Di malam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-77, tepatnya 16 Agustus 2022, forum Suluh Nusantara edisi ketujuh yang bertajuk "Meneguhkan Ikhtiar Kebangsaan Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie) Sang Perancang Lambang Garuda Pancasila digelar secara khidmat dan meriah.
Anshari Dimyati, S.H., M.H., Ketua Umum Yayasan Sultan Hamid II sekaligus penulis buku "Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali - Garuda Pancasila" bersama Turiman Fachturahman Nur, S.H., M.Hum., seorang Peneliti Lambang Negara Republik Indonesia (RI) Burung Garuda Pancasila yang juga merupakan penulis buku "Sultan Hamid II: Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali - Garuda Pancasila" hadir sebagai narasumber utama yang mengurai banyak hal terkait sejarah Sultan Hamid II yang selama ini tidak banyak diketahui.
Sesuai dengan visinya, Suluh Nusantara sebagai bagian dari program Panca Olah Institute bertujuan untuk menggali khazanah pemikiran, gagasan, serta peran dari para tokoh Nusantara untuk mencegah amnesia historis serta pengaburan sejarah yang selama ini cukup sering terjadi dalam narasi sejarah yang dibangun oleh negara.
Indra Hanjaya, founder dari Panca Olah Institute, mengungkapkan rasa syukurnya atas terselenggaranya Suluh Nusantara edisi ketujuh yang membahas tentang Sultan Hamid II. Selain itu, ia juga menyampaikan pentingnya mengetahui dan mempelajari sejarah, karena kita tidak mungkin bisa lepas dari cikal bakal cerita yang mendasari keberadaan kita saat ini.
Mengawali perbincangan, Anshari menjelaskan bagaimana kronologi perjuangan yang ia lakukan bersama teman-temannya di Yayasan Sultan Hamid II untuk mendapat pengakuan bahwa lambang negara Garuda Pancasila merupakan karya dari Sultan Hamid II.
Keresahan itu dimulai dari hasil tesis Turiman Fachturahman Nur yang berjudul "Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-Undangan) pada tahun 2000 yang membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah seorang perancang Lambang Negara Republik Indonesia Elang Rajawali –Garuda Pancasila.
Dari situ, beragam upaya dan aksi nyata dilakukan untuk mendorong pengakuan dari negara akan fakta di atas. Mulai dari menyelenggarakan pameran lambang negara Garuda Pancasila di Istana Kesultanan Pontianak, diskusi ilmiah di berbagai forum dan daerah, peluncuran buku biografi politik Sultan Hamid II, audiensi dengan Kementerian Sosial, hingga pengusulan Sultan Hamid II kepada Presiden Joko Widodo.
Butuh setidaknya waktu enam belas tahun, terhitung sejak tahun 2000, hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui bahwa lambang Garuda Pancasila karya Sultan Hamid II merupakan warisan cagar budaya peringkat nasional pada tahun 2016. Sejak itulah, nama Sultan Hamid II baru dikenal khalayak luas sebagai pencipta lambang negara.
Meskipun demikian, nama Sultan Hamid II masih belum mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang layak. Atas dasar itulah Yayasan Sultan Hamid II memberikan usulan kepada negara melalui rekomendasi Kesultanan Pontianak dan Provinsi Kalimantan Barat agar menetapkan Sultan Hamid II. Sayangnya, hingga artikel ini diterbitkan, usulan itu masih belum terwujudkan dengan baik.
Sementara itu, Turiman Fachturahman Nur yang menjadi pembicara selanjutnya menjabarkan tentang peran kebangsaan Sultan Hamid II serta makna dan filosofi dari lambang negara Garuda Pancasila yang dirancang dengan apik oleh Sultan Syarif Hamid Alkadrie.
Perlu diketahui, Sultan Hamid II atau Sultan Syarif Hamid Alkadrie ialah seorang pewaris Kesultanan Pontianak, diplomat, menteri negara, serta perancang lambang negara Garuda Pancasila. Kontribusi yang diberikan oleh Sultan Hamid dalam setiap amanah dan peran yang ia emban juga terbilang sukses.
Sebagai contoh, saat ia menjadi diplomat perwakilan Indonesia, Sultan Hamid selalu aktif dalam perundingan-perundingan yang ia ikuti dan mendorong agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan bangsa Indonesia.
Pun halnya ketika ia membuat rancangan lambang negara Garuda Pancasila. Ia menghimpun bentuk dan konsep mitologi burung Garuda dari seluruh kerajaan dan kesultanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari situlah, Sultan Hamid II kemudian membuat versi terbaik dan paling sempurna dari segala bentuk yang ada.
Tak hanya itu, makna dan filosofi dari bentuk lambang negara Garuda Pancasila itu ia rumuskan dengan sungguh-sungguh dan penuh arti. Dalam hal ini, ia memilih untuk menggunakan filsafat dari konsep tawaf.
Falsafah tawaf mengandung pesan bahwa ide Pancasila itu bisa dijabarkan bersama dalam membangun negara, karena bertawaf atau gilir balik menurut bahasa Kalimantan, artinya membuat kembali (membangun) yang ada tujuannya pada sasaran yang jelas, yakni masyarakat adil dan makmur yang berdampingan dengan rukun dan damai.
Hal ini selaras dengan visi dari Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, bahwa arah falsafahnya bertujuan untuk membangun negara yang bermoral tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama yang ada pada sanubari rakyat bangsa seluruh wilayah, serta tetap memiliki karakter asli bangsanya sesuai dengan jati diri keindonesiaan.