Membahas tentang pencuci hati,
Secara umum, kita sibuk mencuci dan membersihkan badan fisik kita setiap harinya, namun kita lupa dengan esensi diri kita, khususnya dalam menjaga dan merawat hati. Tak heran kemudian jika yang terjadi ialah hari ini kita melihat orang berbondong-bondong ingin memperbaiki fisik, namun sangat jarang orang ingin membenahi hati.
Fisik manusia bisa dengan mudah dicuci dengan air bersih. Akan tetapi, jiwa dan hati tidak bisa sembuh begitu saja dengan puasa atau beragam ibadah ritual yang kita kerjakan. Ia hanya bisa sembuh dengan memperhatikan hal-hal yang bisa mencuci hatinya dengan jernih.
Berbicara tentang hati, jiwa, dan ruhani itu tidak sejatinya tidak pernah sesederhana itu. Banyak hal yang tidak bisa dibersihkan dengan apa pun, tetapi ini berdampak yang luar biasa. Salah satu yang bisa menyucikan hati itu adalah tenaga dalamnya para kekasih Allah, para nabi dan rasul Allah.
Tenaga dalam para kekasih Allah yang saya maksud di atas ialah cinta, welas asih, dan rasa syukur. Ketiga hal ini menjadi aspek penting yang perlu diasah setiap hari agar kita memiliki hati yang lebih bersih dan jiwa yang ranum.
Alkisah, seorang kekasih-Nya mendapat teguran langsung dari Allah karena ia disebut banyak gaya. Padahal dalam perspektif syariat apa yang disebut gaya itu sebenarnya hal yang baik dan dianjurkan dalam agama, namun dalam perspektif tauhid yang lebih tinggi ternyata hal-hal tersebut justru tidak baik.
Hal ini misalnya tercermin dalam ibadah haji dan umrah. Saat ini, banyak manusia berlomba untuk menginjakkan kakinya di tanah suci dengan tujuan agar mendapatkan gelar haji dan dihormati di lingkungan sekitarnya. Padahal, esensi haji tidak terletak di situ.
Rasulullah tidak pernah pergi berhaji dalam keadaan genting. Ia selalu mengutamakan kepentingan umatnya terlebih dahulu di atas kepentingan pribadinya. Artinya, pengorbanan untuk hal yang lebih maslahat menjadi pertimbangan utama daripada memenuhi ego diri.
Terkait esensi ibadah haji yang kemudian juga menjadi landasan bagi ibadah kurban, sebetulnya agama itu mengajarkan soal taslim (pengorbanan atau penyerahan). Semua hal dari ajaran agama mengarahkan ke taslim. Berkaitan dengan kurban, figur yang terkait di dalamnya ialah Nabi Ismail, Nabi Ibrahim, dan Siti Hajar.
Sebagaimana diketahui bahwa Siti Hajar mengandung dan melahirkan anak dalam keadaan yang sudah tua. Pun demikian, Nabi Ismail merupakan figur yang disayangi oleh orang tuanya. Setelah sang anak lahir, ia mendapatkan perintah dari Allah untuk meninggalkan anaknya.
Padahal, sang anak ketika itu berada dalam keadaan haus di tengah padang gersang. Siti Hajar pun menanyakan apakah meninggalkan anak dan istri itu benar-benar perintah dari Allah. Nabi Ibrahim pun tak kuasa menahan air mata melihat keadaan istri dan anaknya. Akan tetapi, dengan keikhlasan dan kepasrahannya, Siti Hajar mempersilakan suaminya untuk pergi menunaikan panggilan dari-Nya.
Setelah delapan tahun terpisah, barulah Nabi Ibrahim kembali bertemu dengan Siti Hajar dan Ismail. Tak lama berselang dari pertemuan itu, Nabi Ibrahim kemudian mendapatkan perintah lanjutan untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Bisa dibayangkan betapa rangkaian peristiwa ini mengajarkan rasa berserah diri yang begitu tinggi dan dalam.
Oleh karena itu, untuk menghadapi kehidupan ini, yang kita perlukan bukan lagi jurus (misal: ilmu, pendidikan, harta, jabatan, dan sebagainya), tetapi yang lebih penting ialah tenaga dalam. Seribu jurus bisa kalah oleh satu tenaga dalam. Allah pun tidak bisa didekati dengan jurus, melainkan melalui tenaga dalam sebagaimana saya sampaikan di atas, yakni cinta, welas asih, dan rasa syukur.
Hal itu juga perlu disertai dengan keberserahan diri sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim dalam proses ketika ia memenuhi perintah-Nya. Kekuatan berserah itu luar biasa. Saat kita berhaji atau umrah dan berebut untuk mencium hajar aswad, misalnya, maka yang terasa justru kelelahan dan banayk tuntutan.
Akan tetapi, saat kita memilih untuk berserah diri secara total, maka yang terjadi ialah barangkali kita bisa menyentuh hajar aswad dengan mudah. Esensi dari haji dan umrah ialah kepasrahan diri (taslim) secara utuh.
Ketika kita taslim (berserah) dan tidak banyak tuntutan yang kita beri, maka akan ada energi yang terbentuk dari situ. Energi terbesar dari rasa berserah diri itu akan mengarah ke hati, yang mana hal itu bisa menjadi sarana untuk mencuci dan membersihkan hati kita.
Mengenai tenaga dalam para kekasih Allah yang pertama, yakni cinta, manusia sering kali salah mengartikan akan hal ini. Mereka menganggap cinta harus saling berbalas secara aktif. Padahal esensi cinta yang sejati ialah tidak adanya rasa pamrih dalam prosesnya.
Mencintai orang lain tidak sama dengan menuntut orang tersebut untuk balik mencintai kita. Di situlah makna kehadiran cinta yang sebenarnya. Hal ini juga berkaitan dengan tenaga dalam selanjutnya, yakni rasa welas asih.
Sikap welas asih kita sebagai manusia dapat dilatih dengan mendoakan orang lain secara kontinyu tiap harinya. Baik pedagang yang kita lihat saat berada di jalanan, anak yang sedang berangkat ke sekolah, atau petugas kebersihan yang menyapu jalanan.
Siapa pun yang kita temui dan di mana pun kita berada, setiap saat kita bisa mendoakan mereka. Hal itulah yang akan melatih sikap welas asih dalam diri kita, karena welas asih tidak mengenal batas. Ia bisa dilakukan kepada siapa saja tanpa melihat kepercayaan dan keyakinan orang lain.
Terakhir, namun tak kalah pentingnya, ialah saat di mana sel dan DNA kita merasa bahagia terhadap diri kita. Rasa bahagia itu muncul dengan kesyukuran yang kita ekspresikan dalam laku lampah kehidupan sehari-hari yang memperhatikan isi gelas, isi piring, isi kepala, isi dada, dan isi piring kita.
Rasa syukur itu menjadi daya dorong yang kuat bagi kita, karena Allah pun berkata bahwa dia akan menambahkan anugerah bagi mereka yang bersyukur. Cinta, welas asih, dan rasa syukur itulah yang bisa menjadi tenaga dalam untuk modal penting dalam menjalani kehidupan ke depan, terlepas apa saja yang kita hadapi nantinya.