Jalan Kehidupan: Mempermalukan Semesta atau Dipermalukan oleh Semesta?

SENIN, 5 SEPTEMBER, 2022

Jalan Kehidupan: Mempermalukan Semesta atau Dipermalukan oleh Semesta?

Dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, satu hal yang tidak bisa kita pungkiri ialah adanya hukum semesta yang berlaku di setiap sektor kehidupan. Apalagi, hukum ini juga tidak memandang ras, agama, dan kepercayaan, karena ia bersifat universal.

Sebagai contoh, seorang petani yang ia dengan rajin dan tekun dalam mengikuti hukum semesta yang berlaku di dunia pertanian (mulai dari menanam, memberi pupuk, dan sebagainya), maka ia juga memiliki kemungkinan untuk sukses di bidang tersebut, meskipun katakankalah kadar keimanannya lemah.

Totalitas dalam bekerja atau melakukan peran-peran yang kita emban di sisi lain bisa meningkatkan vibrasi kesadaran dalam diri kita. Terdapat satu kisah bagaimana seorang pria yang pada awalnya hanya bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan. Akan tetapi, ia selalu totalitas dan memberikan pelayanan terbaik ketika bertugas.

Suatu hari, ia mendapat panggilan dari seorang bos di perusahaan lain yang kemudian mengangkatnya sebagai orang kepercayaan bos tersebut. Penghasilan yang ia dapatkan pun naik hampir 50 kali lipat.

Karena totalitasnya dalam bekerja, ditambah ia selalu berusaha untuk selaras dengan hukum alam, maka di situlah kemudian pertolongan Allah menghampirinya dan kemudian menaikkan derajat hidupnya.

Oleh karenanya, hanya ada dua pilihan bagi kita dalam hidup ini. Apakah kita yang akan membuat semesta malu? Atau justru kita yang akan dipermalukan oleh semesta?

Jawaban dari pertanyaan di atas bisa dicek dari beberapa indikator. Misalnya, apakah kita sudah bersyukur secara layak dan proporsional atas rahmat dan karunia yang kita terima? Sudahkah kita terhubung dengan mekanisme semesta?

Dengan merenungi hal-hal itu, maka dari situlah kemudian kita bisa menyimpulkan tentang kondisi hidup kita yang mungkin hingga hari ini masih stagnan dan tidak ada perubahan.

Lagi dan lagi, kesadaran menjadi faktor penting jika kita ingin terhubung dengan mekanisme semesta. Bahkan, jika dinominmalkan, kesadaran itu mempunyai porsi sebanyak 90 persen, sedangkan 10 persen sisanya terletak pada faktor fisik kita.

Empat rumus yang juga harus kita pegang dan terapkan dengan baik ialah upaya untuk terus merasa bahagia, bersyukur, percaya, dan yakin akan segala hal yang terjadi dalam hidup kita.

Menyikapi pengalaman masa lalu yang sifatnya tidak mengenakkan pun kita hendaknya memaknai itu sebagai pelajaran dan menganggap bagian dari rahmat Tuhan, bukan mengeluh atau menyalahkan keadaan atau orang tertentu.

Bagi umat Islam, terdapat satu senjata yang bisa digunakan untuk menaikkan tingkat kesadaran, yakni dengan bershalawat. Hal ini dikarenakan shalawat memiliki kadar vibrasi yang dahsyat dan paling bagus setelah Al-Qur'an.

Bukan tanpa alasan, shalawat misalnya termasuk dalam rukun qauli (perkataan) yang harus diucapkan saat membaca tahiyat dalam shalat, khutbah jumat, hingga saat berdoa.

Banyak kisah dan cerita bagaimana seseorang bisa menggapai hajat-hajat besarnya karena dorongan shalawat, baik untuk hajat yang sifatnya keduniaaan, maupun utamanya dalam hal spiritual.

Tak sampai di situ, shalawat nyatanya juga menjadi elemen penting jika kita ingin memperluas kesadaran, mengelola emosi dengan lebih baik, meningkatkan kadar kebahagiaan, memperoleh rezeki yang lebih berkah, menginginkan dada yang lebih lapang atau pikiran agar lebih tenang.

Perihal shalawat apa yang harus dibaca, sebenarnya tidak ada aturan khusus untuk membaca shalawat yang mana. Hanya saja, akan jauh lebih afdal jika kita membaca shalawat yang telah diijazahkan oleh guru pembimbing kita.

Dengan sarana shalawat inilah, kita bisa menaikkan tingkat kesadaran, utamanya dalam menyelami kesadaran ketuhanan yang sifatnya tidak terbatas.

Ketika sampai pada level kesadaran yang lebih tinggi, di situ kita akan menyadari bahwa sejatinya kita ini hanya debunya debu. Tidak ada apa-apanya dibanding kebesaran dan keluasan alam semesta ini.

Sehingga, pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita perlu berada di titik nol (zero level). Saat berada di titik itu, kita akan menyikapi hal positif maupun negatif dengan biasa saja, karena segala sesuatu selain Allah itu pada dasarnya bersifat biasa. Keluarbiasaan itu mutlak hanya milik Dia semata.


Leave a Reply