Memaknai Idul Fitri di Masa Pandemi

SELASA, 11 MEI, 2021

Memaknai Idul Fitri di Masa Pandemi

Dalam hitungan hari, Idul Fitri akan segera menghampiri. Bagi umat Muslim, ia menjadi momen yang sering ditunggu-tunggu kedatangannya, terlebih setelah menjalani puasa selama kurang lebih satu bulan lamanya. Akan tetapi, di masa pandemi yang belum berakhir ini, bagaimana seharusnya kita memaknai Idul Fitri?

Terdiri dari dua kata dasar, Idul Fitri setidaknya mengandung dua makna populer. Pertama, kata Id berasal dari aada-yauudu dengan makna kembali. Sedangkan fitri bisa dimaknai dengan buka puasa untuk makan (akar kata aftharo-yufthiru) atau suci dan bersih dari segala dosa dan keburukan (akar kata fathoro-yafthiru).

Dari sini, Idul Fitri secara utuh berarti waktu untuk kembali makan atau berbuka setelah puasa dalam rentang waktu yang cukup lama, atau tonggak untuk meraih kesucian dan kebersihan diri sebagai hasil dari proses pembersihan diri (tazkiyah al-nafs) selama bulan Ramadhan.

Pandemi Covid-19 merupakan fenomena global yang hingga hari ini belum berkesudahan. Transmisi yang menjalar begitu cepat sejak kemunculan awalnya di Wuhan, Tiongkok membuat banyak negara mengambil kebijakan-kebijakan strategis untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut, tak terkecuali Indonesia.

Mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) makro dan mikro, penutupan fasilitas publik dan rumah ibadah, hingga larangan mudik Idul Fitri.

Bisa dibilang, larangan mudik merupakan salah satu kebijakan yang membuat banyak orang kecewa. Hal ini dikarenakan mereka tidak bisa menghabiskan momen sakral bernama Idul Fitri itu bersama keluarga besar yang mereka sayangi.

Mengulang tahun lalu, rasanya tak akan ada acara halal bihalal dan semacamnya yang menjadi ciri khas budaya masyarakat Indonesia.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat beruntungnya membuat fitur komunikasi jarak jauh semakin baik. Jika satu dasawarsa lalu komunikasi hanya bisa dilakukan dengan mengirim pesan digital atau bercakap lewat telepon seluler, kini terdapat beragam pilihan dalam berinteraksi secara real-time dengan akses video setiap orang, sejauh apa pun jarak yang terbentang.

Meskipun demikian, Idul Fitri di masa pandemi sejatinya memberikan pelajaran berharga pada banyak aspeknya. Pertama, melalui pandemi ini secara tidak langsung kita diingatkan pentingnya menjaga kesehatan tubuh, pikiran, jiwa, serta hati.

Tak sedikit orang yang merasa ketakutan dan khawatir berlebih akan pandemi sehingga hal itu mendorong penurunan imunitas di dalam tubuhnya, meskipun ia tidak terpapar Covid-19.

Fasilitas dari Tuhan berupa bulan Ramadhan sebagai tempat berlatih dalam mengendalikan diri merupakan anugerah yang perlu disyukuri, karena dengan itulah kemudian seseorang bisa membersihkan dan menyucikan hal-hal yang telah membuat kotor dirinya.

Tak sampai di situ, setelah ajang latihan tersebut usai Tuhan juga memberikan apresiasi kepada hamba-Nya dengan menyediakan satu momen yang bernama Idul Fitri.

Idul Fitri agaknya menjadi salah satu checkpoint bagi kita untuk melihat apakah latihan yang dilakukan selama sebulan itu telah membawa perubahan atau belum. Sudahkah puasa tersebut mendorong badan, pikiran, jiwa, dan hati kita menjadi lebih bersih nan suci?

Jika biasanya lisan kita sering mengolok atau mencela orang lain, dengan puasa itu apakah lisan tersebut telah berubah menjadi lebih banyak berkata baik?

Begitu pula dengan kecamuk pikiran yang dulunya berorientasi kepada hal-hal negatif, apakah ia telah sedikit bergerak menuju kutub yang lebih positif? Pun halnya dengan gejolak jiwa, sudahkah ia mendapatkan ketenangan atau masih tetap berselimut kegelisahan dan ketidaknyamanan?

Kedua, dari kebijakan pemerintah untuk tidak berkerumun di tempat-tempat publik (termasuk mal dan pusat perbelanjaan lainnya), hal ini mengajarkan bahwa esensi Idul Fitri memang sebenarnya bukan soal baju, gaun, dan segala aksesori baru yang kita kenakan ketika waktu Idul Fitri tiba.

Akan tetapi, sejauh mana kebaruan yang ada dalam diri kita, mulai dari cara pandang, pola hidup, perangai sehari-hari, dan relasi terhadap lingkungan sekitar.

Sebagai contoh, perbendaharaan harta yang kita punya tentu akan lebih bermanfaat jika dialokasikan kepada tetangga yang masih tergolong fakir dan miskin, daripada sekadar untuk menambah tumpukan barang di lemari dan rak-rak pakaian kita yang telah menjulang itu.

Ketiga, larangan mudik yang dicanangkan pemerintah juga bisa dimaknai sebagai bentuk kasih sayang pemerintah terhadap rakyatnya dalam rangka mencegah dan mengurangi rantai penyebaran Covid-19.

Lebih jauh, bukankah mudik yang kita lakukan setiap tahun itu hanyalah latihan dan proses untuk menjemput mudik yang lebih sejati dan hakiki. Mari jadikan lebaran di masa pandemi ini sebagai kepulangan dan pelancongan spiritual, karena sebaik-baik kampung adalah kampung akhirat, kampung tempat kita kembali dalam perjumpaan yang hakiki.

Kembali ke rumah diri, kembali ke rumah Tuhan. Merangkul ketakberhinggaan. Bertemu kekasih, keluarga, dan kampung halaman juga: Kekasih, keluarga, dan kampung halaman primordial kita.


Leave a Reply