Panca Olah Institute kembali melanjutkan program Suluh Nusantara pada Kamis, 10 Maret 2022. Pada edisi kedua kali ini, tema yang diangkat ialah tentang pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari atau lebih akrab dikenal dengan julukan Mbah Hasyim.
Suluh Nusantara sendiri hadir sebagai salah satu ikhtiar untuk menanggulangi amnesia historis yang banyak terjadi di kalangan pemuda dengan penelusuran kembali khazanah pemikiran dan gagasan para tokoh pendahulu, sebagai bahan untuk merajut kembali peradaban yang luhur nan agung berdasar paradigma Nusantara.
Berjudul "Memayu Hayuning Bawana: Merawat Jagat, Membangun Peradaban Nusantara", sorotan utama pada kajian secara berkala selama tahun 2022 itu sebenarnya hendak melihat bagaimana integrasi pemikiran KH. Hasyim Asy'ari dalam konteks keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan dengan beragam interaksi sosial kebudayaan yang dialami Mbah Hasyim semasa hidupnya.
Ditemani oleh Gus Variz Muhammad Mirza, salah seorang cicit dari KH. Hasyim Asy'ari, pemaparan dan diskusi tentang warisan intelektual Mbah Hasyim pada malam itu berjalan secara menarik dan interaktif. Tidak kurang dari 30 orang hadir dalam webinar ini.
"Saya akan menyampaikan gagasan Mbah Hasyim secara parsial berdasarkan tema tertentu, karena melihat dan menjelaskan bagaimana pemikiran dan kiprah Mbah Hasyim secara utuh tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar," ujar Gus Mirza.
Meskipun demikian, presentasi yang ditunjukkan oleh Gus Mirza sejatinya cukup komprehensif dan detail. Diawali dengan biografi singkat Mbah Hasyim, pemaparan materi kemudian merambah ke tema-tema seperti bagaimana posisi Mbah Hasyim sebagai seorang pendidik, karya-karya beliau, relasi dengan tokoh-tokoh penting dalam dan luar negeri, interaksi dengan non-muslim, hingga sejarah tentang resolusi jihad yang dipelopori oleh Mbah Hasyim.
Sebagai seorang pendidik, misalnya, Mbah Hasyim mengungkapkan pentingnya integrasi antara ilmu dan amal bagi seorang santri atau pelajar. Akan tetapi, tak cukup di situ, diperlukan pula keikhlasan dalam proses menuntut ilmu dan pengamalan akan ilmu yang didapatkan.
Lebih lanjut, tujuan pendidikan ialah pemahaman terhadap pengetahuan pembentukan karakter secara baik, yang penuh pendalaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam, serta mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten.
Menariknya, tujuan pendidikan di atas menurut Mbah Hasyim baru bisa diwujudkan jika seorang pelajar terlebih dahulu mendekatkan diri kepada Tuhan. Saat berproses dalam pendidikan, pelajar harus mampu menghindari unsur-unsur materialisme seperi kekayaan, jabatan, popularitas, dan sebagainya.
Kapasitas dan kedalaman ilmu Mbah Hasyim diaktualisasikan pula dalam penulisan risalah-risalah mengenai beragam tema. Kompilasi mengenai karya tulis Mbah Hasyim saat ini bisa dilihat pada karya berjudul Irsyadus Sari fi Jam'i Mushannafati asy-Syaikh Hasyim Asy'ari yang telah disunting secara apik oleh cucu beliau yang bernama KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq.
Beberapa konten dalam kompilasi karya tersebut di antaranya Adabul Alim wal Muta'allim, Risalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Ziyadatut Ta'liqat , Tanbihatul Wajibat, Al-Jasus fi Bayani Ahkami Nakus, Risalah fi Jawazid Taqlid, Risalah fi al-Tasawuf, Risalah fi al-Aqaid, Hizbul Falah, dan banyak lainnya.
Kepandaian berdiplomasi yang dimiliki Mbah Hasyim juga membuatnya terhubung dengan tokoh-tokoh penting dalam dan luar negeri. Dengan jaringan itulah kemudian beliau memberikan pengaruhnya dalam pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan dan memperoleh kemerdekaannya.
Contoh konkret mengenai hal ini bisa dilihat ketika Mbah Hasyim mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa ini kemudian secara cepat menyebar melalui masjid, musala, dan informasi dari mulut ke mulut.
Atas dasar pertimbangan politik, resolusi jihad tersebut tidak disebarkan melalui media massa. Tiga sampai lima hari kemudian, barulah resolusi jihad itu diterima oleh pemerintah dan disiarkan melalui beberapa surat kabar terkemuka pada zamannya.
Di samping itu, cerita menarik mengenai relasi dan interaksi Mbah Hasyim dengan kalangan non-muslim juga diungkapkan oleh Gus Mirza. "Ada kisah tentang Karl von Smith yang ingin memeluk agama Islam kepada Mbah Hasyim. Akan tetapi, Mbah Hasyim tidak memaksa dan justru memberikan kebebasan kepadanya untuk mempercayai keyakinan yang menurut dirinya benar," jelas Gus Mirza.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan sikap kelompok-kelompok yang dewasa ini ingin memaksakan kebenaran Islam kepada seluruh orang, bahkan dengan cara-cara yang melewati batas kewajaran. Bukankah Tuhan sendiri menghendaki keragaman, bukan keseragaman kepada umat manusia?
Penggalian khazanah pemikiran KH. Hasyim Asy'ari pada akhirnya membawa kita pada kesadaran bahwa menjadi orang Islam sekaligus menjadi warga negara Indonesia bukanlah hal yang bertentangan. Integrasi antara keislaman, kebangsaan, dan keindonesiaan secara positif itulah yang akan membentuk peradaban khas nan luhur yang dicita-citakan oleh para founding fathers neger ini dahulu.