Disadari atau tidak, manusia sepanjang durasi hidupnya bila dicermati menghabiskan lebih banyak waktunya dengan berada di majelis ruang luar dirinya. Mereka lebih fokus dengan pencarian akan hal-hal di luar dirinya dibanding apa yang ada dalam dirinya.
Sebagai contoh, banyak motivator di luar sana menganjurkan untuk menginvestasikan waktu, tenaga, dan biaya dalam rangka meningkatkan kapasitas dirinya dalam kerangka leher ke atas (baca: otak dan akal) dibanding dengan membenahi kerangka leher ke bawah (baca: hati dan dimensi turunannya).
Mayoritas manusia tidak benar-benar mengenal dirinya sendiri. Seakan-akan segel kedirian itu masih terkunci dan belum dibuka sama sekali. Kunci penting untuk membuka segel tersebut adalah qalbun salim (hati yang selamat). Ilmu dan amal tanpa disertai qalbun salim tidak ada apa-apanya.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bisa membedakan dan menyadari siapa diri kita ini. Manakah yang merupakan alat belaka dan mana yang tergolong kesejatian sebenarnya. Identifikasi secara tepat akan hal ini diperlukan agar kita tidak terjebak dalam ilusi-ilusi yang bisa menipu dan memperdaya kita.
Misalnya, tubuh fisik, otak, intelektual, hingga praktik ruku dan sujud kita saat shalat itu hanyalah alat. Dengan mengoptimalkan beberapa alat tersebut tidak serta merta seseorang cerdas spiritual, berakhlak, dan bertakwa dalam hidupnya. Ia harus dibarengi dengan kebersihan hati dan kemurnian jiwa yang terejewantah dalam laku lampah kehidupan yang kita jalani.
Manusia sejatinya adalah makhluk yang dikekalkan oleh Allah. Apa yang disebut kematian itu sebenarnya adalah kematian dari hal-hal yang tergolong alat itu tadi. Hanya saja kemudian kita memahami kematian sebagai tidak kekalnya manusia karena kadar kemelakatan kita yang terlalu besar terhadap alat-alat yang dipinjamkan kepada kita untuk hidup di dunia.
Dalam perspektif tauhid, kelahiran dan kematian itu sifatnya sama saja. Tidak ada pembedaan perlakuan antara dua aspek yang sering dibentur-benturkan tersebut. Alkisah Sayyidina Umar bin Khattab justru tersenyum saat dia ditinggal wafat oleh anaknya.
Hal ini menunjukkan bahwa penyikapan terhadap kematian selayaknya tidak dengan bersedih hati yang begitu berlebihan. Sebagaimana sebuah kelahiran, kematian juga perlu dirayakan. Makna dirayakan di sini ialah karena orang yang meninggal justru mereka berkesempatan untuk berpulang ke haribaan Allah terlebih dahulu dibanding manusia yang masih hidup di dunia.
Perlu dipahami, bahwa setiap manusia tentu membawa mandataris kehidupan bersamaan dengan waktu kelahirannya di dunia. Hal itulah yang kelak kemudian menjadi misi hidup, cita-cita atau sebutan-sebutan sejenisnya.
Dalam aspek yang lebih praktis, manifestasi dari mandat itu kemudian menjadi peran-peran yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Peran sebagai seorang anak, istri, suami, ayah, ibu, karyawan, rekan kerja, sahabat, guru, murid, dan lain sebagainya.
Setiap peran yang kita emban itu secara langsung maupun tidak langsung akan beriringan dengan ujian-ujian sebagai tolok ukur sejauh mana kita bisa menjalankan peran tersebut sebaik-baiknya.
Dari peran dan ujian itulah kemudian kita akan menemukan nilai-nilai atau jawaban-jawaban dari permasalahan serta pertanyaan-pertanyaan yang meliputi diri kita. Masalahnya, sering kali kita hanya ingin menerima peran belaka dan mengesampingkan pasangannya yang bernama ujian-ujian kehidupan.
Ada yang menyebutnya sebagai ujian, cobaan, serta penderitaan. Ketiga hal ini mewakili pemaknaan sebagian besar manusia atas sesuatu yang tidak ia sukai. Nyatanya, apa yang kita sebut derita itu hakikatnya karunia terselubung yang sering disalahpahami. Bahkan, semakin besar penderitaan dan rasa sakit yang kita terima, justru akan mendatangkan rahmat dan karunia-Nya dalam jumlah yang tak terkira.
Pun demikian saat kita mendapatkan cacian, hinaan, atau ekspresi tertentu yang merendahkan kita. Di balik hal itu, terkandung sebuah rahasia penting berupa pembelajaran, pemaknaan, serta pengalaman yang akan mendewasakan kita dalam hidup bermasyarakat kelak pada kemudian hari.
Pada akhirnya, batasan waktu yang kita punya selama hidup di dunia yang fana ini harusnya mendorong kita untuk terus menggali makna kehidupan ini. Apa yang kita cari di dunia ini? Sudahkah kita menjadi manusia yang selamat hati dan pikirannya? Bagaimana kita memberi makna akan hidup yang sangat singkat ini, sehingga ia tak lekang oleh waktu?
Penulis: Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute dan Spiritual Life Coach