Memetik Hikmah di Bulan Muharram dengan Kesadaran, Penghargaan, dan Rasa Syukur Pada Kehidupan

MINGGU, 31 JULI, 2022

Memetik Hikmah di Bulan Muharram dengan Kesadaran, Penghargaan, dan Rasa Syukur Pada Kehidupan

Di perjalanan kehidupan yang kita lalui saat ini, kebanyakan manusia seringkali kurang menyadari serta mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah. Padahal, jika tidak disadari, nikmat itu bisa menjadi bumerang yang akan mengantarkan kita menjadi orang yang kufur akan nikmat-Nya.

Saat kita kufur, di situlah kita akan semakin jauh dari anugerah dan karunia-Nya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus meningkatkan kemampuan bersyukur atas segala hal yang diberikan oleh Allah.

Lebih jauh, bahkan seyogianya kemampuan bersyukur kita harus selalu berada di atas kadar nikmat yang diberikan oleh-Nya, sehingga tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak mensyukuri hal-hal yang kita terima dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Rasa syukur atas rezeki, ilmu, kesehatan, dan banyak lainnya.

Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad saw juga menyatakan bahwa sebaik-baik doa adalah dengan bersyukur sebagaimana hadis berikut ini:

Dari Jabir bin Abdullah ra berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallahu dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Kalimat alhamdulillah yang menjadi redaksi dalam hadis tersebut ialah manifestasi dari ungkapan syukur yang diajarkan oleh beliau untuk didawamkan oleh kita sebagai umatnya dalam merespons apa pun yang terjadi dalam hidup ini.

Di samping meningkatkan rasa syukur, hal yang perlu dilakukan oleh kita di awal tahun hijriah ini ialah berikhtiar untuk terus memperbaiki diri dari hari ke hari. Tak bisa dipungkiri, kondisi kebanyakan manusia saat ini sedang sakit jiwanya akibat luka batin yang tak kunjung sembuh.

Bila dianalogikan dengan dunia kedokteran secara profesional, orang yang memiliki luka batin ibarat pasien yang perlu masuk ke dalam ruang bedah untuk dilakukan tindakan operasi.

Tak pelak, proses pembersihan diri (takhalli) menjadi hal mutlak yang harus dilakukan. Terlebih jika itu menyangkut penyakit hati, karena yang paling berat untuk disembuhkan bukanlah penyakit fisik, melainkan penyakit hati yang ada dalam diri.

Perlu diingat juga bahwa saat kita terlahir ke dunia, secara tidak langsung kita sebenarnya sudah membawa secara otomatis program-program yang kurang baik bagi diri kita, entah dari kebiasaan atau sikap kurang baik yang diwariskan orang tua atau dari program diri yang tidak kompatibel dengan kebaikan diri.

Jika ditarik lebih jauh, pada saat proses penciptaan manusia, Allah swt sendiri menyelipkan unsur fujur dan unsur taqwa. Unsur kebajikan dan keburukan. Unsur kelalaian dan kesadaran. Di sinilah pentingnya sikap istiqomah/konsistensi untuk seseorang terus melakukan kebaikan, sehingga orang tersebut bisa tetap berada di jalur kebaikan.

Mengapa upaya pembersihan diri penting untuk dilakukan secara terus-menerus? Beberapa riwayat dari para ulama ini mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi kita. Pertama, ada sebuah dari riwayat seorang ulama melakukan uzlah, tirakat, dan sejenisnya untuk mencapai ma’rifat. Akan tetapi, semua upaya itu tidak mampu menembus kondisi ma’rifat. Justru yang menembus itu ketika ia konsisten beristighfar setiap pagi dan malam.

Kedua, tersiar sebuah riwayat dari seorang ulama yang menghabiskan waktu beribadah selama 309 tahun di batu. Saat ditakar, apa yang beliau lakukan itu ternyata hanya mampu ditukarkan dengan karunia Allah berupa sebiji mata. Betapa kecilnya nilai dari ibadah kita di sisi-Nya. Padahal, nilai karunia Allah paling ringan ialah tubuh fisik, sedangkan yang paling berat ialah tauhid dan kesadaran.

Berbeda dengan setengah abad silam, proses pembersihan diri di era saat ini bisa melalui perantara energi alam semesta terbaik yang bisa ditemukan di tempat-tempat tertentu. Meskipun demikian, peran mursyid sebagai pembimbing tidak bisa dilepaskan dalam proses pembersihan diri seseorang.

Dengan melakukan proses takhalli secara intens, peluang seseorang untuk mencapai ma’rifat juga terbuka lebar. Melalui mekanisme itu pula, kesadaran seseorang bisa terelevasi dengan baik. Kesadaran sendiri ibarat keran. Jika ia bagus, airnya akan mengalir dengan baik dan deras. Sebaliknya, jika ia tidak bagus, maka keran itu akan tersumbat dan tidak bisa mengalirkan air dengan baik.

Setelah proses takhalli, kita juga perlu melakukan tiga hal penting. Pertama, ialah menyadari nafas kita dengan disertai melafalkan asma-Nya. Selain itu, kita juga perlu meniatkan diri untuk memohon pertolongan agar hari itu kita bisa melakukan akitivitas kebaikan sebanyak mungkin.

Tak lupa, melakukan doa rahasia setiap pagi dalam mengawali hari menjadi salah satu treatment untuk menyembuhkan penyait hati. Dengan doa rahasia itu pula kita akan dijauhkan dari dominasi ego dan membuat hati kita akan menjadi semakin lembut. Doa ini tidak terbatas pada orang-orang terkasih kita, melainkan juga kepada orang yang menzalimi kita, serta kepada makhluk ciptaan-Nya selain manusia.

Kedua, menghargai setiap hal yang mewarnai kehidupan kita, mulai dari sandal yang kita gunakan, sajadah yang menjadi alas dalam beribadah, air yang berperan penting untuk kita berscui dan mandi, serta banyak hal lain yang menjadi perantara kita dalam menjalani aktivitas rutin tiap harinya.

Selanjutnya, hal ketiga yang harus kita lakukan setelah proses pembersihan diri ialah dengan mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidup kita. Salah satu manifestasi dari proses syukur yang cukup cepat dalam mendorong pertumbuhan spiritual kita ialah dengan berbagi dan memberi kepada orang lain (bisa berupa mendoakan orang lain, bersedekah, dan lain sebagainya).


Leave a Reply