Dalam menjalani kehidupan, tentu ada prinsip, keyakinan, atau hal-hal sejenisnya yang menjadi bekal kita menghadapi setiap persoalan yang menghadang. Pernahkah kita berpikir bahwa kesadaran merupakan bekal yang penting untuk pondasi kehidupan yang kita jalani saat ini?
Pertama-tama, kita perlu membedakan makna mengetahui dan menyadari. Tahu dan sadar adalah dua hal yang berbeda. Saat kita merasa sudah mengetahui sesuatu, belum tentu kita sadar akan hal tersebut. Mungkin kita tahu bahwa hidup ini penting, namun tidak berarti kita sudah sadar akan pentingnya hal tersebut.
Kesadaran akan pentingnya hidup ini berdampak pada perilaku dan sikap kita untuk menjaga tubuh kita dengan sebaik mungkin pada satu sisi, dan juga terus berusaha untuk berbuat baik dan menebar manfaat bagi banyak orang di sisi lain. Dengan bahasa lain, kesadaran akan sesuatu berimplikasi pada aksi nyata yang konkret.
Oleh karena itu, pelajaran yang diajarkan oleh para sufi, khususnya dalam tarekat, ialah prinsip hidup untuk selalu bisa menyadari, menghargai, dan mensyukuri apa pun yang terjadi dan datang dalam hidup kita. Sepahit apa pun ujian kehidupan, yang perlu kita lakukan adalah dengan bersikap sadari, hargai, dan syukuri hal tersebut.
Hinaan jika disadari, dihargai, dan disyukuri akan menjadi rahmat. Demikian pula rasa sakit, kebangkrutan dalam berbisnis, atau apa pun bentuk kepahitan hidup yang kita alami, hendaknya kita mengutamakan prinsip sadari hargai, dan syukuri.
Hal ini dikarenakan semakin pahit hidup kita, maka karunia yang akan kita terima sejatinya juga semakin besar. Sukses pun bisa dicapai melalui tiga hal ini, yakni prinsip menyadari, menghargai dan mensyukuri. Begitu pun kemuliaan bisa direngkuh melalui tiga prinsip utama tersebut. Pada tahap yang lebih jauh, bahkan ma'rifat pun bisa didapat dengan hal itu.
Kedahsyatan ma'rifat itu terletak pada posisi netralitas kondisi yang dirasakan. Tidak ada dualitas atau paradoks akan sebuah hal, karena dalam tahap ini seseorang sudah melampaui surga dan neraka, rasa senang atau susah, bahagia atau derita, hinaan dan pujian, bahkan hidup dan mati sekali pun.
Sering kali kita menginginkan kesenangan dalam hidup ini, padahal faktanya puncak rasa senang itu hanya bisa dirasakan selama 10 detik saja. Setelah itu, akan kembali ke kondisi normal belaka.
Beda dengan rasa bahagia, apalagi kondisi bahagia hakiki. Kebahagiaan hakiki itu sifatnya tanpa syarat, ia akan bisa didapat dari kondisi hati yang layak dan selamat (qalbun salim). Hidup ini oleh karenanya adalah perayaan kebahagiaan dan rasa syukur, sedangkan kematian adalah perayaan bagi kita untuk bertemu dengan Sang Kekasih.
Mulai saat ini, kita perlu belajar untuk lapang, belajar untuk mudah memaafkan, belajar untuk berdamai dengan apa pun episode kehidupan kita. Karena dualitas atau segala sesuatu yang bertentangan itu akan selalu terjadi dalam hidup kita sebagai bagian dari keluasan rahmat Allah.
Jangan takut dengan hidup, jangan takut dengan ujian, dan jangan takut dengan apa pun. Takutlah saat kita tidak bisa bersyukur dalam hidup ini, dan takutlah saat respon spontan kita kacau dan tidak tepat dalam menyikapi hal-hal yang terjadi dalam hidup ini.
Saat kita nanti bisa masuk dalam kondisi kesadaran, maka di situ kita bisa melihat kondisi jiwa kita yang begitu kotor, busuk, dan menjijikkan. Banyak orang yang sadar bahwa pikirannya kotor atau hidupnya penuh dengan hal-hal yang kotor, namun sedikit sekali orang yang menyadari bahwa pangkal dari semua itu adalah disebabkan oleh kondisi hati yang kotor.
Untuk itu, hal yang harus kita sadari dalam proses pembenahan hati itu ialah dengan melakukan perbaikan dari dalam diri kita sendiri. Karena sejatinya bahagia, sukses, bahkan mulia itu tergantung dan bergantung dari bagaimana kondisi di dalam diri kita. Artinya, dorongan untuk bahagia, sukses, dan mulia itu berasal dari dalam diri sendiri.
Pembenahan hati dan diri ini bisa dimulai dengan perubahan gaya dalam berdoa. Yang perlu kita lakukan saat berdoa bukanlah meminta-minta, melainkan memantaskan diri untuk diberi hadiah terbaik dari Allah.
Rasanya kita perlu belajar dari makna tahajud sebagai salah satu waktu terbaik untuk berdoa kepada-Nya. Dalam redaksi doa shalat tahajud yang diajarkan oleh Rasulullah saw, di situ tidak ada redaksi untuk meminta, melainkan kita diajarkan untuk memuji Allah, memohon ampun, serta bersyukur.
Atas dasar itu, hal yang mendesak dan penting untuk kita lakukan saat ini ialah memperbesar otot syukur dalam diri kita, karena ada ketimpangan yang begitu jauh antara rasa syukur dan keinginan atau harapan kita. Padahal, Tuhan sendiri berfirman dalam salah satu ayatnya bahwa siapa saja yang bersyukur, maka akan Dia tambah nikmat dan karunia-Nya kepada kita.
Dengan pembenahan diri, maka seiring waktu itu kualitas diri kita akan meningkat. Akan tetapi, hal yang juga perlu kita sadari ialah semakin tinggi kualitas diri kita, terutama dalam hal ibadah, tingkatan spiritual dan sejenisnya, maka ujian dan cobaan yang akan menerpa kita juga semakin sulit levelnya.
Hal itu pun terjadi kepada para nabi. Misalnya, Nabi Ayyub menerima ujian penderitaan yang begitu hebat atas rasa sakit selama belasan tahun. Atau Nabi Ibrahim yang diberikan ujian keikhlasan sedemikian rupa besarnya saat mendapat perintah untuk mengorbankan anaknya, yakni Nabi Ismail. Ujian kehidupan itu adalah bagian dari proses yang harus kita terima untuk sampai pada kondisi fitrah diri.
Fitrah dasar setiap manusia sendiri terdiri dari empat hal. Pertama, mulia. Kedua, bahagia. Ketiga, berkecukupan. Keempat, manfaat. Jika kita merasa hidup kita belum memenuhi 4 hal di atas, maka ada yang salah dan perlu dibenahi dalam hidup kita.
Barangkali, kesadaran kita belum layak untuk bisa memenuhi empat kondisi dari fitrah dasar manusia itu. Sehingga, yang perlu kita lakukan ialah melayakkan diri agar level kesadaran kita layak untuk memenuhi fitrah diri serta mampu berada dalam tingkatan di mana pada level itu kita menjadi pribadi yang diberi hadiah oleh semesta kehidupan.
Kesadaran itu adalah murni dari diri kita, bukan akibat pengaruh atas intervensi orang lain. Saat seseorang sudah memiliki kesadaran, dia tidak akan terkontrol atau terpengaruh oleh apa pun yang ada di luar dirinya. Justru, dia akan dikontrol oleh apa yang Allah sukai dan kehendaki saat kesadaran itu sudah terintegrasi dengan tauhid yang benar dan tepat.
Penulis: Indra Hanjaya (Coach Jaya) - Founder Panca Olah Institute dan Spiritual Life Coach