Satu pertanyaan penting yang semakin mengemuka dan menjadi pencarian oleh berbagai kalangan ialah perihal sifat dasar manusia. Secara naluriah, apakah manusia semata sebagai makhluk material? Atau sebenarnya secara esensial ia merupakan makhluk spiritual?
Salah satu pendapat bahwa manusia ialah makhluk spiritual datang dari tokoh sentral dalam diskursus tasawuf falsafi (tasawuf filosofis), yakni Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn 'Arabi. Menurutnya, manusia sejatinya ialah makhluk spiritual, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan material kita hendaknya juga ditopang oleh kesadaran spiritual.
Salah satu bukti mengapa manusia disebut makhluk spiritual ialah karena ia diciptakan dari percikan cahaya Tuhan. Secara garis besar, ada dua unsur yang terkandung dalam diri seseorang. Pertama, ialah unsur tanah yang melambangkan jasad atau badan wadag. Kedua, yakni unsur cahaya yang termanifestasi dalam ruh seseorang.
Dengan menyadari sebagai makhluk spiritual, maka yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari ialah mengombinasikan antara kesadaran lahiriah dan kesadaran batiniah (spiritual). Dalam ranah praksis misalnya, keberhasilan atau pencapaian yang kita raih sebenarnya merupakan hasil perkalian antara ikhtiar spiritual dan ikhtiar lahiriah yang kita lakukan.
Rahasia yang tak banyak diketahui ialah bahwa bobot ikhtiar spiritual memiliki kadar yang lebih besar dibanding ikhtiar lahiriah. Oleh karena itu, semakin besar kualitas ikhtiar spiritual, secara tidak langsung akan membuat lebih ringan ikhtiar lahiriah yang perlu dilakukan. Contoh dari ikhtiar spiritual di antaranya melaksanakan wirid dan memanjatkan doa secara rutin dan kontinyu.
Di sisi lain, level spiritual juga ditentukan oleh bagaimana manusia bisa memenangkan pertarungan antara kehendak baik dan kehendak buruk dalam dirinya sendiri. Tak heran jika kemudian Rasulullah saw menyampaikan pentingnya melakukan perjuangan melawan hawa nafsu sebagai upaya untuk menaikkan kualitas spiritual seseorang.
Pasca kepulangannya dari Perang Badar, salah satu perang paling dahsyat dalam sejarah Islam, Rasulullah bersabda bahwa mereka baru pulang dari perang kecil menuju perang yang jauh lebih besar.
Seorang sahabat kemudian bertanya apa gerangan perang yang lebih besar itu. Lantas, Rasulullah menjawab bahwa perang besar itu adalah perang melawan diri sendiri, yakni melawan nafsu yang mendorong kita menuju perbuatan buruk dan hina.
Pada kitab suci Al-Qur'an pun pembahasan soal ibadah ritual hanya berjumlah sebanyak kurang lebih 10 persen. Sedangkan, 90 persen sisanya berbicara tentang ibadah spiritual yang beririsan pula dengan ibadah sosial.
Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita mendewakan ibadah ritual, karena ritual tanpa spiritual akan menjadi gagal. Cara pandang yang jauh lebih tepat ialah dengan menjadikan ritual itu sebagai sarana untuk menjadi orang yang spiritual.
Kisah seorang ulama yang beribadah ritual selama 309 tahun, namun tidak mendapat balasan surga Firdaus bisa menjadi pelajaran bagi kita. Bahwa sehebat apa pun usaha yang dilakukan oleh diri material, hal itu tidak sebanding dengan ikhtiar ibadah spiritual.
Dengan menjadi orang yang spiritual, maka ia akan dekat dengan sumber cahaya, sumber kebahagiaan, sumber rezeki, dan sumber ketenangan. Hal ini dikarenakan Tuhan sendiri bersifat spiritual, bukan material. Dengan spiritualitas itu pulalah Allah akan rida terhadap kehidupan seseorang.
Patut dicurigai kemudian jika hidup kita tidak tenang, tidak bahagia, macet aliran rezekinya, maka boleh jadi kualitas aspek spiritual kita memang rendah dan jauh dari ambang batas kelayakan.
Akan tetapi, satu poin penting yang perlu menjadi catatan ialah bahwa meskipun kita adalah makhluk spiritual, namun dalam dunia ini kita menjalankan peran profesional sesuai tugasnya masing-masing.
Profesional di sini bermakna terukur, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Sebagai contoh, pendakwah yang profesional akan mengukur agar konten dakwah yang ia sampaikan tidak menghina atau menyakiti siapa pun di dalamnya.
Pedagang yang profesional tentu tidak akan bersikap curang dalam menakar timbangan atau memberi harga kepada setiap pelanggannya. Pejabat profesional bisa diartikan sebagai mereka yang tidak melakukan praktik korupsi, karena ketika ia korupsi maka mereka telah mengambil hak orang lain (tidak terukur).
Dalam aspek ritual misalnya, keterukuran itu bisa dilihat dari bagaimana seseorang secara konsisten menjalankan amalan rutin, misalnya merutinkan membaca salawat sebanyak 100 kali tiap hari. Profesionalitas akan membawa seseorang untuk berusaha menaikkan kadar hitungan tersebut hingga angka yang memenuhi standar kelayakan.
Aspek lain yang juga menjadi tolok ukur manusia spiritual yang profesional ialah adanya pola hidup yang jelas. Pola hidup salah satunya bisa dilihat dari pola makan yang dijalankan seseorang. Mengurangi nasi, menjauhi makanan yang berminyak, dan mengonsumsi jenis makanan yang disukai oleh sel-sel dalam organ tubuh merupakan contoh laku lampah menuju manusia spiritual yang profesional.
Rasulullah adalah contoh orang yang sangat profesional. Kehadiran beliau selalu menyejukkan dan menyenangkan bagi orang lain. Hal ini dikarenakan beliau selalu berusaha untuk memberikan rasa aman kepada orang yang ada di sekitarnya.
Spiritualitas dan profesionalitas pada akhirnya bukanlah dua sisi mata uang yang berbeda, seperti banyak orang menganggapnya selama ini. Akan tetapi, spiritualitas sudah seharusnya bergandengan dengan profesionalitas. Cita-cita dan impian setinggi apa pun hasilnya akan kacau jika spiritualnya belum profesional.
Hal ini akan tercermin dari penyikapan terhadap anugerah maupun rezeki oleh Tuhan. Dikasih ujian, akan menjadi malapetaka, bukan menjadi hikmah. Diberi nikmat, hal itu malah membuatnya bersikap kufur. Dianugerahi kesehatan, justru menjadikannya tidak jelas dan penuh coretan merah.
Untuk menuju manusia spiritual yang profesional, tentu setiap orang membutuhkan guru pembimbing (mursyid) yang akan memberi arahan tentang bagaimana jalan yang perlu ditempuh oleh seorang murid, utamanya untuk berada dalam kondisi fitrah. Hijrah menuju pribadi yang lebih baik di setiap harinya.
Perlu diketahui, fitrahnya manusia ialah berada dalam pelukan cinta dan kasih Allah. Sayangnya, banyak orang yang tidak mencapai kondisi ini karena kondisi spiritual yang tidak memenuhi kelayakan. Di antara asas untuk berada dalam pelukan cinta dan kasih Allah ialah dengan memperbaiki diri terus-menerus dan berbuat baik kapan pun dan di mana pun.
Hal ini sejalan dengan ajaran tasawuf yang menekankan pada pembersihan diri (takhalli), mengisi hidup dengan perbuatan baik (tahalli), hingga pada akhirnya akan mendapatkan tajalli, yakni saat di mana nama (asma), sifat, hingga perbuatan (af’al) Allah termanifestasi dalam diri seorang manusia setelah proses takhalli dan tahalli dilakukan.