Jika ada sebuah pelajaran yang layak untuk terus diulang-ulang, maka salah satu yang perlu dimasukkan ialah pembelajaran mengenai kesadaran. Karena, tanpa kesadaran, ibadah yang kita lakukan tidak berdampak apa-apa ke dalam kehidupan kita.
Ilmu tanpa kesadaran juga menjadi tidak bermanfaat dan sia-sia. Semuanya itu semu, tidak hakiki, dan tidak berdampak kalau tanpa kesadaran. Segala sesuatu akan bisa menjadi bersifat hakiki jika disertai dengan kesadaran.
Kesadaran paling dasar adalah kesadaran bahwa kita adalah manusia. Dan manusia adalah sebaik-baik ciptaan. Seharusnya kita bersyukur diciptakan menjadi manusia, bukan kayu, batu, atau bahkan sesuatu yang najis. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah bersyukur dilahirkan sebagai manusia?
Akan tetapi, mayoritas kita memang cenderung masih dominan bersifat kehewanan daripada manusia. Egonya masih dominan, iri dengki masih tertanam, kufur lebih banyak daripada syukur, dan sifat-sifat kebinatangan lainnya lebih banyak terinternalisasi dalam diri kita.
Lebih lanjut, kesadaran sendiri memiliki dua sisi. Orang bisa bahagia karena kesadaran, dan orang pun bisa celaka karena kesadaran. Contoh lain dari fenomena ini ialah perbedaan antara seorang sufi yang sudah ma'rifat dengan tukang tenung, dukun, dan sejenisnya.
Keduanya menempuh jalan pengenalan diri, namun output yang dihasilkan berbeda. Orientasinya pun berlainan, karena yang satu menggunakannya untuk kebaikan, sedangkan dukun mengejawantahkan apa yang ia ketahui untuk keburukan.
Dengan menggunakan paradigma pemahaman ini, maka bisa disimpulkan bahwa jika kita belum menjalani hidup yang bahagia dan penuh syukur, berarti kita belum sadar. Karena hakikatnya hidup ini adalah perayaan kebahagiaan dan kesyukuran, dan keduanya berporos pada kesadaran.
Apa pun episode hidup kita, hendaknya kita selalu bersyukur dengan apa yang terjadi. Hal pertama yang perlu kita sadari dan syukuri adalah posisi kita sebagai manusia, bukan batu, hewan, tumbuhan atau entitas lainnya. Selanjutnya, saat kita telah menyadari betapa besar anugerah menjadi manusia, maka kita juga perlu menumbuhkan kesadaran yang positif.
Cinta adalah kesadaran, welas asih kesadaran. Pun demikian semua sikap baik kita adalah manifestasi dari sebuah kesadaran di level tertentu yang menghasilkan sebuah sikap tertentu. Sikap baik itulah bentuk nyata dari kesadaran yang positif dan menumbuhkan, bukan bersifat negatif nan meruntuhkan.
Implementasi dari bagaimana kesadaran itu bisa menumbuhkan adalah jika kita beralih dari kesadaran lama menuju kesadaran baru dalam sebuah persoalan. Misalnya, kita mengganti cara pandang yang sering kali dikotomis antara dua hal yang kita anggap berlawanan.
Mulai dari sakit dan sehat, senang dan susah, bahagia dan menderita, kaya dan miskin, dan banyak contoh lainnya. Mengapa tak kita coba sadari bahwa rahmat, misalnya, tidak selalu berbentuk nikmat. Bisa juga ia dibungkus dalam apa yang kita sebut dengan penderitaan. Atau makna rezeki yang tidak melulu bersifat materi, karena kesehatan, keluarga yang harmonis, persahabatan yang menguatkan, hingga rekan kerja yang selaras juga termasuk rezeki.
Orang yang kesadarannya positif tidak mungkin menyimpang. Sebagai contoh, kalau seseorang punya kesadaran baik, tidak mungkin kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah sesuatu yang kasar dan menyakitkan.
Selain itu hidupnya juga akan diberkahi dan dicukupi. Jika belum berada di tahap ini, berarti ada yang salah dengan kesadarannya. Mungkin ia sedang tersumbat atau barangkali memang perlu ditingkatkan lagi. Merespons hal ini, yang utama perlu kita lakukan ialah banyak bertaubat, bukan menyalahkan orang lain atau apa pun faktor yang ada di luar diri kita.
Apalagi, jika kita mengetahui bahwa takdir kehidupan ini bukan mutlak ditentukan oleh Tuhan. Kita harus sadar bahwa kita diberi kemampuan dan keleluasaan untuk menentukan serta memilih jalan hidup kita. Takdir yang utama skenario Tuhan hanyalah 10 persen, sedangkan 90 persen sisanya adalah pilihan kita.
Dalam bahasa agama, ia disebut takdir musayyar dan takdir mukhayyar. Kedua istilah tersebut berkaitan dengan bagaimana manusia menghadapi suatu perkara yang sering disebut sebagai takdir kehidupan.
Takdir mukhayyar adalah kebebasan manusia dalam memilih dan tidak ada kehendak Allah di dalamnya. Artinya, manusia mempunyai ruang dan kebebasan untuk menentukan apa yang akan diambil dalam hidupnya. Sedangkan, takdir musayyar bermakna manusia tak punya kebebasan atau ikhtiar dalam hal menolak atau menerima takdir atas hidupnya.
Contoh dari takdir mukhayyar adalah membedakan makhluk hidup, membedakan perbuatan baik dan buruk, membedakan hak dan kewajiban, menerima atau menolak suatu perkara yang dibebankan kepadanya, dan lain sebagainya. Termasuk apakah kita memilih bahagia atau sengsara dalam hidup ini.
Adapun contoh dari takdir musayyar adalah kelahiran, kematian, tak bisa memilih siapa yang menjadi ayah ibunya, tak bisa memilih di suku mana ia dilahirkan, atau bentuk badan lahiriah seperti apa yang ia inginkan.
Fakta penting yang perlu kita sadari ialah bahwa tidak ada keburukan yang sifatnya musayyar, karena pilihan itu ada di takdir mukhayyar. Dengan kata lain, keburukan yang kita terima adalah hasil dari pilihan-pilihan kehidupan kita sendiri sebagai manusia.
Sementara itu, rahasia penting yang juga harus kita ketahui ialah bahwasanya takdir yang sifatnya mukhayyar itu bisa diubah dengan sedekah, istiqamah dalam beribadah, ketaqwaan, kebaikan hati, dan segenap hal baik lain yang bisa kita lakukan untuk mencegah keburukan bagi hidup kita sendiri.
Saat kita sudah bisa mereposisi kesadaran mengenai takdir kehidupan dengan tepat, maka hal ini bisa menjadi bekal untuk menempuh jalan ma'rifat (pengenalan diri dan pengenalan Tuhan).
Ma'rifat itu sendiri melampaui senang dan susah, bahagia dan derita, dan hal-hal sejenis yang bersifat dikotomis. Kesadaran ma'rifat itu berada di posisi netral atau titik nol, di mana tidak ada pembedaan atas apa yang sering kali manusia sebut sebagai baik dan buruk.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk melatih kesadaran yang bersifat spiritual (spiritualitas) dengan kesadaran sel agar ia mempunyai kematangan dan bersifat proporsional jika dibandingkan dengan umur kita. Idealnya, saat kita berusia 20 hingga 30-an tahun, kesadaran spiritual kita telah berada di atas angka 50 tahun, namun kesadaran sel kita tidak lebih tua dari umur kita, karena ia akan berkaitan dengan aspek kesehatan jasmani.
Tak hanya itu, sifat kesadaran itu identik dengan keikhlasan, kebahagiaan, dan kelapangan. Saat kita shalat dengan sadar, maka seharusnya hidup kita dipenuhi kebahagiaan dan diwarnai dengan kelapangan, bukan penderitaan atau kesedihan yang berlarut-larut. Hal yang menyusahkan dan menyengsarakan kita itu bukan takdir, melainkan pilihan-pilihan yang kita buat sendiri dalam hidup ini.
Selepas membaca tulisan ini, hendaknya kita mulai masuk dan menanamkan kesadaran baru dalam hidup kita, karena saat kita mau mengubah hidup kita, maka aspek pertama yang perlu kita ubah, benahi, dan perbaiki adalah kesadaran kita.
Satu contoh paling sederhana ialah kesadaran baru bahwa yang perlu kita lakukan bukanlah meminta atau menuntut Tuhan, tapi menerima dan menjalankan apa yang Tuhan berikan melalui rasa syukur yang berlimpah atas karunia-Nya bagi kehidupan sehari-hari kita.
Penulis: Coach Jaya (Founder Panca Olah Institute dan Spiritual Life Coach)