Menapaki Jalan Kedirian: Melampaui Paradoks Rasionalitas dan Spiritualitas

KAMIS, 6 JANUARI, 2022

Menapaki Jalan Kedirian: Melampaui Paradoks Rasionalitas dan Spiritualitas

Jika ada satu hal yang sering menggelayuti pikiran seseorang dalam kehidupan sehari-harinya, maka hampir bisa dipastikan ia berasal dari pertanyaan-pertanyaan besar maupun kecil berkaitan dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Mengapa aku dilahirkan? Untuk apa aku dilahirkan? Dari mana aku berasal? Ke mana aku akan bermuara?

Apa sesungguhnya potensi dalam diriku? Bagaimana aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku? Profesi apa yang kelak aku pilih untuk mendarmakan hidup ini? Jalan mana yang harus aku lalui untuk sampai ke terminal akhir kehidupan?

Itulah beberapa contoh pertanyaan yang mungkin Anda sendiri pernah mengajukannya kepada diri Anda sendiri. Masih banyak lagi kemungkinan pertanyaan yang bisa muncul, baik secara pribadi, keluarga, lingkungan, masyarakat, negara, hingga hal-hal yang melampaui itu semua. Sering kali, kehidupan akan memberikan jawaban dari beragam pertanyaan itu setelah kita mengajukan pertanyaan yang tepat.

Setiap manusia lahir ke dunia membawa misi tersendiri. Layaknya sebuah film, ia memiliki peran dan tugas yang telah dirancang dengan baik oleh sang sutradara. Akan tetapi, manusia acap kali lupa dengan naskah yang telah ia bawa bersamaan dengan kelahirannya pertama kali di dunia. Akibatnya ia kemudian mencoba membuat naskah baru sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan dorongan nafsunya.

Menapaki jalan kedirian adalah satu bentuk penyadaran yang diperlukan oleh setiap orang. Bahwa kehadiran mereka di muka bumi sejatinya membawa risalah yang telah digariskan Tuhan sesuai dengan porsinya masing-masing. Tugas kita ialah mengaktualisasikan potensi diri yang telah dianugerahkan itu menjadi karya nyata yang bermanfaat dan berdampak bagi sesama manusia dan juga alam sekitar.

Segala sesuatu yang manusia dambakan dan harapkan itu sejatinya telah inheren dalam dirinya. Oleh karena itu, hal utama yang harus dilakukan oleh mereka adalah melihat ke dalam dirinya (look inside) untuk menemukan kebenaran yang selama ini dicarinya. Menggali hal-hal yang telah tertancap dalam diri, sehingga kita bisa memanifestasikan apa yang ada di dalam diri untuk keluar dan menemukan tempat perwujudannya.

Belajar dari Pengalaman Al-Ghazali

Jalan Kedirian

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali merupakan seorang filosof, teolog, sekaligus sufi. Ia sering dijuluki tokoh pembaharu pemikiran Islam yang berpengaruh hingga saat ini melalui karya tulis dan buah pikirannya. Al-Ghazali sendiri dinilai sebagai figur krusial yang berperan dalam mengharmonisasikan antara ajaran syariat (esoterik) dan tasawuf (esoteris), sehingga tasawuf kemudian bisa diterima dengan baik oleh masyarakat luas.

Dalam pencariannya akan kebenaran sempat mengalami dua krisis besar, yakni krisis intelektual dan spiritual. Hal ini disebabkan atas keraguan yang dia alami atas seluruh bangunan ilmu pengetahuannya. Atas dasar inilah kemudian beliau mencoba melakukan dekonstruksi dari bacaan, pemikiran, hingga kepercayaan yang ia dapat dari bertumpuk-tumpuk buku, pelajaran dari guru, dan banyak lainnya.

Merespons krisis yang sempat membuat dia tidak bisa mengajar muridnya, timbullah keinginan untuk membangun konstruksi keilmuannya sendiri. Al-Ghazali kemudian merenungi dan melalui tiga jalan dalam pencarian intelektualnya, yaitu dengan indra, akal, dan hati.

Di terminal indra, Al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa indra tidak bisa diandalkan untuk memperoleh pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya. Ia mencontohkan bahwa matahari yang tenggelam tidak tampak oleh indra, padahal akal bisa membenarkan bahwa ia bergerak ke arah barat.

Tak sampai di situ, Al-Ghazali kemudian juga merenungi apakah akal bisa menjadi alat untuk memperoleh kebenaran sejati. Setelah melalui proses berpikir cukup panjang, ia berkesimpulan bahwa akal cukup mumpuni sebagai alat pencari kebenaran, namun ia tidak sampai pada kebenaran primer (the primary truth). Oleh karena itulah ia terus menggali dan mendalami jalan menuju kebenaran hakiki.

Contoh terbaru dari hal ini ialah temuan ilmuwan fisika kuantum yang mengatakan bahwa atom bukanlah partikel terkecil karena ia masih bisa diurai hingga ke apa yang disebut dengan quark.

Akan tetapi, ternyata quark masih bisa dianalisa lagi sampai pada hal yang tak bisa dijelaskan oleh manusia. Fritjof Capra dalam bukunya yang berjudul The Tao of Physics mengemukakan bahwa hal itu bisa dijelaskan jika ada sebuah koneksi tersembunyi (hidden connection) dengan sesuatu yang lebih besar.

Setelah melewati jalan indra dan akal yang berujung pada ketidakpuasan, Al-Ghazali kemudian menguji hati sebagai perangkat untuk menuju kebenaran sejati yang ia cari. Pada terminal hati inilah Al-Ghazali mengalami krisis spiritual atas hidupnya, di mana ia kemudian memutuskan untuk berkhalwat di menara Masjid Umayyah yang berlokasi di Syria dalam waktu yang cukup lama.

Dalam proses tazkiyah al-nafs tersebut, Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Said Hawa mengidentifikasi bahwa ia mengidap penyakit riya. Secara sederhana, riya adalah memperlihatkan diri kepada orang lain agar keberadaannya baik dari segi ucapan, tulisan, sikap, maupun amal perbuatannya diketahui.

Al-Ghazali merincikan ada kurang lebih tiga belas hingga empat belas macam riya yang bertingkat-tingkat. Di sinilah urgensi manajemen hati melalui tazkiyah al-nafs yang dilakukan secara konsisten dan komprehensif.

Transformasi Diri Melalui Takhalli, Tahalli, dan Tajalli

Jalan Kedirian

Secara garis besar, proses transformasi diri manusia melalui tazkiyah al-nafs terbagi menjadi tiga tahap, yakni: takhalli,tahalli, dan tajalli. Takhalli ialah proses pembersihan diri dari hal-hal kotor yang dalam hal ini merupakan sifat dan perilaku buruk kita sebagai manusia.

Dosa yang menumpuk dan terus bertambah dari waktu ke waktu menjadi dasar utama kenapa manusia harus menempuh proses ini. Ditambah tidak ada jaminan kesucian (ma’shum) dalam diri siapa pun kecuali apa yang telah dimaklumatkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Takhalli sendiri perlu terus dilakukan secara kontinyu, bahkan jika seseorang itu telah memasuki tahap tajalli ia tetap harus melakukan proses ini sesuai dengan konteksnya.

Adapun tahalli merupakan tahap dimana seseorang mengisi diri yang telah dibersihkan tadi dengan perilaku dan sifat baik lagi terpuji. Seperti gelas kotor yang telah dibersihkan dan dicuci secara bersih, di tahap tahalli inilah manusia bisa mengisi gelas tersebut dengan bermacam konten-konten kebaikan yang membawa keselamatan dan kemaslahatan bagi seseorang..

Sementara itu, tajalli adalah saat dimana nama (asma), sifat, hingga perbuatan (af’al) Allah termanifestasi dalam diri seorang manusia setelah proses takhalli dan tahalli dilakukan. Menurut Imam Qusyairi, tajalli bisa terjadi karena kemurahan hati Tuhan untuk memperkenalkan diri-Nya melalui penampakan dan kehadiran-Nya di setiap benda, tempat, ruang, waktu, dan dimensi kehidupan manusia.

Dengan metode takhalli, tahalli, dan tajalli inilah seseorang akan bisa mengetahui jalan kediriannya. Menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar yang muncul dan menghantui pikiran kita. Hingga sampailah kita pada kebenaran yang barangkali kita perlukan untuk menyelaraskan pikiran dan hati agar paradoks rasionalitas dan spiritualitas itu menemukan titik temu dan jalan keluarnya.

Aktualisasi tiga tahapan yang telah disebutkan sebelumnya secara tidak langsung juga berbarengan dengan perjalanan mendaki (taraqqi) untuk kembali ke asal muasal sejati dari tiap makhluk hidup, tak terkecuali manusia, yakni Tuhan pencipta langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya.

Proses naik kembali kepada Tuhan itu kemudian sering kali dibagi menjadi empat etape, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Keempat komponen itu hendaknya tidak dilihat secara vertikal, melainkan dengan sudut pandang siklikal. Hal ini dikarenakan kesemuanya itu berkait kelindan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Metafor dari proses perjalanan empat etape di atas bisa dilukiskan dengan cerita orang yang melaut untuk mencari mutiara. Syariat ialah ketika kita sedang berada dalam kapal yang masih teronggok di tepi lautan karena jangkar yang menahannya masih belum dilepaskan oleh sang pelaut. Selanjutnya, tarekat merupakan saat kita telah melayarkan kapal ke tengah lautan dengan misi utama untuk menemukan mutiara.

Hakikat sendiri ibarat pelaut yang kemudian turun dari kapal untuk menyelam ke dasar lautan dengan berbagai konsekuensi dan resiko di hadapannya. Jika tak berhati-hati, sang pelaut itu tentu bisa tenggelam dan menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

Adapun ma’rifat bisa dianalogikan dengan keberhasilan pelaut dalam menemukan mutiara yang terbenam di dasar lautan, lalu kemudian ia kembali menaiki kapal dan menjalani kehidupan normal di daratan dengan membawa kesadaran keilahian yang menjadi penggerak dari setiap keputusan dan perilaku yang diambil pelaut tersebut dalam kesehariannya sebagai manusia.


Leave a Reply