Menjadi Generalis atau Spesialis?

SABTU, 13 FEBRUARI, 2021

Menjadi Generalis atau Spesialis?

Benarkah Menjadi Spesialis Lebih Baik?

Dalam dunia olahraga, cerita kesuksesan Tiger Woods pada sektor golf sudah jamak dikenal banyak orang. Prestasinya yang cemerlang dalam berbagai turnamen yang diikutinya, ditambah gelontoran dana dari sponsor maupun iklan yang dibintanginya membuatnya menjadi salah seorang yang berpenghasilan tertinggi kedua sepanjang masa. Ia hanya kalah dari Michael Jordan, seorang pebasket legendaris asal Amerika Serikat

Salah satu kunci keberhasilan Tiger Woods ialah adanya didikan secara kontinu sejak ia kecil dari keluarga, terutama dari Earl Dennison Woods selaku ayahnya. Pada usia enam tahun, ia mulai berlatih golf. Ketika menginjak usia delapan tahun, pria yang bernama asli Eldrick Tont Woods mulai diundang ke banyak acara televisi untuk unjuk kemampuan teknik bermain golf.

Memasuki jenjang perkuliahan di Fakultas Ekonomi Universitas Stanford, Woods memulai karier golfnya secara nasional sampai menembus level dunia. Selama menjadi mahasiswa, ia banyak mengikuti turnamen golf tingkat pemula dan berhasil membawa pulang gelar juara.

Usai lulus, Woods memutuskan untuk menekuni bidang olahraga ini dibandingkan mencari pekerjaan pada umumnya. Hasilnya, setahun setelah tamat kuliah tepatnya tahun 1997, ia menjadi juara turnamen bergengsi dunia The Masters dengan rekor poin 270. Ini sekaligus mencatatkan dirinya sebagai juara termuda di turnamen profesional tersebut setelah pertama kali digelar pada tahun 1934.

Cerita serupa dalam skala yang lebih luas terjadi pada keluarga Polgar. Sang ayah, Lazslo Polgar, merupakan guru catur asal Hungaria sekaligus psikolog pendidikan yang mendidik ketiga anaknya sejak kecil untuk menjadi pecatur profesional yang sukses dalam ranah internasional. Susan Polgar, Sofia Polgar, dan Judit Polgar menyandang gelar grandmaster pada dunia catur dengan prestasi dan rekam jejak yang gemilang.

Kisah Tiger Woods dan Polgar’s Family merupakan contoh bagaimana seseorang digembleng untuk menguasai satu keahlian yang bersifat spesifik. Dalam bahasa lain, ia disebut juga sebagai spesialis. Dua kisah inilah yang menjadi inspirasi dari lahirnya buku berjudul Talent is Overrated: What Really Separates World-Class Performers from Everybody Else karya Geoff Colvin.

Colvin menegaskan dalam buku tersebut bahwa salah satu kunci untuk meraih kesuksesan dalam satu bidang tertentu ialah dengan mempelajari dan mendalaminya dalam waktu yang lama. Artinya, pola latihan dan kebiasaan yang diperlukan untuk menjadi juara dalam bidang tertentu seyogyanya melebihi dari apa yang dikerjakan oleh orang-orang biasa. Sebagai contoh, kisah sukses Woods dan Polgar bersaudara merupakan hasil dari gemblengan sejak kecil hingga dewasa.

Meskipun demikian, perlu disadari bahwa tidak setiap orang mempunyai privilege untuk merasakan iklim pendidikan sebagaimana Tiger Woods atau Polgar bersaudara. Contoh nyata dari hal ini terjadi pada Roger Federer, atlet tenis kelas dunia yang berangkat dari titik awal yang berbeda.

Berbeda dengan Woods yang sejak kecil telah diarahkan untuk menjadi yang terbaik di dunia golf, Federer menapaki karir cemerlangnya di bidang tenis setelah dia menekuni olahraga lain, seperti sepakbola, basket, dan sebagainya dengan hasil yang tidak begitu baik.

Robert M. Hogarth menyebut kondisi yang pertama sebagai lingkungan pembelajaran yang baik (kind learning environments). Sementara itu, keadaan kedua yang dialami Federer disebut sebagai lingkungan pembelajaran yang jahat (wicked learning environments). Perbedaan keduanya terletak pada sistem pendukung yang ada di sekeliling mereka. Ilustrasi dari dua hal ini tampak dari atlet yang berjuang dari keluarga orang biasa dengan mereka yang terlahir sebagai anak dari mantan atlet kelas dunia misalnya.

Menjadi Generalis = Pemenang di Era VUCA

Perbincangan mengenai dikotomi generalis dan spesialis semakin ramai beberapa tahun belakangan. Banyak orang dilema menghadapi masa depan karir atau pekerjaan berdasarkan hal tersebut. David Epstein merespons pertarungan wacana di atas dengan apik melalui karyanya yang berjudul Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World. Buku yang terbit pada tahun 2019 tersebut membahas bagaimana seorang generalis justru bisa menjadi pemenang di era yang menuntut spesialisasi di berbagai bidang.

Menurutnya, sang generalis lebih terbuka pikiran dan hatinya dibanding spesialis yang cenderung terfokus pada satu titik saja. Hal inilah yang menjadi keunggulan seorang generalis. Ketika dihadapkan pada ilmu dan keahlian yang baru, generalis lebih adaptif dan cepat dalam mempelajarinya dibanding spesialis yang membutuhkan waktu lebih lama.

Epstein menjelaskan bahwa sudah saatnya orang menjadi seorang generalis, yakni mereka yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang banyak bidang dan mampu melihat satu masalah dari berbagai perspektif.

Dalam konteks era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity (VUCA) yang penuh perubahan, ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakjelasan, tentu seorang generalis memiliki peluang lebih besar untuk menjadi pemenang dari pertarungan yang sedang terjadi. Sikap adaptif merupakan salah satu kunci penting untuk menghadapi era ini, di mana sikap itu lebih mudah ditemui pada seorang generalis daripada spesialis.

Lebih lanjut, Epstein mengungkapkan bahwa yang diperlukan oleh generasi sekarang ialah merasakan pengalaman yang beragam ketika terjun di banyak sektor dan melakukan eksplorasi keilmuan lintas disiplin.

Meskipun demikian, pada akhirnya seseorang tetap perlu menguasai satu bidang hal yang membuatnya banyak dicari orang pada bidang tersebut. Hanya saja prosesnya tidak berlangsung sejak kecil sebagaimana cerita Woods atau Polgar bersaudara, melainkan setelah mengarungi penjelajahan keilmuan dan pengalaman di berbagai bidang lainnya.

 


Leave a Reply