Setiap orang tentu memiliki prinsip hidup yang diyakini dan menjadi standar dalam menentukan keputusan-keputusan kecil maupun besar dalam hidupnya. Pun demikian halnya dengan dunia tempat kita tinggal saat ini.
Diakui atau tidak, selalu ada nilai atau kearifan universal yang berlaku dalam kehidupan kita saat ini sebagai manusia. Penggalian akan hal ini telah coba dilakukan oleh para ilmuwan, mistikus, filosof, dan para pejalan spiritual lintas agama dan keyakinan.
Satu yang pasti dan bersifat mutlak adalah bahwa kunci hidup kita adalah kesadaran. Sejauh mana level dan tingkatan kesadaran yang kita miliki, maka hal itu akan berbanding lurus dengan takdir dan nasib yang kita peroleh.
Sebagai contoh, saat kita berada dalam level kesadaran cinta misalnya, maka besar kemungkinan kita akan dikelilingi dan dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki vibrasi cinta dan kasih dalam hidupnya.
Prinsip lain yang juga bersifat fundamental ialah perihal kedirian kita. Kita perlu menyadari bahwa sejatinya kita adalah makhluk spiritual. Jasad fisik ini hanyalah alat sementara, sedangkan hakikat diri kita adalah aspek spiritualitas yang termanifestasi dalam latifatul qolbi, latifatul ruhi, latifatul sirri, latifatul khafi, latifatul akhfa, dan sejenisnya.
Kita bukanlah aspek fisik belaka, melainkan pribadi-pribadi yang dikekalkan oleh Allah. Tubuh fisik kita, deposit uang, rumah, kendaraan, dan segala pranata duniawi itu sejatinya hanyalah alat belaka, dan semuanya itu sifatnya semu. Yang esensial dan sejati justru adalah diri kita.
Kita adalah makhluk spiritual yang dikekalkan oleh Allah. Kematian hanyalah proses perpindahan dimensi belaka. Saat ini kita berada di alam ketiga, dan di alam inilah titik yang paling menentukan mengenai ke mana dan bagaimana kita di alam barzakh dan alam keabadian kelak.
Meskipun durasinya tergolong singkat, namun apa saja yang kita lakukan di dunia ini akan berdampak kepada posisi kita di alam selanjutnya. Perlu disadari pula bahwa dunia ini bukanlah tempat yang ideal, sehingga wajar kemudian jika kita tidak menemukan keadilan di dunia ini.
Dunia ini memang berisikan kezaliman, ketidakadilan, dan aspek-aspek yang mungkin tidak kita sukai. Namun terhadap hal itu, jangan sampai kita mau kalah dengan hal-hal tersebut. Jadilah subjek atas diri Anda sendiri. Jangan sampai kita mau diatur oleh kehendak orang lain, atau bahkan oleh takdir kehidupan yang paling pahit sekali pun.
Lagi dan terus saya ulangi bahwa hidup ini adalah perayaan kebahagiaan dan kesyukuran. Kalau kita belum bisa menjadikan hidup sebagai perayaan kesyukuran dan kebahagiaan, artinya masih ada yang salah dalam hidup kita.
Kebahagiaan tanpa jalan spiritual akan gagal. Kesuksesan tanpa menempuh jalan spiritual tidak akan pernah bisa berhasil. Semua membutuhkan jalan spiritual, atau dalam bahasa lain semua harus melibatkan Allah. Oleh karena itu kita perlu mengenal Allah, dan gerbang untuk mengenal Allah adalah mengenali diri kita sendiri.
Sebagai contoh, jika kita memiliki deposit uang satu juta. Kalau kadar otot syukur kita berada di bawah nilai itu, maka dampaknya akan menimbulkan masalah. Apalagi jika dikaruniai kelimpahan materi, namun tidak disertai rasa syukur yang layak, maka hal itu akan berbahaya dan berpotensi menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Ilustrasi lain tergambar pada orang yang diliputi kesusahan. Seringkali meskipun kita merasa susah, namun kesadaran kita justru masih di bawah kesusahan itu sendiri, sehingga sulit bagi kita untuk menemukan solusi dan jalan keluar dari kesusahan itu.
Atas dasar itulah, yang perlu kita lakukan dan latih sesering mungkin ialah praktik bersyukur atas nikmat dan karunia yang diberikan oleh-Nya. Bukankah Allah sendiri juga berfirman bahwa barang siapa yang mampu bersyukur atas nikmat yang Dia berikan, maka dia akan tambah nikmat itu?
Untuk itu, apa pun episode kehidupan kita, pastikan keimanan kita meliputi semuanya. Mencakup susah dan senang, bahagia dan derita, dan beragam paradoks kehidupan lainnya. Jika kesadaran Anda sudah melampaui dikotomi-dikotomi sejenis itu, maka berbahagialah karena besar kemungkinan Anda tidak akan mudah tersulut oleh konflik-konfik rendahan yang dipicu oleh rendahnya level kesadaran seseorang.
Meskipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa perjalanan menziarahi ruang dalam adalah proses yang panjang dan terus berlangsung hingga kita wafat. Memasuki ruang dalam artinya memasuki diri kita sendiri, yang mana di sana termuat identitas sejati kedirian kita. Di dalamnya pula terkandung kesadaran ketuhanan yang telah ditiupkan sejak kita berusia 120 hari atau kurang lebih 4 bulan.
Perlu kita ingat pula bahwa syarat utama untuk memasuki ruang dalam ialah dipandu dan dibimbing oleh seorang mursyid (guru yang telah kompeten dan berpengalaman). Mulai dari tahap inisiasi, takhalli (membersihkan diri dari dorongan-dorongan primitif yang destruktif pada jiwa), takhalli (internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri), hingga tajalli (keadaan spiritual ketika seseorang merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih).
Penulis: Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute