Memaknai Kehidupan sebagai Perayaan Kebahagiaan dan Kesyukuran

MINGGU, 25 DESEMBER, 2022

Memaknai Kehidupan sebagai Perayaan Kebahagiaan dan Kesyukuran

Hari ini, mungkin kita masih sering mengeluh mengenai kondisi hidup yang serba kekurangan, banyak penderitaan, dan dinaungi berbagai masalah kehidupan. Semua itu adalah keyakinan yang terus kita pupuk dan rawat, sehingga pada realitanya berujung demikian.

Mengapa tak coba kita ganti pemahaman dan keyakinan yang usang itu menjadi sebuah cara pandang dan kesadaran baru mengenai hidup. Bahwa normalnya hidup ini ialah kita harus mampu merayakan kebahagiaan dan kesyukuran.

Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah kata "normal." Artinya, sudah sepantasnya hidup adalah perayaan kebahagiaan dan kesyukuran. Sekali lagi, ia bukanlah kondisi ideal, melainkan keadaan normal bagi setiap manusia.

Atas dasar apa hidup ini adalah perayaan kebahagiaan dan kesyukuran? Jamak kita ketahui dan dengar, bahwa manusia adalah sebaik-baik makhluk ciptaan Tuhan (ahsani taqwim). Ya, karena itulah mengapa kita harus bisa bahagia dan selalu bersyukur atas segala keadaan dalam hidup ini. Waktu hidup kita di dunia tidak banyak, dan akan sangat rugi jika selama hidup ini kita tidak bisa bahagia.

Kabar baiknya, kebahagiaan itu ada di dalam diri manusia, bukan di luar dirinya. Sehingga, yang perlu kita lakukan ialah membenahi dan memperbaiki majelis ruang dalam kita, yakni apa-apa yang terkandung dalam diri kita (pikiran, perasaan, kesadaran, dan seterusnya).

Agar bisa terhubung antara fisik dan jiwa, maka ada empat hal yang harus dilakukan, yakni membenahi hati, melakukan ibadah dengan istikamah, terhubung dengan Rasulullah, baru nanti akan terkoneksi dengan Allah.

Tanda dari kebahagiaan yang kita dapatkan ialah ketika jiwa dan fisik kita sudah terhubung. Ada koneksi dan sinkronisasi yang baik dan tepat antara pikiran, perasaan, dan kesadaran kita. Hasilnya, tindakan dan perilaku kita tentu juga akan menjadi baik nan indah.

Perlu kita camkan pula dalam diri kita bahwa warna-warni kehidupan itulah keindahan. Tidak mungkin hanya satu warna. Ada baik-buruk, hitam-putih, sunrise-sunset, dan segenap contoh lainnya. Kita tidak boleh hanya memilih salah satunya dan menafikan pasangannya. Dunia ini memang paradoks.

Allah itu paradoks. Semesta ini paradoks. Tauhid juga paradoks. Hidup pun bersifat paradoks. Sebagai contoh, Allah memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun jangan lupa bahwa Dia juga Maha Tega dalam sifat-Nya.

Akan tetapi, kita tidak boleh menghakimi dengan pikiran yang sempit jika kita tidak memiliki level kesadaran yang layak untuk memahami apa makna di balik kekejaman dan sifat tega-Nya. Boleh jadi itu bentuk kasih sayang Tuhan yang lebih besar bagi hamba-Nya.

Tak elok rasanya kalau kita membentur-benturkan antara satu hal dengan hal yang lainnya, seperti antara ada dan tiada, hitam dan putih, lapang dan sempit, sehat dan sakit, gelap dan terang, dan lain sebagainya. Di dalam hitam ada putih, pun sebaliknya.

Episode hidup ini beraneka ragam, dan tidak selamanya selalu sesuai harapan. Terhadap keanekaragaman itu, tentu kita harus menikmati dan menerima itu semua tanpa terkecuali, dengan itulah keseimbangan bisa tercapai. Jika semua orang kaya, atau sebaliknya semua orang miskin, tentu tidak akan ada keseimbangan di dunia ini.

Setiap hari, kita sejatinya diberikan hadiah oleh kehidupan, dan terhadap hadiah yang kita terima itu, disadari atau tidak kita harus membayar dan melunasi itu (minimal bernilai sama dengan hadiah yang kita dapat). Jika hadiahnya bernilai 100 misalnya, maka harga yang perlu kita bayar juga harus senilai 100 pula.

Mekanisme ini merupakan bentuk rasa terima kasih terhadap Tuhan dan alam semesta atas segala instrumen yang kita gunakan dan nikmati setiap hari. Udara yang bersih, tanaman yang subur, angin yang membantu mengeringkan pakaian kita, dan beragam bentuk nikmat-nikmat kecil maupun besar yang membantu kehidupan sehari-hari manusia.

Nikmat-nikmat itu secara tersirat membawa dan memberikan pembelajaran bagi orang-orang yang berpikir dan merenungkan hal itu. Pada tahap selanjutnya, pembelajaran yang kita dapatkan itu akan membukakan kesadaran kita bahwa sebenarnya kita sedang menjalani sebuah peran dalam kehidupan ini.

Oleh karenanya, setiap orang perlu menjalani peran yang telah diembannya dengan baik dan totalitas. Tak ada satu peran yang lebih baik daripada peran lainnya, sehingga seseorang tidak dibenarkan menghina dan merendahkan peran orang lain. Semua peran itu memiliki dimensi kebermanfaatan masing-masing dalam orkestrasi kehidupan.

Terakhir, namun ia tidak kalah penting, kita perlu membangkitkan kekuatan dan potensi dalam diri kita. Untuk itu, maka cara yang perlu kita tempuh ialah dengan mengapresiasi diri, mencintai diri, menghargai diri, dan berterima kasih terhadap diri kita.

Bentuk terima kasih terhadap diri itu di antaranya menyediakan waktu-waktu khusus bagi diri kita, mulai dari waktu bekerja, beribadah, berkontemplasi, bersosial, hening, dan lain-lain. Saat waktu hening misalnya, maka yang perlu kita lakukan ialah dengan menikmati dan memaksimalkan keheningan itu, karena dengan hening itulah hati bisa menjadi bening, dan kebeningan hati itulah kata kunci bagi kita untuk bahagia.

Penulis: Coach Jaya (Founder Panca Olah Institute dan Spiritual Life Coach)


Leave a Reply