Pernahkah kita merenung sejenak, membayangkan bagaimana kita peduli dan memberikan atensi yang begitu tinggi perihal interior dalam rumah, memastikan tiap sudut ruangan diisi dengan pernak-pernik interior yang indah dan memikat mata. Begitu pula di kantor-kantor atau bangunan tempat kita bekerja atau berkarya.
Sekarang coba berpikir dalam kerangka yang sama, namun ibaratkan rumah atau bangunan itu adalah diri kita sendiri. Apakah kita pernah benar-benar memberi perhaitan terhadap aspek interior diri kita? Atau selama ini kita lebih banyak berfokus pada aspek eksterior belaka?
Melanjutkan pembahasan dalam artikel sebelumnya mengenai gudang emosi. Perlu diketahui bahwa gudang emosi itu bagian dari interior spiritual manusia. Dalam hal ini, masalah interior mutlak terhubungan dengan apa yang kemudian tampak dalam eksterior diri kita.
Sebagai contoh, rasa cemas, takut, memiliki hutang yang tak kunjung terbayar, dan lain sebagainya itu merupakan cerminan dari apa yang terjadi dalam interior spiritual diri kita. Atas dasar itulah kemudian bisa dikatakan bahwa urusan interior (bagian dalam) menjadi hal yang berpengaruh terhadap eksterior (bagian luar).
Hari ini kita mendengar banyak keluhan-keluhan tentang agama, tentang ibadah ritual, hafalan yang semata mengutamakan amal, ibadah yang berharap surga dan takut neraka dan sebagainya yang tak mewujud dalam perilaku dan aplikasi kehidupan seseorang. Di sini pula perlu saya tegaskan bahwa itu semua merupakan bab eksterior, bukan interior manusia.
Dengan ibadah ritual , hafalan yang mengutamakan amal dan ibadah yang berharap surga dan takutkan neraka
Pencapaian eksterior yang hebat belum tentu berbanding lurus dengan aspek interior. Bahkan pencapaian hebat dari segi eskterior itu jika tidak diiringi dengan interior yang layak bisa menimbulkan efek yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia tersebut. Pada titik inilah kita perlu melakukan mujahadah secara sungguh-sungguh.
Urusan kita tergantung dengan interior dalam diri. Jika interiornya rapi, maka apa yang akan muncul dan tampak ke permukaan eksterior tentu juga akan rapi dan baik. Begitu pula sebaliknya. Jika interiornya berantakan, maka aspek eksterior yang mengemuka juga cenderung berantakan.
Kita terlalu banyak mengenakan topeng-topeng, dan sepertinya sulit untuk menjadi diri kita sendiri. Topeng itu bisa berwujud dalam pakaian, aksesoris, atau beragam bentuk lainnya. Dengan topeng itu kita merasa tampil lebih baik, padahal sebenarnya topeng itu pula yang membuat hidup kita sengsara.
Kontrol diri merupakan hal yang perlu kita lakukan. Bahkan alangkah lebih baik lagi jika kita tampil sebagaimana adanya, tanpa topeng-topeng atau kepalsuan dalam diri kita. Untuk itu, ada hal yang perlu kita perhatikan berkaitan dengan regulasi emosi.
Ada yang disebut dengan api merah. Ia merupakan lambang dari kemarahan, iri dengki, dan sebagainya. Jika hal ini dibiarkan selama 3 hari berturut-turut, maka ia akan menjelma api merah yang merasuk ke dalam seluruh tubuh kita dan tercermin dari perilaku kita.
Kiat yang bisa dilakukan saat merasakan salah satu emosi tersebut ialah dengan bertanya secara reflektif kepada diri kita sendiri. Apakah diri ini kemarahan atau yang menyebabkan kemarahan itu ada? Kemudian setelah itu, perlu adanya sikap penerimaan terhadap emosi, apa pun itu bentuknya.
Sesuatu yang diterima dan diikhlaskan dengan cinta dan kasih sayang, maka ia akan pergi (yang dalam hal ini ialah rasa marah, iri dengki, dan sebagainya). Sedangkan, jika kita tidak menerimanya, maka yang berlaku kemudian emosi itu akan menguasai diri kita secara penuh.
Lebih lanjut, perlu dipahami bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua, yakni Allah dan semesta. Rasulullah dan para kekasih Allah itu termasuk ke dalam semesta. Apa pun yang ada selain Allah itu bisa disebut dengan semesta. Makna dari semesta itu adalah hal yang sangat luas.
Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa kita adalah semesta kecil. Dalam bahasa lain, ia disebut juga mikrokosmos. Sedangkan semesta besarnya disebut dengan makrokosmos. Mikrokosmos harus terhubung dengan makrokosmos (Sang Pemilik Semesta Agung) untuk menggapai hidup yang selaras.
Di dalam diri manusia, ada semacam gudang virtual yang menyimpan berbagai emosi. Hal ini menjadi bagian dari aspek interior yang menentukan hidup mereka ke depannya.
Seratus persen permasalahan manusia ada di aspek interior. Apa pun yang terjadi di eksterior merupakan cermin atau manifestasi dari apa yang terjadi dalam interior diri kita. Efek domino itu sering kali tidak disadari manusia, padahal keduanya saling terkait satu sama lain.
Iblis adalah ahli dalam hal eskterior, baik dari segi ilmu maupun amal. Banyak orang yang memiliki kehidupan eksterior begitu hebat dan glamor, namun berantakan dari segi interior. Bisa dipastikan yang terjadi adalah celaka dan musibah bagi kehidupan orang seperti itu.
Contoh lain terkait hal ini ialah bagaimana respon kita terhadap penyakit, mulai dari Covid-19 sampai HIV/AIDS. Dari segi vibrasi misalnya, virus Covid-19 itu ada di nilai 100. Persoalannya kemudian berapakah vibrasi diri kita? Di atas atau di bawah Covid-19? Efek yang akan kita terima bergantung tinggi rendahnya vibrasi yang kita miliki.
Manusia menderita karena ia memiliki vibrasi energi yang rendah, karena dengan nilai vibrasi yang rendah itu akan memubat manusia lemah dan tak berdaya terhadap banyak hal di sekitarnya. Coba bandingkan dengan Rasulullah yang bisa bahagia dengan hinaan, ejekan, dan sebagainya yang beliau terima. Begitu pula Nabi Ayyub dengan ujian sakit yang dideritanya begitu hebat. Semua hal itu tidak menggoyahkan keduanya untuk mundur sedikit pun.
Vibrasi makrifat itu mengalahkan surga dan neraka. Apalah arti surga dan neraka bagi mereka yang sudah berada di maqam makrifatullah. Bagi figur-figur yang berada di level ini, bisa dipastikan interiornya telah rapi, sehingga apa yang tampak di eksterior pun akan cerah, bukan gelap gulita.
Orang yang interiornya kuat di level tertentu bicara satu hal saja, semizal rezeki itu maka dimensi maknanya akan terasa luas. Rezeki yang tertinggi itu bersifat abstrak, bukan sekadar materi. Contoh dari hal ini seperti bagaimana keajaiban bisa terjadi dengan proses kun fayakun (jadilah, maka terjadi).
Ada empat jaminan dari Allah ketika bicara masalah rezeki dalam spektrum yang luas. Rezeki itu ada empat hal. Ia akan mendatangi kita, membutuhkan kita, melayani kita, dan memuliakan kita sebagai manusia. Ilustrasinya, level rezeki yang penuh berkah katakanlah 10, namun vibrasi kita hanya ada di angka 5. Tentu yang terjadi kita akan lelah dan dibuat capek untuk mengejar rezeki itu.
Sudah saatnya kita mengambil hak ilahiah kita sebagai manusia. Tentu kita perlu melewati prosesnya dengan membersihkan gudang emosi dan membenahi aspek interior spirital diri kita. Termasuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang mengikat. Dalam proses bertarekat misalnya, aspek finansial menjadi hal pertama yang perlu dimerdekakan.
Sejahtera dan berkelimpahan dalam segala hal adalah fitrah kita sebagai manusia. Dalam diri ini ada yang bernama energi kelimpahan (abundance energy). Pertanyaannya sudahkah kita mengaktifkan energi tersebut? Semua itu sejatinya sudah dalam interior diri kita.
Untuk membenahi interior spiritual dalam diri, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama dan yang paling utama tentu terhubung dengan guru yang akan membimbing kita secara intens untuk merapikan aspek interior tersebut. Lalu latihan yang juga bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari ialah melakukan salam sepenuh cinta, yakni memandang segala sesuatu dengan tatapan cinta kasih.
Penulis: Indra Hanjaya - Chairman
