Gelaran program Suluh Nusantara 2024 berlanjut pada Kamis, 24 Oktober 2024. Pada pertemuan ketiga ini, tema yang disorot ialah mengenai Pendidikan Nusantara bersama Assoc. Prof. Dr. Aji Dedi Mulawarman, Ketua Dewan Pembina Yayasan Peneleh Jang Oetama sekaligus Dosen di Universitas Brawijaya.
Masih dalam rangkaian tajuk Kebangkitan Peradaban Nusantara yang diangkat sebagai tema utama Suluh Nusantara tahun 2024, pendidikan tentu menjadi aspek kunci yang tidak bisa dikesampingkan. Hal ini berkaitan dengan apa dan bagaimana paradigma manusia dalam berpikir, yang mana dari paradigma itulah kemudian terbentuk sebuah sistem kepercayaan dan nilai dalam diri seseorang untuk mengarungi samudera kehidupan.
Sebelum memasuki sesi inti pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.
Dalam sambutannyanya, Coach Sri Herlina selaku Direktur Utama Panca Olah Institute menyampaikan rasa terima kasih kepada Pak Aji yang telah berkenan membersamai program ini. Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan bahwa di tengah gempuran berbagai kurikulum internasional yang menjadi tren di masyarakat hari ini (seperti Cambridge, Finlandia, dan sebagainya), sudah saatnya kita menegok kembali kurikulum otentik Nusantara yang juga tidak kalah dengan beragam kurikulum lainnya.
Selanjutnya, Coach Indra Hanjaya sebagai Founder dari Panca Olah Institute juga memberikan keynote speech sebelum sesi pembahasan dimulai. Ia mengawali dari keresahan yang saat ini terjadi di banyak lapisan masyarakat, terutama berkaitan dengan kebingungan mengenai jati dirinya sebagai manusia yang lahir di Indonesia. Untuk itu, penggalian mengenai hal itu menjadi suatu hal yang penting.
Ia juga menambahkan bahwa Suluh Nusantara yang telah berjalan hingga tahun ketiga ini rencananya akan dilanjutkan dengan membangun gerakan konkret di akar rumput untuk menyebarluaskan pemahaman mengenai hal ini. Pada titik itulah bekal mengenai paradigma kenusantaraan, utamanya dalam bidang pendidikan, yang akan diudar oleh Pak Aji menjadi suatu modal yang perlu dipahami sebelum kemudian diterapkan dalam bentuk aksi.
Membuka paparannya, Aji Dedi Mulawarman menyatakan bahwa ia menyukai tema yang diangkat pada diskusi malam itu, yakni kembali ke akar jati diri kemanusiaan dan kebudayaan bangsa Nusantara. Kemudian, ia mengajak para peserta untuk berefleksi bersama-sama.
"Mengapa harus ada pernyataan kembali? Ada apa sebenarnya dengan pendidikan dan kebudayaan kita," ungkap pria yang juga seorang Dewan Pakar di Peneleh Research Institute tersebut. Untuk menjawab itu, Aji kemudian membabar beberapa fakta yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia hari ini.
Pendidikan Nusantara modern hari ini, menurut Aji, bisa disebut sebagai percampuran (blending) Baratisme Nusantara. Fenomena ini diperkuat oleh beberapa fakta yang terjadi. Mulai dari adanya penjajahan secara terang-terangan dalam bidang pendidikan yang mengadopsi pendidikan Barat sekuler, model dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan didominasi oleh ilmu-ilmu Barat anti Tuhan, hingga pendidikan formal berbasis agama yang dirembesi corak-corak Baratisme.
Dampaknya, model pendidikan tersebut memicu terjadinya krisis multidimensi bagi manusia itu sendiri, serta dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam sebuah survei nasional terhadap ratusan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang dilakukan oleh Peneleh Research Institute, terdapat temuan yang cukup menarik sekaligus ironis pada waktu yang sama.
Sebanyak 41 persen mahasiwa tidak peduli dengan gelaran pemilihan presiden (pilpres) tahun 2024. Artinya, daya kritis dan ideologi yang sering kali disebut sebagai harta terakhir mahasiswa pun mulai luntur hari ini. Sebaliknya, mereka lebih memilih kenikmatan pribadi dengan temuan 61 persen mahasiswa menikmati musik dan film, 53 persen menikmati komedi di media sosial, serta 30 persen suka melakukan belanja secar daring.
Aji Dedi Mulawarman juga menyoroti UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Dikti terbaru yang ia pertanyakan apakah hal itu bisa menyelesaikan krisis yang sedang terjadi dan berlangsung saat ini. Pun halnya dengan konsep sekolah dan kampus merdeka yang dipopulerkan oleh Nadiem Makaraim.
Secara retoris, pria yang juga penulis buku Tragedi Pembunuhan Tuhan itu bertanya apa yang menjadi tujuan pendidikan tinggi hari ini. Apakah Internasionalisme yang tercermin dari hasrat kampus yang berlomba-lomba untuk mengejar QS World University Rankings? Apakah Baratisme? Apakah Nasionalisme? Atau Nusantaraisme?
Pendidikan modern hari ini merupakan faktor utama yang membuat manusia Indonesia gagap akan realitas. Hal ini tercermin dari kebahagiaan individu yang menjadi tujuan dari proses pendidikan. Padahal, kebahagiaan diri itulah pusat dari corak antroposentrisme.
"Adakah tujuan lain dari kuliah, selain hanya untuk lulus, kemudian jadi aktivis dengan jejaring senior kampus atau organisasi yang kita ikuti, lalu berusaha mendapatkan IPK tinggi, menempuh karir hingga meningkat sampai mendapatkan kebahagiaan diri?" ujar Aji. Konsep kebahagiaan ini mengacu pada apa yang disampaikan Abraham Maslow yang menekankan kebutuhan diri sendiri, bukan menitikkan pusatnya pada kebahagiaan dan keselamatan bersama sebagaimana misalnya diajarkan dalam Islam.
Tak hanya itu, persoalan pendidikan manusia Indonesia hari ini ialah fakta bahwa mereka gagap kebudayaan, sehingga mayoritas memilih untuk mengikuti tren global yang sedang naik (ex: K-pop, Wibu, dan sejenisnya). Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena kita sendiri tidak mempunyai jangkar kebudayaan yang kuat.
Hilannya jangkar kebudayaan ini akan berimplikasi kepada banyak hal, seperti lahirlah bangsa peniru bukan pencipta, adanya penjarahan budaya, munculnya desakralisasi kebudayaan lokal setempat, hingga gagalnya negara membangun jati diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.
Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan apa yang sudah dilakukan oleh potret pendidikan Nusantara di masa lalu yang tergambar secara faktual dari institusi pendidikan berbentuk padepokan, asrama, padukuhan, atau pesantren. Di masa itu, penekanan pengajaran mencakup pengetahuan akal/rasio, pengetahuan kaweruh (moral, akhlak, kesucian jiwa), pengasahan seni dan kebudayaan, serta pendidikan untuk mengasah kemandirian setiap manusia yang belajar.
Jika berkaca pada era yang lebih kontemporer, kita bisa belajar kepada konsep pendidikan H.O.S Tjokroaminoto yang dirumuskan dalam Moeslim National Onderwijs. Substansi pendidikan menurut Pak Cokro terletak pada kemerdekaan dari penjajahan, keseteraan dalam pendidikan laki-laki dan perempuan, akhlak mulia, integrasi islam dan modernitas, serta nasionalisme dan kebudayaan dalam rangka pengabdian kepada Allah.
"Peradaban yang bertahan ribuan tahun selalu mengedepankan kearifan dan kesantunan manusia berkesucian sebagai pusatnya," tegas Aji dalam paparannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan metode serta cara yang bisa dilakukan secara praktis. Oleh karena itu, ia menawarkan paradigma Nusantara sebagai jalan melepaskan diri dari kolonialisme pendidikan yang terjadi hari ini.
Penulis buku Paradigma Nusantara tersebut mengajak peserta secara khusus dan manusia Indonesia secara umum untuk menyandarkan setiap penelitian kita pada empat kaidah paradigma Nusantara yang utama, yakni jati diri kenusantaraan, pandangan integral atas realitas, religiositas dan kebudayaan, serta tujuan sains yang berpusat pada keyakinan dan kebenaran sejati.
Di penghujung materi, ia menegaskan pentingnya membangun pendidikan berkesucian yang bebas dari kolonisasi pengetahuan di tengah dunia yang sedang berubah dan menghadirkan gempuran pertempuran ideologi yang makin deras. Tentu diperlukan strategi yang tepat dalam memanfaatkan peran sains dan teknologi, model pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi, serta sistem nilai dan perilaku yang mendorong terciptanya peradaban yang luhur.