Setiap hari, manusia tentu diliputi oleh berbagai dinamika kehidupan yang mewarnainya. Tak selamanya seseorang akan menjumpai kemudahan dan kelancaran dalam perjalanan hidupnya. Terkadang, ia mendapatkan sebuah masalah untuk dihadapi dan dilewati.
Ya, dihadapi dan dilewati. Bukan untuk diselesaikannya sendiri. Karena pada hakikatnya manusia tidak diciptakan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Terlalu sombong rasanya jika kita bersikap seolah-olah bisa dan mampu menyelesaikan setiap masalah yang ada.
Satu hal yang bijak dan perlu dijadikan catatan oleh setiap orang dalam menghadapi sebuah masalah ialah perlunya sikap tawakal kepada Allah Swt. Hal ini bersifat mutlak, bahwa kita sebagai hamba-Nya sudah selayaknya menyerahkan urusan kita kepada Allah.
Meskipun demikian, sikap tawakal tidak berdiri sendiri. Ia juga membutuhkan komitmen manusia berupa sikap takwa. Mengapa takwa ini menjadi penting? Karena dengan takwa itulah Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap masalah yang menghadang kita.
Takwa ialah sebuah komitmen yang kita manifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Komitmen untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh-Nya di satu sisi, serta keteguhan untuk menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya. Bertakwa memang tidak mudah, namun dengan rasa cinta hal itu akan terasa lebih mudah.
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar."
(QS. Ath-Thalaq: 2)
Salah satu indikator ketakwaan dalam diri seseorang ialah ketika ia mampu berbuat baik kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Dengan bahasa lain, adanya keselarasan dengan hukum alam semesta. Sebagai contoh, ketika kita tidak ingin disakiti, maka hal pertama yang harus kita lakukan ialah dengan tidak menyakiti orang lain.
Pun demikian halnya jika kita ingin bahagia, maka terlebih dahulu kita harus bersikap tidak membenci siapa pun. Lebih jauh, saat kita ingin mendapat welas asih dari Allah, maka tentunya kita perlu bersikap welas asih dahulu kepada makhluk-Nya.
Memang hukum tabur tuai itu tidak akan selalu linier. Akan ada masa di mana kebaikan yang kita tabur justru menuai respon keburukan dari orang lain. Namun, soal itu lebih baik tidak usah kita cemaskan. Karena pasti hukum itu akan dibayar oleh kehidupan. Semesta akan berkonspirasi untuk memberikan balasan dari sesuatu yang kita tanam.
Tentu ada prasyarat untuk menjalankan sistem di atas. Yakni adanya hati yang bersih dan sehat (qalbun salim). Akan menjadi berbeda ceritanya kemudian jika hati kita kotor. Hal ini dikarenakan sistem semesta selaras dengan sistem yang ada dalam diri kita. Saat sistem diri kita baik, maka sistem semesta akan membalas dengan lebih baik. Begitu pula sebaliknya.
Memiliki hati yang bersih dan sehat itu bukan berarti kita menjadi pribadi yang sempurna, karena setiap orang bisa saja berbuat salah. Akan tetapi, dengan qalbun salim itulah kita mempunyai kontrol diri dan tidak menjadi orang yang bersikap palsu atau munafik dalam kehidupan.
Kontrol diri sendiri merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh seseorang. Tanpa kontrol diri yang baik, hidup akan menjadi berantakan dan tidak terarah. Kehilangan kontrol diri biasanya akan menyebabkan seseorang terpelanting jauh dari apa yang menjadi suara hatinya.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk melatih kontrol diri dengan disertai navigasi hati yang tepat. Untuk melatih dua hal tersebut, kita perlu masuk ke majelis ruang dalam, karena ketakwaan, kebahagiaan, keikhlasan, cinta, realita kehidupan, maunah, karamah, hingga mukjizat itu semua berada dalam majelis ruang dalam. Yakni ruang yang ada di dalam diri kita sendiri.
Selama ini, mayoritas manusia terlalu sibuk dan mengalokasikan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk majelis ruang luar dengan porsi yang terlalu besar. Ruang luar ini bisa berupa ibadah mahdlah, pekerjaan, keahlian, relasi, modal, dan sebagainya. Padahal, jika diukur, kapasitas ruang luar untuk mencapai puncak kebahagiaan itu maksimal hanya sebesar 10 persen.
Sedangkan, kuota 90 persen lainnya itu terkandung dalam majelis ruang dalam. Oleh karenanya, anugerah kesehatan yang masih diberikan Tuhan hingga hari ini sepatutnya kita sikapi dengan mengalokasikan waktu untuk mempelajari dan kemudian masuk ke ruang dalam.
Menurut Imam Ghazali, seorang ahli teolog, filsafat, dan tasawuf yang terkenal dengan jasanya dalam mengawinkan antara ilmu syariat dan hakikat, jika kita terlalu berfokus ke ruang luar dan mengabaikan ruang dalam, maka sejatinya kita sama dengan menyia-nyiakan usia kita.
Mulai saat ini, kita harus menyadari hal tersebut dan perlahan menata ruang dalam kita. Salah satu langkah konkret untuk masuk ke ruang dalam ialah dengan mulai mengontrol diri secara baik. Selain itu, metode yang ampuh digunakan untuk masuk ke ruang dalam ialah dengan melakukan pembersihan diri (takhalli) secara terus-menerus.
Langkah pembersihan diri ini tentu harus dengan bimbingan seorang mursyid (pembimbing) yang telah terlatih dan berpengalaman, karena tanpa dibimbing seseorang tidak akan mampu memasuki ruang dalam dirinya. Pada tingkatan yang lebih lanjut, terdapat pula metode uzlah, yakni ketika kita masuk ke kesadaran diri sendiri untuk menjadi pengamat terbaik dari jiwa dan kalbu kita.
Saat kita masuk ke dimensi tersebut, di situlah kita akan merasa jijik, kotor, dan penuh sampah ketika kita melihat kondisi hati kita sendiri. Tak heran kemudian jika banyak orang yang wafat merasa menyesal karena kondisi hatinya yang tak karuan tersebut.
Menyikapi fenomena tersebut, upaya yang perlu kita lakukan agar kita tidak termasuk orang yang menyesal saat dipanggil Tuhan untuk kembali ialah dengan meningkatkan level kesadaran kita. Mengapa kesadaran? Ya, karena kesadaran itulah asal muasal dari spiritualitas.
Tak hanya itu, kesadaran juga merupakan bahan bakar dari kekuatan rasa cinta. Dengan kekuatan cinta yang berasal dari kesadaran itu pula Nabi Muhammad saw mampu menembus Sidratul Muntaha untuk bertemu dengan-Nya.
Sebagaimana yang dibahas pada artikel sebelumnya, kesadaran tentu tidak berdiri sendiri. Ia saling melengkapi dan satu paket dengan apa yang disebut dengan tauhid. Tauhid dan kesadaran itulah yang akan mengantarkan kita untuk selalu selaras dengan Sang Pencipta.
Dengan kesadaran yang layak serta tauhid yang benar, maka apa pun yang dilakukan seseorang (berupa amal) akan terkoneksi dengan latifah (cahaya kelembutan yang bersifat ruhaniah).
Ritual yang kita lakukan sudah seharusnya terkoneksi dengan sikap cerdas spiritual, sehingga orang yang rajin melakukan ritual, maka output yang muncul ialah orang itu memiliki akhlak yang baik, bersih hatinya, bersikap jujur, semakin tawadu, serta semua perilakunya menjadi hal yang berdampak baik bagi orang dan lingkungan sekitarnya.