Sejak peradaban manusia dimulai di dunia, terdapat banyak peristiwa yang terjadi dan terekam dalam sejarah. Dengan kelengkapan dan fasilitas yang terkandung dalam diri manusia, mereka kemudian merespons berbagai kejadian yang ada dengan pilihan-pilihan yang beragam. Jika kita cermati lebih dalam, kecenderungan manusia dalam menanggapi sebuah peristiwa biasanya terbagi menjadi dua jenis besar, yakni didasari atas pertimbangan intelektual dan kemantapan hati.
Dikotomi di atas memang terkesan simplistis di satu sisi. Akan tetapi, pada sisi lainnya pembabakan itu berangkat dari fenomena yang muncul dan berkembang pada masyarakat secara umum. Contoh nyata dan sederhana dari hal ini ialah saat kita dihadapkan dengan pilihan untuk menggapai cita-cita yang telah kita canangkan di tengah berbagai tantangan dan hambatan, seperti faktor finansial yang kurang mendukung, himpitan sosial dan kebudayaan, hingga kekalahan secara politis.
Jika ilustrasi di atas terjadi dalam kehidupan kita, pilihan mana yang kira-kira akan kita ambil? Meneruskan impian dan cita-cita itu hingga terwujud dengan risiko besar di hadapan kita? Atau justru memilih untuk memendam cita-cita dan menggantinya dengan menyesuaikan diri terhadap realitas yang lazim dalam struktur masyarakat?
Sebenarnya ada satu pembeda penting antara kalangan optimis dan kelompok yang pesimis. Hal yang membedakan itu bisa disebut dengan keyakinan. Ya, Anda tidak salah membacanya, ia bernama keyakinan. Banyak kemustahilan menjadi kenyataan akibat dorongan keyakinan yang besar. Sebaliknya, tak kurang pula keberhasilan di depan mata berbalik menjadi kegagalan akibat kadar keyakinan yang rendah.
Cerita Dokter dari Inggris
Sekitar tahun 1952, dunia kedokteran secara global dibuat geger dengan kisah dan pengalaman dokter muda asal Inggris bernama Albert Mason. Sebabnya, ia berhasil mengobati penyakit genetik bernama ichthyosis yang diderita anak berusia 15 tahun melalui hipnosis. Dengan membalikkan simtom yang muncul dengan kekuatan pikiran (mind), Mason berhasil mengembalikan hampir seluruh kulit sang anak menjadi normal kembali.
Apa yang dialami Mason tersebut kemudian dipublikasikan dalam jurnal berjudul A Case of Congenital Ichthyosiform Erythrodermia of Brocq Treated by Hypnosis dan diterbitkan oleh British Medical Journal. Berkat itu, nama Mason pun sekejap menjadi bahan pembicaraan oleh kalangan ilmuwan dan dokter di berbagai dunia. Permintaan untuk melakukan hal serupa pada penyakit sejenis pun bermunculan. Sayangnya, hingga akhir hayatnya Mason tidak bisa mengulangi penyembuhan penyakit ichthyosis dengan cara hipnosis yang pernah ia lakukan.
Lantas apa yang membuat Mason kehilangan daya magis dalam mengobati pasiennya dengan cara hipnosis? Usut punya usut, satu hal yang menjadi penghalang besar dalam diri Mason untuk melakukan hal itu ialah karena keyakinan yang berubah secara drastis dalam dirinya tentang bagaimana mekanisme pengobatan penyakit tersebut.
Sejak ceritanya dipublikasikan, Mason mendapat banyak respons yang mengatakan bahwa ichthyosis sejatinya merupakan penyakit bawaan yang tidak bisa disembuhkan. Kepercayaan itulah yang kemudian menghinggapi dan terprogram dalam diri Mason. Alhasil, sekuat dan secanggih apa pun peralatan yang ia gunakan tentu tidak akan berhasil jika program pikiran dalam dirinya masih meyakini bahwa penyakit itu tidak bisa disembuhkan.
Temuan Fisika Kuantum: Pikiran Bisa Mengontrol Tubuh Manusia
Perkembangan ilmu dan pengetahuan saintifik membawa dunia fisika beranjak dari corak Newtonian menuju apa yang disebut dengan dunia fisika kuantum. Ia dibangun salah satunya dari tesis besar bahwa manusia merupakan makhluk energi, bukan semata makhluk materi. Oleh karena itu, dampak logisnya adalah pikiran (energi) dan tubuh (materi) memiliki ikatan dan pola hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Meskipun kedokteran Barat masih memperdebatkan hal ini akibat doktrin Rene Descartes yang menyatakan bahwa pikiran tidak bisa mempengaruhi tubuh fisik, akan tetapi format biologi baru (new biology) terus berkembang ke arah sana dengan dukungan dan validasi dari fisika kuantum dalam temuan-temuan ilmiah kontemporer.
Mekanika semesta fisika kuantum menunjukkan bagaimana tubuh fisik dapat dipengaruhi pikiran yang bersifat imaterial. Energi yang berasal dari pikiran dapat mengaktifkan atau menghambat fungsi sel dalam memproduksi protein melalui mekanika interferensi konstruktif dan destruktif sebagaimana dijelaskan oleh Bruce Lipton dalam karyanya yang berjudul The Biology of Belief.
Salah satu temuan Lipton yang menurutnya paling menarik ialah ketika ia meneliti tentang kloning sel-sel yang melapisi pembuluh darah. Ia mengamati bagaimana respon dan perilaku yang terjadi dalam sel tersebut. Hasilnya, eksperimen itu mengungkapkan kebenaran bahwa pikiran yang bertindak melalui adrenalin sistem saraf pusat bisa mengontrol tubuh yang bertindak melalui sinyal histamin lokal pada organisme multisel yang terkandung salam sel pelapis pembuluh darah tersebut.
Dari sudut pandang lain, contoh bagaimana keyakinan yang dihasilkan dari pikiran dapat berperan penting terhadap keberhasilan sebuah percobaan bisa dilihat dari praktik religius kuno berjalan di atas bara api. Para pejalan spiritual berkumpul setiap hari untuk memperluas ranah kesadaran dengan berjalan melintasi petak batu bara panas.
Temperatur bara yang panas dan jangka waktu ketika kaki menginjaknya harusnya sudah cukup untuk membuat kaki seseorang lepuh dan merasa kesakitan . Akan tetapi, faktanya ribuan orang keluar dari ritual tersebut tanpa cedera. Dari sini, terlihat bagaimana faktor keyakinan dari program pikiran manusia memegang aspek vital dalam mendorong berhasil atau tidaknya sebuah praktik tertentu.
Dua kasus yang penulis kemukakan di atas merupakan pintu gerbang untuk memasuki tingkat kesadaran yang lebih tinggi, sehingga kita bisa memahami sifat kehidupan lebih dalam lagi demi mencari kebenaran. Dengan itulah, kita mampu mentransformasikan diri kita menuju pribadi yang holistik dan seimbang dalam berbagai aspeknya.
Satu fakta yang perlu Anda garis bawahi ialah pemberdayaan kekuatan pikiran yang menghasilkan keyakinan sejatinya lebih ampuh dan efektif daripada mengandalkan obat-obatan. Lebih jauh, riset yang dilakukan Bruce Lipton bahkan sampai pada kesimpulan bahwa energi merupakan wahana yang lebih efisien untuk mempengaruhi materi dibanding substansi kimia yang beredar di pasaran.