Manusia, Belenggu, dan Kebahagiaan Holistik

JUMAT, 17 SEPTEMBER, 2021

Manusia, Belenggu, dan Kebahagiaan Holistik

Setiap manusia tentu memiliki masalah dan tantangan yang perlu diselesaikan dalam hidupnya. Lingkupnya pun bervariasi, mulai dari diri sendiri, keluarga, sahabat, rekan kerja, sesama pemeluk agama atau keyakinan tertentu, hingga mereka yang menjadi saudara sebangsa dan setanah air.

Interaksi yang terjadi di kehidupan nyata sudah barang tentu menimbulkan konflik, friksi, dan sejenisnya. Mustahil rasanya hubungan kita sebagai manusia mulus-mulus saja, tanpa ada bunga-bunga yang mewarnainya. Terlepas apakah bunga itu berduri atau semerbak wangi, yang jelas setiap jenisnya memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri.

Pun halnya dengan masalah yang menimpa kita. Seburuk apa pun masalah yang ada, pastilah ia memberi pelajaran yang berharga demi tercapainya kehidupan yang lebih baik ke depannya. Namun, tak semua orang bisa mengerti akan hal ini. Diperlukan kerendahan hati dan ketulusan jiwa untuk memetik hikmah atau pelajaran dari setiap perisitiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Pemutusan kontrak kerja misalnya bisa dimaknai dengan sebuah jalan bagi kita untuk menjadi manusia yang mampu berdikari dalam hal mencari nafkah. Di situlah kita bisa melepas ketergantungan terhadap pihak perusahaan atau kantor tempat bekerja, serta mulai meniti jalan kemandirian ekonomi melalui optimalisasi potensi yang terkandung dalam diri.

50a360787e7281486587ce21dbb4c479-768x768

Merantau selama beberapa waktu untuk belajar atau menempuh pendidikan di luar tempat tinggal juga merupakan satu opsi untuk belajar melepas belenggu yang secara sadar maupun tidak sadar mengikat kita untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan pengalaman hidup.

Tinggal jauh dari orang tua serta lingkar terdekat kita di satu sisi, dan bergaul serta menghabiskan waktu bersama kenalan baru di tanah yang asing akan memberi tantangan tersendiri untuk bisa belajar tentang makna kemandirian, solidaritas, pertemanan, pendewasaan diri, dan segudang makna kehidupan lainnya.

Melepas Belenggu, Meraih Kebahagiaan Holistik

Berbicara soal belenggu, ia ibarat rantai besi yang mengikat seseorang. Dengan analogi lain, Indra Hanjaya, atau lebih akrab disapa dengan Coach Jaya, mengibaratkan orang yang memiliki belenggu bagaikan mereka yang berkendara di atas mobil balap dengan kecepatan maksimal, namun di saat bersamaan hand brake yang ada di dalam mobil ditarik. Akibatnya, mobil itu hanya berputar-putar di tempat itu juga. Dengan demikian, garis akhir (finish) perlintasan lomba sudah pasti tidak akan pernah dicapai oleh pengendara mobil tersebut.

Jika ditelusuri, belenggu yang membatasi kehidupan seseorang sejatinya juga bermacam-macam. Boleh jadi ia berupa beban atau dosa masa lalu, kekhawatiran soal masa depan, sikap protektif berlebihan orang tua maupun keluarga, teman yang tidak membawa dampak positif, rekan satu tim yang tidak selaras, hingga pasangan yang mengintimidasi.

Berbagai macam belenggu di atas, maupun jenis yang lainnya, berpotensi untuk menghambat laju perkembangan seseorang. Sebagai contoh, anak yang memiliki minat dan bakat di bidang seni tari, namun ia dilarang orang tuanya untuk mengikuti ekstrakurikuler tari maupun belajar dengan maestro seni tari di sanggar kesenian tertentu pastilah hal ini menimbulkan dampak secara fisik maupun psikis bagi anak tersebut.

Secara fisik, anak itu telah kehilangan satu wadah untuk mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk tari-tarian. Sementara itu, pengaruh psikis itu salah satunya bisa dilihat dari perubahan kondisi anak yang sebelumnya ceria dan murah senyum menjadi cuek dan pendiam. Bila dibiarkan, aspek mental dan kejiwaan seseorang akan terganggu dan menjadi tidak stabil. Gairah untuk hidup dan mengembangkan diri pun bisa jadi hilang akibat permasalahan sesederhana itu.

Kisah anak yang tak bisa menyalurkan minat dan bakatnya di atas akhirnya akan berakhir pada tidak tercapainya rasa bahagia dalam dirinya. Merespons hal ini, diperlukan sebuah  keselarasan antara orang tua dan sang anak untuk menemukan jalan keluar dari problem tersebut.

Prasyarat penting yang diperlukan menurut penulis ialah adanya saling pengertian dan rasa menghargai di antara keduanya.  Redefinisi kebahagiaan dalam hal ini rasanya juga perlu dipertimbangkan. Bahwa kebahagiaan orang tua tak bisa dipaksakan kepada anaknya. Makna kebahagiaan tiap orang berbeda-beda, sehingga ukuran dan cara mencapainya pun tidak seragam.

Andaikata sang anak tersebut kemudian memilih jalan tari sebagai sarana berkontribusi kepada sesama manusia dan alam semesta, toh hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Walaupun dari segi finansial pendapatannya cenderung pas-pasan misalnya. Bukankah kebahagiaan tidak melulu soal materi? Sedemikian rendah dan kerdilnya arti bahagia jika ia dibatasi oleh akumulasi harta dan materi semata. Masih adakah rasa bahagia dengan segala pencapaian materiil itu, jika di sisi lain kita kehilangan orang-orang yang mencintai dan menyayangi kita setulus hati.

Kunci utama dalam menjemput kebahagiaan holistik ialah keterlepasan dari keterikatan terhadap belenggu-belenggu yang ada dalam hidup kita. Meskipun demikian, melepaskan belenggu juga tidak berarti sama dengan memutus tali persahabatan dan kekeluargaan. Artinya, dalam melepas belenggu itu diperlukan cara yang dilakukan dengan baik dan indah, sehingga kebahagiaan holistik yang menjadi tujuan tidak malah berganti menjadi penderitaan akut.

Kebahagiaan holistik yang dimaksudkan di sini ialah perasaan bahagia yang tidak bergantung pada hal-hal yang bersifat materi dan hal-hal di luar diri kita, melainkan lahir dari apa yang ada dalam diri kita. Rasa syukur atas anugerah kehidupan yang sedang kita jalani saat ini, bagaimana pun dan apa pun kondisinya.

183915-Robin-S-Sharma-Quote-Gratitude-drives-happiness-Happiness-boosts-768x432

Manifestasi rasa syukur itu pada tahap selanjutnya mewujud dalam kontribusi nyata yang kita berikan terhadap orang lain maupun lingkungan sekitar. Jalaluddin Rumi, seorang penyair mistik besar dari Persia, pernah mengatakan bahwa hakikat agama adalah cinta. Pernyataan ini dielaborasi lebih lanjut oleh Coach Jaya, seorang Spiritual Life Coach di Panca Olah Institute, bahwa hakikat dari rasa cinta ialah adanya kontribusi yang diberikan dalam kehidupannya.

Martin Seligman mengistilahkan hal ini sebagai kebahagiaan otentik (authentic happiness). Ia hanya bisa diraih dengan menjalani hidup yang berasaskan pelayanan dan kontribusi kepada orang lain dan sesama makhluk hidup di dunia, karena dengan itulah makna hidup sesungguhnya akan kita rengkuh. Tak heran, kisah-kisah orang yang mengabdikan dan mewakafkan dirinya kepada banyak orang justru biasanya mendapat ganjaran keberlimpahan lebih tinggi dari orang yang sibuk memikirkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Tak lupa, tindak lanjut dari mereka yang telah mendapat arti kebahagiaan holistik di atas ialah tercapainya manusia holistik (holistic person), yakni mereka yang mampu menjalani hidup secara bebas dan merdeka. Artinya, hidup orang tersebut tidak bergantung kepada sesama manusia, melainkan hanya bergantung kepada entitas yang menciptakan manusia dan alam semesta ini. Bukankah kekayaan dan kebesaran itu hanya bisa kita raih dengan cara bergabung serta selaras dengan Zat yang Maha Kaya dan Zat yang Maha Besar?


Leave a Reply