Perjalanan panjang selama puluhan tahun membawa saya menyadari bahwa kita butuh terhubung dengan sifat cinta dan welas asih dari Allah. Bahwa ritual, tirakat, dan sebagianya itu hanyalah jurus belaka. Sedangkan pada intinya kita perlu memiliki energi cinta dan welas asih.
Ada hal-hal yang tidak bisa diatasi. Ada kotoran-kotoran yang tidak bisa dibersihkan dengan apa pun. Ada jalan buntu yang tidak bisa terbuka. Ada penyakit yang tidak bisa sembuh dengan cara apa pun. Ada utang yang tidak bisa lunas dengan pembayaran apa pun. Semua itu bisa diselesaikan dengan cinta dan welas asih.
Alkisah ada orang yang sedang berjualan, namun ia berada dalam ruas jalan satu arah yang arusnya ramai dan hal ini membuat pengendara yang melintas sulit untuk berhenti di warung tersebut. Sang penjual pun merasa gundah dan gelisah akan hal tersebut.
Akan tetapi, setelah ia menyadari bahwa sejatinya dirinya adalah keberlimpahan tanpa batas dan mempraktikkan sikap cinta dan welas asih, yang terjadi adalah warung yang dianggapnya bertempat di lokasi yang tidak strategis sama sekali itu justru didatangi pengunjung secara berbondong-bondong dari berbagai tempat.
Cerita di atas mengajarkan kepada kita jika ada kemarahan, kekecawaan, kecemasan, dan sebagainya, sebenarnya itu bukan diri kita. Artinya ia hanyalah citraan belaka, bukan sejatinya diri kita. Adapun sejatinya diri kita adalah berkelimpahan. cinta Allah tanpa batas, serta kecerdasan tanpa batas. Kita perlu mengetahui hal ini.
Itulah makna agama yang sebenarnya. Agama bukan dan tidak bisa direduksi menjadi sekadar ibadah ritual belaka. Alangkah dangkalnya jika agama dimaknai dengan arti sebatas ibadah ritual, tanpa mencoba memahamai hakikat dan esensi di dalamnya.
Rukun islam itu merupakan dasar atau pondasi, sedangkan yang lebih dalam itu ialah rukun iman. Oleh karena itu, hakikat agama sebenarnya terletak dalam iman dan kesadaran, bukan semata ritual. Tak salah kemudian jika kita mengartikan agama sebagai kesadaran manusia tentang segala hal yang ada di kehidupan.
Agama itu hening bening. Segala hiruk pikuk yang ada di luar itu harus menjadi laithan keheningan kita. Kita tidak boleh terganggu atas hal itu, karena kehidupan di luar sana selalu mengandung hiruk pikuk tersebut.
Sebagai contoh, saat kita terbangun dari tidur itu adalah cermin bagaimana kesadaran kita sebagai manusia. Fenomena yang terjadi hari ini manusia sering mengandalkan alarm untuk alat bantu agar ia bisa bangun tidur.
Padahal tak sedikit pula mereka yang sudah menyetel alarm, namun tak kunjung bangun. Ini sesungguhnya contoh bahwa yang bangun sebenarnya adalah kesadaran kita, bukan terkaget karena mendengar alarm.
Lebih jauh, bagi umat Muslim di mana pun berada, salat Subuh sendiri merupakan tolok ukur bagaimana kesadaran kita, karena ia menjadi ukuran untuk berlangsungnya satu hari ke depan. Jika di waktu salat Subuh saja kita masih berantakan, maka tugas utama kita ialah membenahi aspek itu agar tingkat kesadaran kita bisa meningkat.
Ritual itu belum tentu spiritual. Ritual semata juga belum tentu menghasilkan orang yang beriman. Ritual juga belum tentu vibrasinya selaras dengan rezeki, kebahagiaan, atau ketenangan. Ini merupakan tantangan bagi kita semua. Bahwa ritual itu perlu, namun yang lebih penitng ialah bagaimana kita terhubung dengan kesadaran.
Persoalan manusia secara umum berkaitan dengan sampah, khususnya sampah jiwa yang selama bertahun-tahun dibiarkan dan tidak pernah diselesaikan. Selain itu, persoalan mayoritas manusia hari ini ialah berkaitan dengan aspek finansial. Potret ini terasa ironis karena hal itu sejatinya bertentangan dengan fitrah dasar manusia.
Manusia itu fitrahnya ada empat, yakni mulia, terhormat, berkelimpahan, dan penuh manfaat. Kita harus ingat akan hal ini. Pada dasarnya manusia bisa menjadi magnet keberlimpahan. Rezeki Allah itu layaknya udara atau oksigen yang tersebar di mana-mana. Persoalannya bagaimana kita bisa terhubung untuk menerimanya.
Masalah rezeki ini hendaknya jangan pernah dipahami menggunakan logika semata, karena bentuk rezeki dari Allah pun beragam jenis dan rupanya. Saya ingin mengajak Anda semua yang membaca untuk memahami bagaimana kita bisa menarik rezeki dengan napas.
Ya, Anda tidak sedang salah membacanya. Memang benar yang saya tulis di atas ialah proses menarik rezeki dengan mengolah napas kita. Ada energi dahsyat yang akan termanifestasi jika kita bisa mengolah napas dengan benar. Olah napas ini dilandasi dengan rasa cinta saat proses menariknya, kemudian saat mengembuskannya disertai dengan napas syukur.
Secara praktis, olah napas ini untuk tahap awal bisa dilakukan menjelang tidur dan sesaat setelah terbangun. Pertama kali yang perlu kita ingat saat bangun tidur ialah cinta dan welas asih dari Allah yang tanpa batas. Lalu, yang kedua ialah rasa syukur yang dihembuskan dengan napas.
Cobalah untuk mempraktikkan olah napas ini saat 5 menit sebelum tidur dan juga 5 menit ketika bangun dari tidur. Latihan ini menjadi salah satu cara untuk mengasah tenaga dalam inti dalam diri kita. Karena seribu jurus yang kita punya bisa jadi takkan berarti apa-apa tanpa adanya cinta dan welas asih sebagai tenaga dalam intinya.
Tentu diperlukan konsistensi dalam menjalankan praktik olah napas di atas untuk merasakan dampaknya di dalam kehidupan sehari-hari kita. Tak cukup beberapa hari saja, namun perlu dibiasakan hingga mungkin tak terasa kita mendapatkan jawaban atas persoalan yang kita hadapi.
Jawaban yang kita terima pun akan beragam, tergantung dengan apa yang menjadi problem utama kita. Jika kita sedang sakit, bentuk rezeki yang akan kita terima ialah kesembuhan. Berbeda halnya jika memilii kotoran yang tak kunjung hilang, barangkali pembersihan yang akan menjadi rezekinya.
Atau jika kita dilanda kesulitan finansial, bentuk rezeki yang kemungkinan besar kita dapatkan bisa jadi materi untuk menutup itu semua. Jika kebuntuan yang menjadi persoalan kita, maka jawabannya mungkin berupa jalan yang terbuka dengan lapang. Pada akhirnya, hal yang tak kalah penting ialah kesadaran kita mengenai makna dan arti dari keberlimpahan itu sendiri.
Begitu dangkalnya jika keberlimpahan dimaknai sebagai uang atau materi belaka, karena rezeki dari Allah memiliki jenis dan rupa yang bermacam-macam. Satu hal yang juga tidak kalah penting ialah software yang kita tanam di dalam diri (berbentuk keyakinan atau sistem nilai) bahwa sejatinya kita ialah manusia yang dianugerahi dengan keberlimpahan tanpa batas, bukan sebaliknya.
Penulis: Indra Hanjaya - Chairman