Pada hari Sabtu, 08 September 2022, program Suluh Nusantara persembahan Panca Olah Institute kembali berlanjut. Pada edisi kesepuluh, tokoh Nusantara yang menjadi objek pembahasan ialah seorang figur pendidik perempuan dari tanah Pasundan, yakni Raden Dewi Sartika.
Acara yang digelar secara daring ini dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai daerah yang tersebar di Indonesia. Mengawali agenda tersebut, semua peserta yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama.
Sesuai dengan visinya, Suluh Nusantara sebagai bagian dari program Panca Olah Institute bertujuan untuk menggali khazanah pemikiran, ajaran, serta gerakan dari para tokoh Nusantara untuk mencegah amnesia historis serta pengaburan sejarah yang selama ini cukup sering terjadi dalam narasi sejarah yang beredar di kalangan masyarakat luas.
Coach Indra Hanjaya dalam sambutannya sebagai Founder Panca Olah Institute menjelaskan bahwa Suluh Nusantara adalah ikhtiar untuk menyalakan perjuangan Raden Dewi Sartika dan juga tokoh-tokoh Nusantara lain yang selama ini lebih sering bersembunyi dan tidak muncul ke permukaan.
Kenny Dewi Krisdiany Harahap, M.M. hadir sebagai narasumber utama yang membersamai jalannya diskusi mengenai Dewi Sartika. Sosok yang juga merupakan cicit dari Dewi Sartika itu mengawali paparannya dengan mengungkapkan bahwa menjadi sebuah bangsa bukanlah tentang menyombongkan harta warisan dari generasi sebelumnya, melainkan pekerjaan yang tiada henti ke depannya.
Mengutip perkataan Dewi Sartika: "Hanya dengan pendidikan kita akan tumbuh menjadi suatu bangsa." Dari sini, pendidikan bisa dibilang merupakan instrumen penting nan krusial (jika tidak boleh dibilang satu-satunya alat) untuk mewujudkan masa depan kualitas manusia Indonesia yang lebih baik.
Sebagai seorang keturunan bangsawan (menak), Dewi Sartika memiliki kesempatan untuk bersekolah di Eerste Klasse School hingga ia kelas 3 saat berusia 10 tahun. Saat kedua orang tuanya diasingkan ke Ternate, Dewi Sartika tinggal bersama pamannya yang kebetulan seorang Patih Cicalengka. Di sana ia diperlakukan layaknya abdi dalem dan belajar banyak hal.
Saat ibunya telah kembali ke Bandung, Dewi Sartika pun kembali tinggal bersama ibunya, sementara ayahnya sudah wafat. Pada usia 18 tahun, ia telah memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan di sekitar lingkungannya, khususnya sanak keluarganya.
"Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Dewi Sartika tak serta-merta menjadi acuh terhadap keadaan rakyat kecil. Dalam kesehariannya, ia justru sering gundah dan memikirkan bagaimana nasib rakyat kecil yang bukan keturunan menak (bangsawan)," ujar Kenny Dewi.
Merespons kegelisahan tersebut, Dewi Sartika kemudian menginisiasi sebuah sekolah bernama Sakola Istri (yang kelak berubah nama menjadi Sakola Kaoetamaan Istri hingga hari ini). Awalnya kegiatan pengajaran itu dilakukan di rumahnya. Namun, hal ini kemudian tercium oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda, C. Den. Hammer.
Saat meninjau langsung praktik pengajaran yang dilakukan oleh Dewi Sartika, kecurigaan oleh Hammer itu justru berbalik menjadi rasa simpati dan peduli, karena ia menganggap orang yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan perempuan, maka itulah orang yang memahami peningkatan peradaban sebuah bangsa.
Atas dasar itu, Hammer kemudian membantu Dewi Sartika untuk meminta dukungan Bupati Bandung saat itu, Raden Martanegara. Tak lama setelah itu, pada tanggal 16 Januari 1904 berdirilah secara resmi sekolah yang bernama Sakola Istri.
Kenny Dewi kemudian menjelaskan bagaimana pandangan Dewi Sartika mengenai pengajaran, yang mana pengajaran dimaknai sebagai pemahaman atau saran untuk berbenah, memperbaiki, dan memajukan segala hal perkara.
Perempuan yang juga merupakan Ketua Yayasan Ahli Waris Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika dan Raden Agah Kanduruan Soeriawinata (AWIKA) itu juga mengungkapkan bagaimana metode pendidikan yang digunakan dan diimplementasikan oleh Dewi Sartika.
"Pertama, ialah pendidikan ke dalam diri yang mana di tahap itu kita mengenal dan menyadari keberadaan diri sebagai seorang individu. Setelah itu, seseorang menaruh perhatian dan mengamati apa yang ada dan terjadi di sekelilingnya. Barulah kemudian ia melakukan refleksi dan berpikir mengenai apa yang dapat dilakukan, sehingga kemudian lahir tindakan nyata yang dilakukan, bukan hanya sebatas gagasan," ungkap Founder Jagad Alit Waldorf Play dan Kinder tersebut.
Tak hanya itu, Dewi Sartika juga menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, melainkan juga dimensi emosional, spiritual, fisikal, dan karya nyata.
Dewi Sartika menggunakan kearifan lokal yang menjadi filosofi pendidikannya, yakni pertemuan dan terpenuhinya aspek cageur (sehat jasmani dan rohani), bageur (baik, menjunjung akhlak mulia pada sesama), pinter (pintar, ilmu yang mengantarkan pada kebaikan).
Padanan lain dari filosofi pendidikan khas Sunda ialah tetralogi nyantri, nyunda, nyakola, dan nyantika yang mengedepankan pentingnya integrasi antara ketaatan beragama, berpendidikan secara baik, memahami budaya tempat ia lahir dan dibesarkan, serta mengetahui dan mengamalkan etika serta tata krama dalam interaksi sosial di masyarakat.
Jauh sebelum gaung gerakan feminisme yang mendorong tiap perempuan untuk mandiri di era sekarang, Dewi Sartika telah menyuarakan mengenai hal ini, bahkan membawanya pada aksi konkret dengan mendirikan sekolah pendidikan khusus kaum perempuan yang bertujuan mendidik mereka menjadi perempuan yang mandiri dan bisa segalanya (ari awewe kudu sagala bisa).
Saya ingin menanamkan kepada perempuan bumi putera, sebagai perempuan mereka harus bisa segala-gala. Agar mereka punya rasa percaya diri terhadap kemampuannya dan tidak melulu bergantung kepada suami, apalagi kepada belas kasihan orang lain
- Raden Dewi Sartika
Sepanjang hidupnya, Dewi Sartika melahirkan dua karya tulis berjudul Kaoetamaan Istri dan Perempuan Boemipoetra yang banyak berisikan pandangan dan refleksinya mengenai pendidikan.
Atas kontribusi dan jasanya, Dewi Sartika dianugerahi gelar Orde van Oranje Nassau oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal 1 Desember 1966, ia juga mendapat penghargaan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Ir. Soekarno.