Berbicara mengenai Ramadhan, dalam beberapa hal ia tidak bisa dipisahkan dari serba-serbi yang mewarnainya. Tradisi shalat tarawih misalnya, menjadi momen khas dalam yang tidak ditemui dalam bulan-bulan lainnya. Selain itu, tak bisa dibohongi pula bahwa Ramadhan membawa efek magis terhadap kesadaran seseorang, khususnya dalam semangat dan amaliah peribadatan.
Atmosfer sosial kemasyarakatan pada bulan Ramadhan juga cenderung berbeda. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana semarak setiap tempat dan wilayah dalam menjajakan aneka hidangan di daerah-daerah yang memiliki penduduk Muslim ketika menjelang waktu berbuka puasa.
Tak hanya itu, Ramadhan juga berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah umat manusia. Dalam konteks Indonesia, proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 terjadi pada hari Jumat, 9 Ramadhan 1364 H.
Sejarah turunnya Al-Qur’an atau jamak disebut dengan Nuzulul Qur’an juga salah satu tahapannya terjadi di bulan Ramadhan. Pada dasarnya, Al-Qur’an diturunkan dalam tiga tahapan. Tahap pertama ialah diturunkannya Al-Qur’an oleh Allah ke Lauh al-Mahfudz. Kemudian, ia diturunkan dari Lauh al-Mahfudz ke Baitul Izzah yang ada di langit dunia (samaud dunya) secara sekaligus. Ketiga, Al-Qur’an lalu diturunkan kepada Rasulullah Saw secara berangsur-angsur.
Dari ketiga proses tersebut, tahapan kedua itulah yang sering dikaitkan dengan peristiwa Nuzulul Qur’an di bulan Ramadhan. Lebih tepatnya, ia terjadi pada malam Jum’at tanggal 17 Ramadhan.
Memaknai Nuzulul Qur’an
Sebagai manusia yang dianugerahi akal oleh Tuhan, sudah selayaknya kita memaknai setiap kejadian, apalagi jika itu menyangkut hal-hal penting seperti Nuzulul Qur’an. Tentu ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari salah satu peristiwa penting dalam sejarah turunnya Al-Qur’an.
Pemaknaan setiap orang tentulah berbeda, karena hal ini menyangkut kadar intelektual, emosional, dan spiritual yang terkandung dalam setiap pribadi. Meskipun demikian, terdapat pola atau pakem tertentu yang bisa menjadi dasar bagi siapa pun dalam proses bertafakkur.
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an membicarakan betapa penting proses berpikir dan perenungan dengan beragam derivasi kata yang digunakan, seperti ta’qiluna, tafakkaruna, tadabbaruna, dan lain sebagainya. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah objek apa yang bisa digunakan dalam praktik olah pikir tersebut?
Al-Qur’an sendiri secara tersirat menyampaikan macam objeknya, yang mana hal itu kemudian dituliskan oleh ulama-ulama terdahulu maupun kontemporer sehingga saat ini kita mengenal pembagian ayat yang bernama qauliyah dan kauniyah. Bentuk materiel dari ayat qauliyah bisa kita temukan dalam Al-Qur’an, sebuah kitab yang berisikan ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Swt secara langsung dan tersurat.
Adapun gambaran nyata dari apa yang disebut dengan ayat kauniyah bisa ditemui dalam segala ciptaan-Nya yang tersebar di alam semesta. Mulai dari langit dan bintang-bintang, tetumbuhan, hewan-hewan, tempat-tempat bersejarah di muka bumi, pergantian siang dan malam, fenomena di daratan dan lautan, dan lain-lain. Dalam bahasa lain, kesemuanya itu bisa disebut dengan ayat-ayat yang difirmankan secara tersirat.
Selain kedua ayat di atas, ternyata ada satu jenis ayat lagi yang juga tak kalah penting untuk direnungi dan dipelajari dengan sungguh-sungguh. Ayat itu ialah diri manusia sendiri. Sesungguhnya dalam diri manusia terkandung rahasia besar bagi mereka yang mau memikirkan dan memahami. Diskursus tasawuf bahkan menyebut manusia sebagai citraan alam kecil (mikrokosmos) dari sistem besar jagad raya (makrokosmos) ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, satu kaidah penting yang menjadi pegangan bagi orang yang mendalami tasawuf ialah sebuah perkataan yang berbunyi: Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Secara harfiah, kalimat itu bermakna barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Proses pengenalan diri itu sendiri merupakan perjalanan panjang yang perlu ditempuh bagi mereka yang ingin mengenali diri sejatinya.
Di momen Nuzulul Qur’an kali ini, penting kiranya bagi setiap insan untuk merefleksikan secara mendalam ketiga jenis ayat di atas, bukan sekadar merayakannya dengan ritual formalitas belaka yang kering dan tak berbekas. Dengan jalan itulah seseorang bisa menemukan arti dan makna Nuzulul Qur’an secara lebih presisi dan murni.