Muhasabah Diri Menuju Pribadi yang Harmoni

RABU, 6 JULI, 2022

Muhasabah Diri Menuju Pribadi yang Harmoni

Perjalanan kehidupan setiap orang meniscayakan adanya saat di mana ia berada di titik tertinggi maupun terendah dalam hidupnya. Dua hal itu merupakan realitas hidup yang harus dihadapi dan dimaknai, sehingga atas dasar itulah kemudian muhasabah atau introspeksi diri diperlukan di sepanjang hari yang kita lalui.

Dalam sistem penanggalan kalender Hijriah misalnya, terdapat satu bulan yang tepat digunakan untuk melakukan muhasabah diri. Bulan itu ialah Dzulhijjah atau bulan terakhir dari keseluruhan bulan yang ada dalam sistem kalender Hijriah.

Dua peristiwa besar berupa ibadah haji dan kurban yang terletak di bulan ini setidaknya bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita tentang makna hidup sebagai manusia. Haji ialah tentang meninggalkan keakuan dan kedirian kita untuk menghadap kepada Sang Pencipta dalam keadaan sebagai hamba, tanpa membawa embel-embel status sosial dan pangkat jabatan yang fana.

Sedangkan ibadah kurban yang jatuh setiap tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah sendiri bisa dimaknai sebagai perlunya penebusan atas hutang-hutang kehidupan yang selama ini sering kali tidak kita sadari.

Berbagai karunia yang kita terima setiap harinya sering kali kita lupa untuk melunasinya. Padahal di dalam undang-undang spiritual, hidup kita harus ditebus dan dilunasi hutang-hutang spiritualnya.

Peristiwa Ibrahim yang dengan ikhlas mengorbankan Ismail juga merupakan salah satu contoh bagaimana seseorang melepaskan kemelekatannya dengan segala hal selain Allah Swt, termasuk dengan orang-orang yang paling disayanginya sekalipun.

Di titik tertentu, ia juga bisa diartikan sebagai pengejawantahan dari ujian ketauhidan yang mau tidak mau harus kita terima dan lewati. Satu riwayat cerita mengenai hal ini bisa kita lihat dari apa yang dilakukan oleh Syaikh Jangkung ketika ia mendapat ujian dari gurunya, Sunan Kalijaga.

Alkisah, pada satu hari Sunan Kalijaga ingin menguji tingkat ketauhidan muridnya setelah dalam waktu yang lama mereka telah dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai apa itu ketauhidan. Masing-masing murid diperintahkan untuk praktik secara langsung.

Saat mendengar instruksi tersebut, bergegas para murid Sunan Kalijaga mengambil sikap untuk melakukan meditasi, riyadhah, dan sejenisnya. Namun tidak dengan Syaikh Jangkung. Sosok yang dijuluki murid paling terbelakang dari sekian banyak murid Sunan Kalijaga itu justru memanjat naik ke pohon kelapa.

Setelah menggapai puncak pohon kelapa yang tinggi itu, Syaikh Jangkung kemudian menjatuhkan dirinya ke bawah tanah. Setibanya di bawah, ditemukan bahwa Syaikh Jangkung tetap dalam kondisi sehat dan tidak terluka atau meninggal.

Saat ditanya kenapa dia melakukan perbuatan itu, dengan entengnya Syaikh Jangkung menjawab bahwa ia hanyalah orang awam yang ingin menguji keyakinan akan ketauhidannya dengan menjatuhkan diri dari pohon kelapa.

Apa yang dicontohkan oleh Syaikh Jangkung di atas sejatinya memberi pelajaran yang begitu besar dan bermakna bagi kita. Bahwa tanpa disertai keyakinan, bahkan ketauhidan itu menjadi semu sifatnya.

Oleh karena itu, menjadi penting kemudian memupuk keyakinan yang teguh di atas ketauhidan yang telah kita pelajari dari para guru yang telah membimbing kita dalam menempuh jalan spiritual yang unik bagi tiap orang.

Dengan melunasi hutang-hutang spiritual serta melewati ujian kehidupan yang terbentang di hadapan kita dengan bertirakat secara konsisten dan kontinyu, barulah kemudian kita akan mendapatkan pencapaian yang layak.

Jika boleh diukur, alat pembayaran tertinggi di alam ini untuk mempertukarkan impian-impian kita ialah dengan jalan tirakat. Hal ini dikarenakan pencapaian sebesar dan setinggi apa pun itu harus melalui tirakat.

Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa saat kita membuat impian, merancang target, dan menetapkan cita-cita dalam hidup kita, maka pada saat yang sama kita juga harus menyadari ada hal yang harus menjadi tebusannya untuk dipertukarkan.

Satu contoh kecil, antara sakit dan kesaktian itu merupakan satu paket, sehingga jika seseorang ingin menjadi sakti dan kuat, maka sudah barang tentu ia harus merasakan dan melewati rasa sakit yang menjadi konsekuensi untuk mendapatkan karunia berupa kesaktian.

Meskipun demikian, satu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menjalani kehidupan ini ialah premis dasar berupa hukum tarik menarik layaknya sebuah magnet. Hakikatnya, manusia merupakan magnet bagi dunia. Jika diri kita layak, maka dunia (baca: aspek material/finansial) akan mengikuti kita.

Sampai sini, pembenahan diri menjadi prasyarat utama untuk melayakkan wadah berupa diri kita pribadi. Perbaikan diri ini dalam dunia spiritual Islam disebut dengan takhalli.

Melalui panduan dari guru pembimbing, seseorang akan diarahkan bagaimana cara berbenah diri yang baik dan tepat, sehingga wadah berupa badan wadag kita dinyatakan layak dan siap untuk menerima rahmat dan karunia yang agung dan melimpah dari-Nya.

Tak lupa, di samping melakukan pembenahan diri dan menebus serta melunasi hutang kehidupan yang kita miliki, satu hal yang juga mesti kita rawat dan upayakan ialah dengan memperluas otot syukur kita.

Dalam salah satu riwayat, disebutkan bahwa doa yang paling afdal dan utama ialah dengan bersyukur. Dengan mensyukuri berbagai nikmat yang kita terima dalam kehidupan sehari-hari, hal itu juga akan membantu elevasi kesadaran kita sebagai hamba Tuhan yang lemah dan tidak berdaya di hadapan-Nya.

Proses bersyukur di sini juga termasuk upaya kita untuk berdamai dengan diri sendiri. Aspek ini penting karena salah satu indikator dari orang yang paling sejahtera di sisi Allah ialah orang yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri.


Leave a Reply