Jika boleh berbicara secara jujur, barangkali mayoritas manusia saat ini merasakan sebuah kondisi di mana mereka memiliki beban hidup yang begitu berat di pundaknya. Tak cukup sampai di situ, alarm kehidupan pun menyala di segala sisinya, dari urusan yang bersifat spiritual, emosional, hingga finansial.
Belum lagi, daftar keinginan kita yang berderet-deret itu. Sepertinya kita memang perlu berkaca diri sambil merenungi arti semua itu. Mengapa hingga detik ini kita masih belum diberi kecukupan oleh Tuhan? Mengapa hidup yang bahagia dan berkelimpahan itu tak kunjung bisa kita nikmati di usia yang terus bertambah setiap hari?
Terhadap situasi kehidupan sebagaimana tersebut di atas, ada satu kata kunci yang harus kita pegang dan jadikan pedoman, yakni totalitas dalam taubat. Boleh jadi dosa yang menjulang setinggi gunung itu menjadi salah satu sebab dari kehidupan yang kita jalani hari ini.
Proses taubat ini dalam dunia tarekat (ordo tasawuf) disebut dengan takhalli, yakni membersihkan diri dari dorongan-dorongan primitif yang destruktif pada jiwa. Dalam proses perjalanannya, takhalli dalam tarekat itu berlangsung seumur hidup dan pendakiannya pun ditempuh selama puluhan tahun.
Hal ini dikarenakan manusia cenderung lalai dan lupa, sehingga setelah proses taubat dilakukan dengan serius, tak jarang seseorang kembali terjerembab ke dalam lubang kesalahan yang sama dan berulang.
Apalagi jika kita sudah terpenjara oleh diri kita sendiri. Yang dimaksud terpenjara di sini bukanlah penjara fisik dengan jeruji besi yang begitu rapat, melainkan penjara pikiran, penjara jiwa, hingga penjara kesadaran yang membelenggu diri kita setiap hari.
Rasa takut, benci, dendam, marah, dan sifat sejenis itu juga berpengaruh buruk dan menjadi salah satu penjara tak tampak yang mengekang kita. Hal yang harus kita sadari ialah bahwa penjara semacam ini lebih menyiksa dibanding penjara fisik.
Orang yang pernah mendekam di penjara fisik masih sangat lebih besar kemungkinannya untuk mendapat pencerahan dan hidayah daripada mereka yang mengalami keterpenjaraan pikiran yang begitu dahsyat dan berdampak buruk dalam hidupnya.
Saat kita terpenjara oleh pikiran kita, maka yang terjadi adalah kita merasakan kegaduhan dan keramaian dalam diri kita, sehingga kita melupakan keheningan yang sebenarnya memiliki posisi penting untuk mengantarkan kita menjadi pribadi yang bening hatinya.
Dampaknya, kesadaran ketuhanan pun cenderung kita abaikan. Padahal, kesadaran ketuhanan merupakan aspek kunci yang harus diintegrasikan dengan kesadaran kemanusiaan agar tercapai kondisi ma'rifat oleh manusia dalam hidupnya.
Untuk itu, kita perlu mencari jalan keluar dari penjara pikiran dan penjara-penjara lain yang mengekang diri kita. Menempuh jalan untuk menjadi manusia yang merdeka. Kabarnya, hanya ada satu jalan untuk keluar dari sana, yakni dengan mengubah diri kita. Mengubah sistem keyakinan, pemahaman, atau hal-hal yang kurang tepat dalam diri kita.
Dan perlu diketahui bahwa untuk mengubah diri kita, tidak ada jalan lain kecuali dengan proses takhalli (pembersihan diri). Inilah proses yang dilakukan dari haji ke haji, atau dari umrah ke umrah. Termasuk pula saat kita menghadiri majelis taklim dan ilmu. Hakikatnya itu bertujuan untuk menggugurkan dosa kita yang terus bertambah setiap hari.
Dengan jalan takhalli itulah pada nantinya kita bisa menjalani hidup ini sebagai perayaan kebahagiaan dan kesyukuran terhadap Tuhan yang Menguasai Zat Seluruh Alam. Bahagia secara utuh dan syukur secara penuh itu akan kita rasakan ketika racun, kotoran, dan sampah yang ada dalam diri kita telah kita lepaskan dengan penuh keikhlasan.
Pada titik tertentu, bahkan kita akan merasakan kondisi di mana kita akan menangis karena rasa bahagia, bukan tangisan yang disebabkan oleh rasa menderita, perasaan benci terhadap orang lain, atau hal-hal lainnya.
Garis kehidupan ini telah membentangkan dua model utamanya, yakni hidup yang diperjalankan dan hidup yang diberi pilihan. Yang pertama disebut sebagai takdir musayyar dengan persentase sebesar 10 persen. Sedangkan yang kedua disebut dengan takdir mukhayyar dengan persentase sebesar 90 persen.
Pertanyaan yang kemudian harus kita jawab adalah bagaimana dengan keterpenjaraan pikiran? Apakah dia sesuatu yang terus menetap, atau kita bisa mengubah keadaannya? Jika Anda sudah memutuskan, maka sadari bahwa Anda tidak sendirian untuk berjuang keluar dari penjara pikiran. Libatkan Tuhan sebagai manajer, dan kelilingi diri Anda dengan orang-orang yang menghargai dan mendukung pilihan hidup Anda.
Penulis: Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute