Panggung sejarah dunia dari waktu ke waktu diisi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan kapasitas diri yang mumpuni. Dalam skala global, sebut saja nama-nama seperti Karl Marx, Joseph Stalin, Adolf Hitler, Mao Zedong, Mahatma Gandhi, hingga Hasan al-Banna?
Dari dunia aktivisme, siapa yang tak mengenal, Fidel Castro, Che Guavara, Malcolm X, serta Tan Malaka? Atau jika Anda belum terlalu familiar dengan nama di atas, tentu kita kemungkinan besar mengenal sosok Soekarno, Moh. Hatta, dan Gus Dur?
Bagi Anda yang mendalami dunia teknologi, tentu tak asing dengan Steve Jobs? Penikmat kebudayaan nasional juga pasti mengenal budayawan Ajip Rosidi? Nama tokoh-tokoh di atas adalah contoh nyata tentang bagaimana membaca bisa menjadi kekuatan yang begitu dahsyat.
Meminjam bahasa Suherman dalam buku yang ditulisnya, merekalah orang-orang yang besar karena membaca. Sebagai contoh, dari riset yang dilakukan atas total jumlah buku yang sudah dibaca oleh Soekarno, didapati kesimpulan bahwa ia setidaknya meluangkan waktu selama 5 jam dalam sehari untuk membaca sepanjang rentang hidup yang dijalaninya.
Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian ialah mengapa membaca ini terasa begitu penting? Mengapa orang-orang yang besar di panggung sejarah dunia hampir seluruhnya adalah seorang pembaca? Bagaimana membaca bisa menghasilkan dampak yang begitu dahsyat kepada mereka?
Selama ini, kita sering kali menganggap proses membaca sebagai aktivitas yang melibatkan aspek kognitif (pikiran) belaka. Tak heran kemudian jika anak-anak sekolah yang disodori buku untuk dibaca cenderung enggan dan memilih kegiatan lain yang lebih menarik.
Padahal, membaca bukan hanya bagian dari olah pikir saja. Jika menggunakan teori Panca Olah yang didasarkan pada pendekatan inside-out (proses untuk transformasi diri yang dilakukan dari dalam menuju ke luar), membaca tergolong ke dalam kegiatan olah pikir, olah hati, dan olah rasa.
Artinya, dalam proses membaca yang kita lakukan sebenarnya terjadi persentuhan dan interaksi antara jiwa penulis dengan jiwa pembaca. Ada emosi dan rasa yang hendak disampaikan oleh sang penulis kepada pembaca, dan kadar penyerapan dua hal tersebut tentu berbeda antara satu pembaca dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, tak jarang kita mendengar seseorang yang berkelakar bahwa setelah membaca buku tertentu, ia mengalami perubahan yang signifikan dalam hidupnya.
Tentu itu bukan bualan belaka, karena sejatinya memang terjadi transfer energi, pengetahuan, nilai, hingga makna dari seorang penulis kepada pembaca yang hadir utuh dan sadar penuh dalam proses membaca yang ia lakukan.
Memahami Proses Membaca Sebagai Kebutuhan Spiritual
Jika selama ini Anda beranggapan bahwa membaca memerlukan media berupa buku, jurnal, koran, majalah, artikel, atau hal-hal semacam itu, dalam artikel ini saya ingin mengajak Anda untuk meluaskan makna dari proses membaca.
Coach Indra Hanjaya, Founder Panca Olah Institute, dalam banyak kesempatan sering menyampaikan bahwa saat ini diperlukan gerakan literasi spiritual yang masif dan proaktif di berbagai tempat yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Literasi spiritual yang dimaksud di sini adalah pemaknaan lebih luas dan mendalam dari proses membaca, yakni membaca sebagai bagian untuk proses mengenal diri sendiri (membaca diri) dengan tujuan utama agar menjadi pribadi yang holistik.
Menjadi manusia yang memiliki karya, cipta, dan kesadaran fitrah untuk berkontribusi, mencintai, dan saling mengasihi dalam kehidupan sehari-hari.
Pengenalan diri tentu menjadi sesuatu yang amat penting untuk dijalani oleh setiap orang, karena dengan pengenalan akan diri sendiri itulah kita baru bisa mengenal Tuhan.
"Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya."
Makna dari untaian kalimat bijak yang kemungkinan besar dipopulerkan oleh Ali bin Abi Thalib ini juga ditemukan dalam khazanah peradaban masyarakat Jawa yang memiliki pedoman hidup (patrap) yang bernama sangkan paraning dumadi.
Lalu, bagaimana proses pengenalan diri itu bisa dilakukan? Dalam literatur tasawuf metode yang digunakan ialah takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli ialah proses pembersihan diri dari hal-hal kotor dalam diri kita, mulai dari dosa, sifat dan perilaku buruk, serta sampah lahir maupun batin yang tiap hari kita produksi secara sadar maupun tidak sadar.
Lebih lanjut, tahalli merupakan tahapan di mana seseorang mengisi diri yang telah dibersihkan tadi dengan perilaku dan sifat baik lagi terpuji. Sedangkan, tajalli adalah konsekuensi dari kemurahan Tuhan yang berkenan untuk menampakkan nama (asma’), sifat, hingga perbuatan (af’al) dalam diri manusia setelah proses takhalli dan tahalli dilakukan.
Coach Jaya, seorang Spiritual Life Coach yang telah malang melintang dalam dunia pemberdayaan diri selama belasan tahun, menyederhanakan tiga tahapan ini dengan proses pembersihan, pengaktifan, dan penyeimbangan.
Membaca diri dalam terapannya bisa dikemas dalam bentuk yang beragam. Ada yang menyebutnya dengan inner self dialogue, self-talk, ziarah ruang dalam, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, proses membaca diri ini dalam tingkatan yang lebih lanjut membutuhkan seorang mentor untuk membimbing dan mengarahkan kita mengenali jati diri.
Setelah kita sadar bahwa membaca adalah kebutuhan spiritual, maka sudah selayaknya kita meluangkan waktu untuk berlatih membaca diri, di samping tetap melakukan pengembangan diri dengan membaca dalam artian umum.
Berbicara tentang literasi spiritual, satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa membaca tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu diiringi dengan proses menulis.
Jika Pramoedya Ananta Toer mengajak kita untuk bersikap adil sejak dalam pikiran, maka menulis adalah sarana latihan untuk menertibkan dan menata pikiran kita, sehingga output yang dihasilkan ialah kita tidak mudah menghakimi orang lain secara semena-mena.
Dalam makna yang lebih sublim, menulis sejatinya bisa diartikan sebagai proses perjalanan spiritual manusia. Saat kita menulis, ada proses masuk ke dalam diri yang kita lakukan. Meneroka jagat batin, mengudar rasa, serta menyampaikan suara nurani yang terkandung dalam lapisan terdalam hati setiap manusia.
Merespons gegap gempita masyarakat yang terus-menerus mengampanyekan pentingnya waktu healing di tengah hiruk pikuk kesibukan pekerjaan dan aktivitas keduniawian, menulis adalah salah satu alternatif solusi yang bisa digunakan dalam rangka proses healing kita.
Healing dalam makna sesungguhnya, yakni menjadi manusia utuh (whole) yang mampu menyeimbangan gerak pikir, hati, rasa, raga, dan karsa dalam kehidupan yang sedang kita jalani.
Ketika literasi spiritual berdasarkan basis pendidikan yang berkesadaran (model pendidikan yang digagas Panca Olah Institute untuk mengenal diri dan mengaktualisasikan potensi diri yang telah dianugerahkan oleh Tuhan) ini bisa diaplikasikan secara optimal, maka yang akan terjadi terhadap masyarakat luas bukan lagi revolusi mental, melainkan revolusi spiritual sebagai tawaran alternatif untuk membangun peradaban yang lebih luhur dan humanis.
Paradigma ini menempatkan aspek spiritual sebagai panglima yang memimpin seseorang ketika mengambil keputusan maupun tindakan yang akan dilakukan dalam hidupnya. Tolok ukur spiritualitas bisa dinilai dari kesadaran yang ada pada diri seseorang. Semakin tinggi kadar spiritual seseorang, maka sudah semestinya hal itu sejalan dengan kepedulian dan kontribusi terhadap aspek kemanusiaan.