Membersihkan Gudang Emosi

SENIN, 14 JULI, 2025

Membersihkan Gudang Emosi

Persoalan manusia hari ini adalah begitu banyaknya emosi yang tersimpan di dalam gudang, namun kita tidak menaruh perhatian untuk mau membersihkan isi di dalamnya. Emosi itu berupa rasa sakit, marah, kecewa, dan berderet jenis emosi lainnya.

Disebut sebagai gudang karena memang yang terkandung di sana ada begitu banyak jenis emosi, yang dalam hal ini khususnya ialah emosi yang bersifat negatif. Jika emosi negatif itu tidak dibersihkan, maka yang akan tampak dan muncul ke permukaan tentu juga emosi negatif.

Gudang emosi yang tidak terurus juga akan berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Dalam praktiknya, hal ini akan membuat manusia bersikap dan menunjukkan perilaku yang tidak baik, seperti marah-marah, melayangkan sumpah-serapah, dan manifestasi sikap buruk lainnya terhadap orang di sekitar kita.

Sebelum melanjutkan ke pembahasan terkait bagaimana membersihkan gudang emosi, perlu saya tekankan lagi bahwa ada kotoran atau noda yang bisa dibersihkan, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, utang yang tidak akan bisa terbayarkan, atau kegelapan yang tidak bisa mendapatkan pencerahan.

Semua hal itu tidak akan cukup ditebus dengan berbagai ibadah ritual yang kita lakukan belaka. Perlu lebih dari itu untuk menyelesaikannya, yakni dengan sikap cinta dan welas asih. Tak sampai di situ, diperlukan energi yang cukup agar dapat membereskan hal-hal yang tidak bisa dibereskan dengan sekadar ritual belaka.

Secara sederhana, manusia dalam hidup ini memiliki status yang sama. Mereka adalah nasabah dari bank semesta. Artinya, setiap diri memiliki catatan energi atas apa yang masing-masing lakukan. Ada yang surplus energi, dan di sisi lain juga ada yang minus tabungan energinya.

Jika tabungan energi yang kita miliki tidak cukup (minus), maka efek sampingnya ialah kita mau tidak mau harus menggunakan cadangan energi yang berasal dari ego dan nafsu. Hasilnya tentu bisa Anda tebak. Kehidupan dan perilaku yang tercermin kemudian akan berlandaskan oleh ego dan nafsu pribadi semata.

Semakin minus energi yang kita punya, hal ini juga perlu disadari akan berimbas terhadap anak dan keturunan kita. Inilah yang disebut dengan energi antar generasi. Ia bisa berasal dari puluhan tahun, ratusan tahun, hingga ribuan tahun yang lalu.

Ada banyak kisah nyata tentang fenomena energi antar generasi ini. Sebagai contoh, ada cerita tentang seseorang yang dalam silsilah keluarganya selalu ada yang terkena penyakit kanker sebelum meninggal dunia. Ada pula yang dampak energi antar generasi itu berwujud dalam kezaliman yang mesti dirasakan oleh setiap satu perwakilan dari generasi sebelum mereka mendapatkan kesuksesan.

Seringkali bahkan mereka yang dipilih untuk mendapatkan serta menyelesaikan persoalan energi antar generasi ialah mereka orang saleh atau mereka yang bisa disebut sebagai figur terbaik. Oleh karena itu, di sisi lain mereka yang ditakdirkan untuk menanggung energi antar generasi itu akan dinaikkan derajatnya oleh Allah Swt.

Berkaitan dengan hal ini, penting kiranya bagi kita untuk menyadari bahwa warisan yang bisa ditinggalkan kepada anak cucu kita di masa depan bukan hanya berupa harta, deposito, properti, atau sejenisnya. Akan tetapi, warisan yang tak kalah berharga bagi generasi setelah kita ialah perilaku baik, energi, serta akhlak yang mulia.

Warisan-warisan itulah yang kelak bisa menjadi modal bagi masa depan anak cucu kita untuk hidup yang lebih baik. Sebaliknya, jika warisan yang kita tinggalkan berupa keburukan, maka yang akan ditanggung oleh anak cucu kita kelak ialah keburukan pula.

Dalam perspektif lain, perwujudan mengenai energi ini juga sebenarnya tercermin dalam hal-hal yang mungkin selama ini kita terima begitu saja tanpa menyadarinya (taken for granted). Saat kita mampir ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat misalnya, apakah kita menggunakan air di sana? Belum lagi jika kita juga melakukan buang air kecil atau besar di sana.

Pertanyaannya apakah kita sadar bahwa ada pertukaran energi di sana yang seharusnya perlu dilakukan? Kita bisa memberikan pertukaran energi itu dalam bentuk uang yang dimasukkan ke dalam kotak amal atau keropak yang tersedia di masjid tersebut.

Jika kita tidak memberikan pertukaran energi, maka dalam bahasa lain sebenarnya hidup kita disubsidi oleh masjid tersebut. Tidakkah kita malu dengan hal itu? Untuk membeli berbagai barang atau aset berharga saja kita bisa, namun untuk melakukan pertukaran energi terhadap fasilitas di masjid kita enggan memberikannya.

Oleh karena itu, dalam gambaran yang lebih besar, sejatinya tidak ada yang gratis dalam kehidupan kita di dunia ini. Artinya kita perlu menyadari bahwa untuk setiap hal yang kita dapatkan, maka di situ perlu ada pertukaran energi yang diberikan. Apalagi jika itu berkaitan dengan energi guru atau mentor yang bersedia mencurahkan waktu dan sebagian besar energinya untuk membantu persoalan kita.

Ilustrasi lain misalnya bagaimana respons kita saat mendapatkan uang. Jika kita menggunakan perspektif energi, maka saat kita merasa senang ketika menerima uang, seharusnya perasaan senang hal itu berbanding lurus saat kita mengeluarkan uang. Bukan malah menggenggam dan merasa sedih jika harus mengeluarkan uang.

Apa yang saya tulis berkaitan dengan energi antar generasi serta pertukaran energi di atas memiliki korelasi yang begitu kuat dengan bagaimana kita bisa membersihkan gudang emosi. Berbagai emosi yang kita rasakan itu pada titik lain sebenarnya juga terkait dengan dua hal tersebut yang barangkali luput untuk kita selesaikan.

Oleh karena itu, membersihkan gudang emosi bisa dilakukan dengan memulai untuk menyelesaikan problem antar generasi (jika kita adalah orang yang dipilih oleh Allah untuk menyelesaikannya) serta dengan kesadaran penuh memberikan pertukaran energi kepada orang-prang atau pihak yang mungkin belum kita berikan haknya.

Aspek selanjutnya yang juga tak kalah penting ialah bagaimana kita bisa memupuk sikap cinta dan welas asih di dalam diri kita, karena problem mengenai energi antar generasi yang terjadi itu bisa diputus dengan menggunakan energi cinta dan welas asih.

Penulis: Indra Hanjaya - Chairman


Leave a Reply