Membangun Keselarasan Diri untuk Menjalani Misi Jiwa

RABU, 1 OKTOBER, 2025

Membangun Keselarasan Diri untuk Menjalani Misi Jiwa

Hari ini, salah satu fenomena yang terjadi di masyarakat secara luas ialah terjadinya penggerusan makna tauhid. Banyak dari kita mengarah kepada ateis, baik secara sadar atau tidak dasar. Hal ini juga merupakan efek dari teknologi yang semakin terbuka dengan beragam media sosial di dalamnya.

Begitu banyak ilmu-ilmu yang disebarkan secara cuma-cuma, namun berbahaya jika kita tidak bisa menyaring apa yang kita konsumsi. Ini termanifestasi misalnya terhadap ilmu pemberdayaan diri, psikologi, dan sejenisnya. Letak bahaya itu ketika kita merasa memahami ilmu-ilmu di atas, namun tidak dibarengi dengan perilaku yang sesuai.

Pada titik ini, akhlak mulia menjadi komponen penting dalam kehidupan keberagamaan dan kehidupan sosial kita sebagai manusia. Akhlak yang mulia di sini perlu dipahami bahwa ia tidak akan terjadi tanpa tauhid. Justru ia memerlukan tauhid sebagai basis dan penopang utamanya.

Saat kita masuk ke kesadaran akhlak mulia, maka efeknya adalah apa pun itu terlihat seperti surga, apa pun terasa bahagia, dan apa pun berlaku menjadi cahaya.

Akan tetapi, yang perlu kita introspeksi ialah bagaimana kondisi diri kita. Apakah jangan-jangan kita menjurus kepada kesadaran ateis atau kesadaran akhlak mulia? Untuk itu, tentu saja kita perlu waspada dan hati-hati dengan pembelajaran yang ada di media sosial, terutama berkaitan dengan ilmu tauhid dan ketuhanan.

Seorang mursyid yang asli tidak akan pernah menggunakan media. Orang yang tampil di media itu rata-rata ada di permukaan. Mereka bukan berarti mengarahkan manusia untuk ateis, namun bisa jadi pemahaman kita yang kurang tepat atas pembelajaran tersebut membuat kita cenderung menjadi ateis.

Syarat belajar ilmu-ilmu seperti tasawuf dan turunannya itu harus berhadapan dengan gurunya. Ijazah pun tidak boleh secara daring, namun harus bertemu secara tatap muka.

Agama itu ada dua versi, yakni simbol dan fungsi. Kalau hanya berfokus pada simbol, maka selamanya akan menderita. Allah tidak bisa didekati dan dikenali dengan simbol. Ia hanya alat pembantu agar kita tunduk dan patuh dari dalam.

Simbol itu penting, namun fungsi lebih penting. Serba simbol akhirnya serba menderita, serba cemas, dan apa-apa harus menggunakan nafsu. Mempelajari agama tapi kita justru terjun ke dalam kesadaran ateis. Jika hanya berkutat pada simbol, maka hasilnya akan semu.

Perlu dipahami bahwa sebenarnya mengarahkan kita kepada ateis secara halus tapi pasti itu justru yang berbau agama, berbau ritual, atau berbau ibadah. Ada ciri-ciri dari syirik khafi. Ada kedok mursyid yang berbicara atas nama ilmu-ilmu dalam, namun sejatinya tidak seperti itu.

Dari segi lahiriah mungkin kita menemukan orang yang ibadahnya lebih taat, dan akhlaknya lebih baik. Namun, pada hakikatnya ia sedang mengarah kepada kesadaran ateis. Ini juga sedang terjadi di dunia pemberdayaan diri. Misalnya dalam proses untuk meraih keberlimpahan (abundance).

Hukum semesta, hukum sebab-akibat, hingga law of attraction bisa terjadi tanpa iman. Ada hukum yang sifatnya terbatas, dan ada hukum yang sifatnya tak terbatas. Ilmu-ilmu untuk menarik keberlimpahan yang banyak digunakan hari ini tergolong kepada hukum yang terbatas, sedangkan manusia sejatinya bisa mendapatkan keberlimpahan melalui hukun yang tak terbatas, atau dalam hal ini disebut juga dengan hak ilahiah.

Lebih lanjut dari itu, aplikasi spiritual itu dasarnya dari berangkat makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Jika seseorang tidak beres dalam aspek makanannya, maka kemungkinan besar pada aspek-aspek yang lain juga bermasalah di dalamnya.

Di sinilah kemudian perbedaan antara agama sebagai ritual dan fungsi berlaku. Kalau ingin mencari solusi dengan ritual, maka itu tergolong ke dalam simbol dan ia tidak bertenaga. Ada tira-tirai yang tidak bisa ditembus dengan simbol, dan hanya bisa ditembus dengan fungsi

Mungkin coba kita cek kembali masing-masing. Pagi tadi kita melaksanakan salat Subuh apakah tergolong ke dalam simbol atau fungsi. Perayaan maulid yang kita lakukan setiap tahun apakah merupakan manifestasi dari simbol atau fungsi? Doa yang kita panjatkan apakah termasuk ke dalam simbol atau fungsi?

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa ketika kita sudah memaknai agama sebagai simbol dan fungsi, maka kita tidak akan menoleh ke kiri atau ke kanan, karena kita akan fokus kepada diri sendiri untuk membenahi apa saja yang masih kurang dari diri kita.

Kata kunci yang perlu dibenahi adalah keselerasan eksternal dan internal. Dalam aspek internal, kita perlu selaras dengan hati dan kesadaran, selaras dengan pikiran, selaras dengan ucapan, dan selaras dengan tindakan. Makrifat itu puncak keselarasan dari empat hal tersebut.

Sementara itu, aspek eksternal yang dimaksud di sini ialah bagaimana kita bisa selaras dengan Allah dan semesta karena ini adalah sumber hidup. Bagi siapa pun yang selaras dengan Allah dan semesta, maka ia akan memperoleh fasilitas surga di dunia.

Sumber penderitaan adalah ketidakselarasan kita terhadap komponen yang telah disebutkan di atas. Sebagai contoh, ketidaksesuaian antara ucapan, pikiran, dan tindakan. Hasilnya adalah kepalsuan yang tampak. Oleh karena itu, yang harus kita jaga, waspadai, dan memohon kepada Allah agar terhindar ialah terhadap penyakit ini, yakni beda antara di dalam dan di luar, beda antara rasa, ucapan, dan perilaku dan sejenisnya.

Banyak orang bermasalah dalam dua hal di atas, sehingga hal utama yang perlu dibenahi ialah aspek internal dan eksternal. Makna internal di sini ialah selaras antara kesadaran, pikiran, ucapan, dan tindakan. Sedangkan aspek eksternal ialah keselarasan diri kita terhadap Allah dan semesta.

Definisi alam semesta adalah segala sesuatu selain Allah. Cakupan alam semesta ini paling luas daripada yang lain. Ada beberapa cara untuk membangun keselarasan dengan Allah dan semesta. Salah satu metode praktis untuk terhubung dengan alam semesta ialah melalui meditasi.

Kedua, yakni melalui kesadaran (mindfulness). Ketika kita menyentuh gagang gelas saat hendak meminum kopi, dan kita bisa menyadari peristiwa itu, maka di situlah esensi kesadaran hadir. Kemudian kita jua menghirup dan menyadari aroma kopi itu. Peristiwa sederhana di atas jiak kita hayati bahkan bisa membuat kita terurai air mata.

Ketiga ialah dzikru daim, yakni menjadikan proses dzikir sebagai sesuatu yang manunggal di setiap aktivitas sehari-hari yang kita lakukan. Adapun yang keempat ialah adalah jujur. Tidak ada kebohongan, tidak manipulatif, tidak ada kepalsuan. Jika kita masih hitam di dalam, maka tidak perlu berpura-pura tampak putih di luar.

Turunan dari membangun keselerasan internal dan eksternal itu secara aplikasi dapat dilakukan dengan melakukan pembersihan gudang emosi. Hal ini dikarenakan jika gudang emosi itu tidak dibersihkan maka akan terjadi tiga hal yang berbahaya, yakni sabotase diri, kecanduan dari masalah, dan kuasa gelap.

Oleh karenanya, pembenahan gudang emosi menjadi hal yang sifatnya prinsip. Untuk bisa selaras, kita perlu berupaya dulu agar mencapai fitrah, sehingga hak ilahiah akan kita terima dan pertolongan Allah masuk dan terbuka jalan-jalan yang mungkin selama ini tersumbat dalam hidup kita.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, upaya secara sungguh-sungguh dan serius (massive action) yang dibarengi dengan pertolongan Allah, maka ia akan menghasilkan rahmat bagi kehidupan manusia. Banyak doa dan upaya kita yang justru gagal karena rasa dan kesadaran kita yang tidak sinkron. Untuk itu, satu hal yang penting ialah pastikan batin kita tidak mencegah ikhtiar kita.

Salah satu yang sering terjadi juga terhadap manusia ialah begitu banyak emosi dengan berbagai variannya yang masuk, tapi gudang emosinya penuh. Di sinilah lagi-lagi letak pembersihan gudang emosi menjadi penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk langkah awal pembersihan gudang emosi. Ketiga hal itu ialah dengan melakukan olah nafas, memandang siapa pun dengan pandangan kasih (ainur rahmah), dan biasakan doa rahasia serta salam sepenuh cinta.


Leave a Reply