Keterhubungan terhadap Sang Sumber Kehidupan

MINGGU, 17 SEPTEMBER, 2023

Keterhubungan terhadap Sang Sumber Kehidupan

Perputaran waktu membawa kita, khususnya umat Muslim, kepada satu bulan agung yang di dalamnya lahir seorang kekasih Allah yang menjadi perantara dalam menyampaikan sebuah risalah ajaran luhur bernama Islam. Ya, bulan itu adalah Rabi'ul Awal atau lebih populer dengan bulan Maulid. Sedangkan sosok mulia itu bernama Muhammad saw.

Maulid sendiri berasal dari kata dasar milad yang bermakna kelahiran. Penyebutan bulan Rabi'ul Awal sebagai maulid tentu didasarkan pada sejarah di mana Nabi Muhammad saw lahir. Mayoritas ulama dan sejarawan berpendapat bahwa beliau lahir pada 12 Rabi'ul Awal tahun 570 M atau dikenal juga dengan tahun gajah.

Salah satu tradisi yang saat ini berlangsung pada masyarakat Muslim dunia, tak terkecuali di Indonesia, ialah proses pembacaan rawi yang jenisnya beragam itu. Mulai dari Simthudduror, Barzanji, Diba, dan lain sebagainya. Namun, pernahkah kita berpikir dari mana sejarah itu berasal dan tercipta?

Semua itu bermula dari abad ke-6 M ketika Sultan Shalahuddin al-Ayyubi mengadakan sayembara penulisan riwayat hidup Nabi Muhammad dalam bentuk syair, pujian, dan sejenisnya untuk bisa membangkitkan semangat dan gairah umat Islam dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam menjalani perang salib.

Shalahuddin al-Ayyubi

Melaui sayembara itulah kemudian lahir beragam jenis rawi yang kita kenal hari ini, mulai Maulid Adhiya Ulami, Diba, Simthuddurror, Barzanji, dan lain sebagainya. Pasca momentum itulah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw kemudian diadakan rutin setiap tahun sekali hingga hari ini.

Akan tetapi, dalam level kesadaran tertentu, tidak cukup hanya dengan memperingati maulid setiap tahun, membaca rawi, dan hal-hal sejenis itu. Dari segi vibrasi, momen-momen yang bersifat simbolisme dan formalitas itu bernilai kecil belaka.

Esensi penting dari momen maulid ialah tentang bagaimana menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) kepada Rasulullah saw. Karena pada hakikatnya tidak ada gunanya jika kita membaca Al-Qur'an mempelajari hadis, atau mendalami ilmu agama tanpa adanya rasa cinta kepada Rasulullah.

Sebagaimana perumpamaan bagi orang yang telah merasa bertauhid, namun ia tidak mencerminkan rasa tauhid itu dalam perilaku sehari-hari. Mungkinkah dianggap bertauhid jika kita tidak berkhidmah kepada orang tua? Mungkinkah kita bisa disebut sebagai pribadi yang bertauhid jika kita masih memiliki rasa iri dengki, kebencian, amarah, dan segenap sifat buruk lainnya kepada orang lain?

Hukum Keterhubungan

Selanjutnya, pelajaran yang tak kalah penting dari preingatan maulid Nabi Muhammad terletak pada pentingnya setiap manusia untuk memahami hukum keterhubungan. Dengan pemahaman akan hal inilah seseorang bisa mengenal dirinya sebagai langkah awal untuk pengenalan akan hal-hal yang lebih dalam dan sifatnya transendental.

Selama ini, mayoritas manusia hanya terhubung ke alat yang terejawantah dalam bentuk fisik diri kita, bukan kepada jati diri yang sebenarnya. Bahkan jika boleh jujur, sebagian besar manusia masih tersegel kediriannya. Mereka hanya tahu tubuh fisik, pikiran, ibadah di luar, atau kesadaran fisik di luar. Bukan kesadaran qalbu dan jiwa yang berada di dalam diri kita.

Hukum keterhubungan dalam bingkai tauhid itu terdiri dari empat tahapan. Pertama, mengenal dan menyadari diri kita sendiri. Lalu terhubung ke alam semesta. Ketiga, terkoneksi dengan Rasulullah sebagai jalan untuk masuk ke tahap keempat, yakni terhubung dengan Allah Swt.

Tidak akan bisa manusia terhubung kepada Allah tanpa mencintai Rasulullah. Begitu pula dengan keterhubungan semesta yang tidak akan bisa didapatkan jika kita belum sadar dan terhubung ke dalam diri kita sendiri.

Di dalam Al-Qur'an bahkan disebutkan ancaman kepada siapa saja yang mencintai sesuatu dengan kadar yang lebih besar daripada kecintaan terhadap Allah dan Rasulullah. Hal ini menegaskan betapa penting menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah sebagai sosok penting yang membmibing umat manusia menuju jalan cahaya.

Hukum Keterhubungan

Langkah awal menuju ke tahap itu tentu dimulai dengan mengenal diri sendiri sebagaimana adagium yang berbunyi man arafa nafsahu faqad arafa rabbahuI. Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.

Manusia itu bagian dari makhluk yang dikekalkan oleh Allah. Akan tetapi, tidak akan bisa sempurna seseorang jika ia tidak mengenal jati dirinya. Elaborasi akan kesempurnaan manusia (insan kamil) ini berkaitan dengan sesuatu yang bersifat semu dan hakiki.

Sesuatu yang bersifat semu adalah segala hal yang dalam pemerolehannya mengandalkan pada majelis ruang luar, seperti fisik, pikiran, dan ikhtiar-ikhtiar lahir lainnya. Sedangkan apa yang disebut sebagai hakiki ialah segala sesuatu yang dalam upaya mendapatkannya bertumpu pada majelis ruang dalam dan pembenahan diri.

Satu hal yang perlu digarisbawahai ialah bahwasanya tidak ada bahagia, sukses, mulia, serta keselamatan yang hakiki tanpa ketauhidan yang kokoh dan tepat dalam diri kita. Artinya, tidak mungkin sesuatu yang hakiki diraih dengan upaya-upaya yang sifatnya semu.

Jika segala sesuatu yang bersifat anugerah dari Allah (ex: ilmu, amal, harta, jabatan) melebihi kadar ketauhidan kita, maka hasilnya adalah penyimpangan serta kekacauan dalam hidup yang akan melanda diri kita.

Hukum Keterhubungan

Oleh karenanya, sudah sepantasnya kita bertanya kepada diri kita sendiri perihal hukum keterhubungan ini. Apakah kita sudah terhubung dengan jati diri kita? Atau paling minimal apakah kita sudah terhubung dengan nafas kita?

Tak hanya itu, hukum keterhubungan juga meniscayakan dua hal utama, yakni pentingnya bertirakat dan kemurahan hati untuk menjadi pribadi yang ramah dan dermawan dalam menyalurkan anugerah dan rezeki yang kita terima.

Dalam bab tirakat misalnya, pilihannya hanya ada dua. Apakah kita mau bertirakat secara sadar atau dipaksa tirakat oleh semesta. Pun halnya mengenai sedekah. Maukah kita sedekah secara sukarela atau dipaksa sedekah dengan cara yang beragam, semisal menderita sakit, mendapat kecelakaan, atau skema lain yang akan diberikan oleh hukum semesta.

Jika kita menggunakan hukum keterhubungan, maka saat kita menerima sesuatau, secara otomatis kita harus memberi dan mengeluarkan hak orang lain serta hak semesta. Oleh karena itu sikap yang harus kita miliki ialah ringan tangan dan murah hati.

Dari sudut pandang lain, kunci keterhubungan dengan guru adalah tidak pelit (dermawan). Harus ada pertukaran energi yang dilakukan. Bentuk pertukaran itu sendiri sebenarnya tidak melulu dengan uang atau materi, bisa juga dengan tenaga, waktu, dan perhatian yang layak.

Hukum Keterhubungan

Hukum keterhubungan dalam lingkup yang lebih luas juga menyentuh aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kita. Mulai dari keterhubungan kita dengan air, keterhubungan dengan makanan yang kita santap, dan lain sebagainya.

Penulis: Indra Hanjaya - Chairman


Leave a Reply