrah diri kita.
Fitrah kita itu penarik kebahagiaan, penarik rezeki, dan sebagainya. Ibaratnya seperti kita mengejar kupu-kupu. Jka kita ingin kupu-kupu datang, maka yang perlu kita lakukan bukan dengan mengejarnya sejauh mungkin, melainkan dengan mencipatakan taman bunga yang penuh keindahan sehingga kupu-kupu itu akan hinggap dan datang ke taman bunga yang telah kita buat.
Penulis: Indra Hanjaya - Chairman
